Oleh : Sabar Ardiansyah
BMKG Kepahiang, Bengkulu
Pasca gempa M 6,5 di Bengkulu tanggal 23 Agustus 2022 lalu, kemudian ramai berita potensi gempa di Bengkulu dengan kekuatan di atas 8 magnitudo. Berita ini menjadi viral, beragam tanggapan, beragam pendapat dan tidak sedikit membuat masyarakat menjadi gaduh.
Mayoritas kanal berita yang terbit hanya fokus pada isu potensi ancaman dan bahaya, dicerna masyarakat menjadi liar dan meresahkan karena tidak diimbangi dengan solusi mitigasi yang terukur.
Jika pola pemberitaan kebencanaan seperti ini terus dilanjutkan, sangat dikwatirkan sasaran jangka panjang untuk mewujudkan masyarakat paham mitigasi sulit terwujud. Karena pemberitaan terlalu fokus seputar ancaman dan selalu minim informasi upaya apa yang perlu dilakukan ke depan??
Potensi Selalu Ada
Potensi gempa di Bengkulu dengan kekuatan di atas 8 magnitudo memang ada. Ilmiah dan sudah dipetakan. Baik potensi dari Megathrust Enggano maupun Megathrust Mentawai-Pagai memiliki dampak yang cukup serius jika benar-benar terjadi. Namun, kapan waktu nya belum ada teknologi yang mampu memprediksi secara pasti. Begitu juga besaran pasti nya ketika terjadi, belum bisa diprediksi.
Di dalam ketidakpastian itu, yang paling penting kita siapkan adalah usaha mitigasi. Baik mitigasi struktur maupun non-struktur harus diperkuat di sepanjang kawasan berpotensi terdampak tsunami.
Mitigasi Kita Masih Tertinggal
Mengambil pelajaran pasca terjadi gempa-tsunami 2011, Jepang membagi kawasan pesisir menjadi dua bagian. Kawasan pertama adalah kawasan berjarak satu kilometer dari bibir pantai, merupakan kawasan yang terkena dampak tsunami dengan periode ulang 30-150 tahun. Sedangkan kawasan kedua berjarak tiga kilometer dari bibir pantai, yaitu kawasan yang terkena dampak tsunami dengan periode ulang di atas 200 tahun.
Kedua kawasan ini tidak boleh diisi dengan pemukiman. Kawasan pertama hanya boleh dimanfaatkan untuk pariwisata dan konservasi. Sedangkan kawasan kedua hanya boleh dimanfaatkan untuk industri dan pertanian. Tentunya dengan syarat ketat mendirikan bangunan tahan gempa.
Untuk kawasan pesisir yang belum terjadi tsunami namun sudah padat penduduk, edukasi dan pelatihan evakuasi menjadi program utama. Jepang melakukan gladi evakuasi tsunami di kawasan rawan tsunami setidaknya tiga kali dalam satu tahun.
Chili boleh dilirik bila bicara mengenai persiapan mengantisipasi bencana. Negara di Amerika Selatan ini dihadapkan dengan kondisi alam yang mirip Indonesia : rawan bencana. Namun, berkat mitigasi terukur, Chili lebih siap menghadapi gempa bumi.
Misal saja pada 2014, gempa dengan kekuatan M=8,2 mengguncang pantai utara Chili dan memicu tsunami. Untungnya mereka sudah menyiapkan diri. Adanya deteksi dini tsunami membuat sekitar satu juta orang dipindahkan ke lokasi aman. Deteksi dini dan persiapan bencana itu merupakan pelajaran yang dipetik dari gempa 2010 dengan kekuatan M=8,8 dan tsunami yang mengikutinya.
Kemudian pada 2015, ketangguhan mitigasi Chili kembali diuji dengan gempa berkekuatan M=8,5 di daerah Coquimbo, gempa ini memicu tsunami dengan ketinggian 4,5 meter. Korban jiwa tetap ada, namun hanya 9 orang saja. Sangat sedikit jika dibandingkan dengan gempa Palu, Sulawesi Tengah 2018 dengan kekuatan M=7,4 korban jiwa mencapai 2.045 orang serta ratusan orang dinyatakan hilang tersapu tsunami.
Apa yang membedakan? Jawabannya adalah persiapan yang matang. Pada satu momen, tim penyelamatan dari Peru, El Savador, Amerika Serikat, dan Spanyol tergabung dalam simulasi bertajuk simex 2015 di Santiago, ibu kota Chili. Dalam latihan tersebut digelar pula simulasi jika Chili diguncang gempa dengan kekuatan M=9,0 berpusat di Santiago.
Dan itu bukan latihan sekali jalan. Dalam skala luas, warga dibiasakan melakukan simulasi (drill) evakuasi minimal enam atau tujuh kali dalam satu tahun. Di seluruh kawsan.
Di luar itu, pemerintah sudah siapkan sistem peringatan baru. Dalam kasus Coquimbo, beberapa menit setelah gempa, sirine meraung mengirim peringatan. Ambulans, pemadam kebakaran, polisi turun mengatur lalu lintas. Ada juga petugas khusus yang memaksa para penduduk yang masih bertahan di rumah untuk keluar dan berlari ke arah bukit.
Ihwal penting lainya adalah menetapkan standar kekuatan bangunan. Pemerintah membuat aturan ketat yang mensyaratkan bangunan baru untuk bisa bertahan dari gempa berkekuatan M=9,0.
Di Indonesia, zona rawan gempa dan tsunami sudah dipetakan, pertanyaanya sudah tersosialisasikah kepada masyarakat yang terpapar langsung? Sudah siapkah semua komponen menghadapinya? Sudah berapa kali kita melakukan simulasi (drill)? Jangan sampai ribuan nyawa kembali hilang, kemudian sibuk sesaat dan kembali lupa. (*)
Tambahan: Pihak PMKG Fatmawati bengkulu juga sudah mengumumkan di sebuah Grup Media.
“Mohon izin Pak/Bu, silahkan cek postingan kami terkait berita tersebut. mohon bantuan disebarluaskan agar kita semua sama-sama memahami.