Perpres Miras, Lalu Bagaimana KUHP dan UU Jaminan Produk Halal ?

(Catatan Kritis Pro dan Kontra Legalisasi Miras)

Oleh : Elfahmi Lubis

Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, tanggal 2 Februari 2021, sebagai turunan dari UU Nomor: 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, telah menuai reaksi dan kontroversi di publik tanah air.

Pada umumnya publik meradang dengan regulasi pemerintah ini, karena memberikan ruang hukum bagi proses legalisasi minuman keras atau minuman beralkohol. Perhatian publik tertuju pada pasal 2 ayat 1 Perpres Nomor: 10/2021, yang menyatakan semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup untuk penanaman modal atau untuk kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat.

Selanjutnya, lampiran bidang usaha yang boleh mendapat aliran investasi tertuang dalam tiga lampiran. Pada lampiran ketiga, tercantum industri minuman keras mengandung alkohol pada daftar urutan ke-31.

Dalam penjelasanya terhadap daftar lampiran ke-31 dari Perpres ini dijelaskan bahwa persyaratan, untuk penanaman modal baru dapat dilakukan pada provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan lokal setempat.

Lebih jauh juga dijelaskan jika penanaman modal terkait Miras jika dilakukan di luar daerah tersebut, maka harus mendapat ketetapan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan usulan gubernur.

Melihat ketentuan yang diatur dalam Perpres 10/2021 ini saya berpendapat bahwa secara regulatif investasi industri minuman keras sebagai bidang usaha mendapat “proteksi” hukum dari kententuan Perpres ini.

Namun secara sosiologis, regulasi ini jelas mengabaikan aspek sosial dan kultural sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih menilai bahwa miras adalah produk yang bisa mengancam terjadinya degradasi morali dan akhlak, ancaman kriminalitas, dan ancaman lain yang disebabkan oleh pengaruh minuman keras.

Seharusnya negara tidak berlindung dari kalimat “kearifan lokal” daerah tertentu untuk melegalisasi industri miras karena saya meyakini seketat apapun regulasi dibuat ketika dibuka krannya, pasti akan menimbulkan penyimpangan dan bias serius dalam tahap implementasinya.

Tidak dilegalkan saja seperti yang terjad selama ini, penjualan miras bebas dilakukan masyarakat, apalagi kalau dilegalkan secara regulatif. Seharusnya negara juga memperhitungkan dan memproteksi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, dimana dalam hukum Islam sebagai hukum yang hidup dan diakui dalam sistem hukum nasional, secara tegas mengatur bahwa minuman keras adalah haram.

Apalagi regulasi yang diatur dalam Perpres ini juga membuka kran bagi investasi bagi perdagangan eceran miras atau beralkohol masuk daftar bidang usaha yang diperbolehkan dengan persyaratan tertentu. Sebagaimana dijelaskan dalam daftar 43 dan 45 Lampiran III Perpres ini bahwa bidang usaha perdagangan eceran minuman keras atau beralkohol, persyaratan jaringan distribusi dan tempatnya khusus.

Bidang perdagangan eceran kaki lima minuman keras atau beralkohol, persyaratan jaringan distribusi dan tempatnya khusus.

Saya juga berpendapat bahwa Perpres Nomor: 10 Tahun 2021 sebagai turunan UU Nomor: 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, berpotensi bertabrakan dengan ketentuan perundang-undangan lauin seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang masih mengatur tentang tindak pidana minuman keras sebagai diatur dalam Pasal 300 dan Pasal 536.

BACA JUGA:  Refleksi Akhir Tahun, Kamu Emas, Tanah, Air, Kupu-Kupu, Lalat, atau Pupuk Organik?

Walaupun ketentuan di dalam KUHP lebih mengatur tentang tindak pidana atau perbuatan seseorang yang disebabkan oleh dan atau pengaruh minuman keras, namun perbuatan itu terjadi tidak bisa berdiri sendiri pasti ada hubungan dan pengaruh dari proses legalisasi miras itu sendiri.

Pasal 300 KUHP, secara tegas menyatatakan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun atau denda sebanyak banyaknya Rp. 4.500 di hukum: (1) barang siapa dengan sengaja menjual atau menyuruh minum-minuman yang memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan nyata mabuk; (2) barang siapa dengan sengaja membuat mabuk seorang anak yang umurnya di bawah 16 tahun; dan (3) barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan sengaja memaksa orang akan minum-minuman yang memabukkan.

Kalau perbuatan itu menyebabkan luka berat pada tubuh, sitersalah di hukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. Bahkan, kalau si tersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya, maka dapat dipecat dari pekerjaannya.

Selain itu dalam pasal 536 KUHP, disebutkan barang siapa yang nyata mabuk berada dijalan umum dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 225.

Jika pada waktu melakukan pelanggaran itu belum lalu satu tahun, sejak ketetapan hukuman yang dahulu bagi sitersalah lantaran pelanggaran berupa itu juga atau pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 492, maka hukuman denda itu dapat diganti dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga hari.

Kalau pelanggaran itu diulang untuk kedua kalinya dalam 1 tahun sesudah ketetapan putusan hukuman yang pertama karena ulangan pelanggaran itu maka, dijatuhkan hukuman kurungan selama-lamanya dua Minggu
Kalau pelanggaran itu diulang untuk ketiga kalinya atau selanjutnya di dalam 1 tahun sesudah ketetapan putusan hukuman yang kemudian sekali lantaran ulangan pelanggaran untuk kedua kalinya atau selanjutnya, maka dijatuhkan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan.

Selain itu kita juga masih punya UU Nomor : 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Halal Produk, dimana ada beberapa ketentuan juha telah mengalami sinkronisasi dengan UU Nomor: 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam pasal Pasal 20 UU Jaminan Produk Halal, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b pada dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau membahayakan kesehatan bagi orang yang mengkonsumsinya.

Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan huruf d diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan. Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan