Tiga Laki-laki Part 16 “Dipermainkan Takdir”

Foto Dokumentasi SLE Bagus
Foto Dokumentasi SLE Bagus

Oleh: Bagus SLE Production

Tiga Laki-laki Part 16 “Dipermainkan Takdir”

Dua hari setelah peristiwa naas yang menimpa sebuah pesawat, jauh di tengah laut sana ada dua sosok manusia yang terombang ambing di atas sebuah koper besar. Tangan saling berpegangan dengan erat satu sama lain.

“Ayah, apakah kita akan selamat?” Suara lirih dari yang lebih muda.

“Tentu, nak. Tentu kita akan selamat.” Suara laki-laki yang lebih tua, juga lirih.

Sinar matahari yang terik semakin terik di tengah laut. Pantulan sinar memantul dipermukaan air yang tidak terlihat di mana tepiannya.

Tidak salah ucapan sang ayah. Tentulah Tuhan akan menyelamatkan mereka. Menilik dari awal kejadian yang menewaskan banyak orang, dan mereka saat ini masih hidup, tentulah Sang Pencipta Kehidupan akan menyelamatkan mereka. Tapi entah apa atau siapa yang akan dikirim untuk penyelamatan tersebut.

Bibir-bibir kering itu semakin kering karena kerongkongan mereka sangat haus. Dari awal terlempar saat meledaknya pesawat dan mendarat di atas tas besar, belum ada air yang mereka reguk.

Tuhan Maha Kuasa segalanya. Dia belum menginginkan cerita dua mahkluk ini berakhir. Keduanya tak berpisah ketika ledakan itu membuyarkan semua isi pesawat.

Entah takdir apa lagi yang akan mereka lalui setelah semua hal yang mereka alami selama ini.

“Ayah, mengapa Tuhan belum menolong kita?” Suara itu samar.

“Dia telah menolong kita, nak. Dia tidak membakar kita waktu bola api meledak. Dia juga telah mengirim tas ini supaya kita tidak tenggelam.” Hanya bisikan di sela nafas yang lemah.

“Ayah, adek haus… “

“Jangan banyak bicara, nak, supaya tidak semakin haus.”

Hari yang cerah, angin yang semilir dan laut yang tenang. Seharusnya suasana ini sangat indah untuk dinikmati. Tapi dua manusia yang kehausan, kelaparan, kedinginan dan kepanasan ini belum sempat mengaguminya.

Jika saja hujan tak turun sebentar lagi atau esok belum ada kiriman dari sang Maha Pencipta pertolongan, dikhawatirkan mereka akan mati kehausan ataupun kelaparan.

*Ayah, maafkan adek. Adek banyak salah…. “

Suara itu semakin lemah. Sesaat lagi kemungkinan akan kehilangan kesadaran. Jika tidak bergerak atau diajak bicara, kemungkinan itu akan membahayakan.

Sang ayah tahu itu. Anak ya sudah tidak kuat lagi.

“Ayah akan memaafkan adek jika kita sudah sampai di daratan.” Mirip dengan bisikan di antara dengusan nafas yang berat.

Keduanya tidak mampu lagi membuka mata.

“Ayah, jangan lepaskan adek… ”
Antara terdengar dan tidak. Mata masih terpejam.

BACA JUGA:  Kopi dan Kemerdekaan

Sesaat sang ayah membuka mata.
Berusaha sekuat tenaga untuk mengucapkan jawaban.

“Iya… ” Hanya itu yang dapat dia keluarkan. Padahal kalimat lebih panjang akan diucapkan.

“Tidak, nak. Ayah akan memelukmu sepanjang waktu… “

Hanya di dalam hati.

Ada desau angin dingin berhembus. Terik panas perlahan mulai berubah teduh. Semakin lama menjadi mendung.

“Ayah, apakah akan badai?” Sangat lemah suara itu.

“Tuhan akan mengirim penolong, nak… ” Harapan di ujung pengharapan.

Sang Maha Kuasa memang menyayangi mereka. Dia kirim air hujan untuk mereka. Hujan tanpa angin.

Posisi awal saat mereka jatuh menengadah langit dan selalu bertahan dengan situasi seperti itu hingga saat ini. Alasan sang ayah supaya benda di bawah mereka tetap stabil.

Hujan turun memberikan mereka kesegaran. Mulut di buka untuk mereguk sebanyak mungkin air tawar. Bukan sekedar membasahi kerongkongan, tapi menghilangkan dahaga yang mereka rasakan sejak dua hari ini.

Takdir kembali mempermainkan mereka. Di saat keduanya merasakan sedikit kelegaan, alam dengan kejam mengirimkan badai. Gelombang perlahan mulai besar.

“Jangan bergerak, nak!” Perintah sang ayah cemas.

“Pegang tangan adek, yah!”

Belum hilang suara itu dari pendengaran, gelombang besar menghantam keduanya. Tas koper melaju entah ke mana, meninggalkan penumpangnya digulung oleh gelombang.

Dalam gulungan air kelihatan keduanya masih berpegangan. Baru saja muncul di permukaan, gelombang kedua menghantam. Pegangan ayah terhadap anak terlepas. Tubuh muda lemah itu dibawa arus menjauhi sang ayah.

Sosok ayah masih berada dalam air dalam gulungan gelombang. Dia tidak ingin melawan kekuatan itu. Sebab akan membuat tenaganya terkuras. Beberapa saat berikutnya dia timbul jauh dari posisi saat dihantam.

“Tegaaaarrrr….! Tegaaaarrrr. ..!” Tidak ada sahutan.

Dengan liar bergerak ke sana ke mari mencari sosok anak kesayangan. Tapi tidak ada.

“Tegaaaaarrrr….!” Tidak ada sahutan hilang ditelan angin dan gelombang.

Satu gelombang besar mengangkat tinggi lalu menghilang dari pandangan.

Tubuh tegar masih berada di permukaan air. Dia ingat pesan ayahnya. Jangan melawan arus dan usahakan kepala tetap berada di permukaan air. Kalimat itu telah membawa tubuh itu menjauhi sang pelindung selama ini.

“Ayaaaahhhhhh…..!” Tidak ada terlihat sekeliling jangkauan matanya. Dia panik. Tapi sesaat kemudian memutuskan untuk tenang.

“Oke Tuhan, aku pasrah dengan takdirmu. Tapi pertemukan lagi kami bertiga. Aku mohon…. “

Doanya penuh khusuk…

“Aku harus bisa mengurus diri sendiri sekarang!”

Tekad sangat luar.
______

Posting Terkait

Jangan Lewatkan