Bukit Tapak Paderi Sepenggal Kenangan

“Tak tahu dan diam itu wajar. Bila tahu tapi diam itu, itulah kezaliman”

Oleh: Benny Hakim Benardie

Di era tahun 70 hingga 80-an, usai shalat subuh, tampak bujang gadis dan anak-anak di Kota Bengkulu, berduyun-duyun menghirup sejuknya fajar menuju Bukit Tapak Paderi. Ditengah jalan, tampak garisan kapur tulis berbentu kotak, untuk remaja bermain “calabur”. Suatru permainan rakyat yang kini punah dihantam ego generasi taklid.

Berjalan melingkar dibawah Bukit Tapak Paderi, titik nol Negeri Bengkulu. Bujang gadis dan anak anak bercengkrama sembari memandang deburan ombak dan lautan lepas yang tak ternilai indahnya.

Anak-anak tampak bermain prosotan dari atas bukit hingga berguling-guling diatas rumput hijau hingga mentari terbit sepenggalan. Seolah-olah indahnya Bengkulu dengan generasi yang kala itu seperti statis didalam, dan dinamis saat diperantauan.

Tampaknya kala itu generasi mudanya tak banyak tahu dengan jelimet peninggalan sejarah yang ada disekelilingnya. Biarpun demikian, mereka tak merusak apa yang ada.

Diatas puncak Bukit Tapak Paderi terdapat suatu monumen yang berdiri kokoh. Acap kali berebutan duduk disana, karena temat yang paling santai melihat laut lepas. Sedikit saja ada yang mau coret moret munumen, banyak teguran untuk pelaku yang iseng ataupun jahil.

Tragis

Kini sejak Tahun 2000-an, Bukit Tapak Paderi tak seerti aslinya. Bukit itu telah dibelah dan diratakan oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu. Tak ada lagi jalan melingkar dan raun remaja di fajar menyinsing. Tugu monumen peninggalan Belanda itupun kena imbasnya.

Sebuah tugu atau monumen itu bernama The Orange Bank. Bangunan mirip mahkota ini dibangun 1905, untuk memperingati HUT ke-25 Yang Mulia Ratu Wilhelmina, Ratu Belanda kala itu.

Kini kondisinya ada beberapa sisi yang dirubah dan di rusak keasliannya. Dirusak bukannya tak sengaja, tapi dilakukan sengaja dengan pembiaran. Dijadikan lokasi taman permainan yang tak edukatif dari sisi budaya dan tradisi negeri beradat.

BACA JUGA:  Layu di Ujung Senja

Ini peninggalan sejarah masa lampau. Pertanyaanya, dimanakah para pemimpin negeri ini, melihat beberapa situs sejarah dirusak? Bukankah itu semua dapat dijadikan obyek wisata sejarah? Tinggal lagi yang punya jabatan dan kekuasaan berfikir. Bakkata pepatah tua, “Dimana Langit Dipijak, Disitu Langit Dijunjung”.

*Pemerhati Sejarah Dan Budaya Tinggal di Bengkulu.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan