BATANG TUNGGAL

Peringatan : Jangan salahkan saya jika anda berurai air mata. Kisah nyata ini masih terlalu ‘perkasa’

Kisah lebaran tahun lalu

‘Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar….
La ila Ha illallah Hu Allahu Akbar…
Allahu Akbar wali llah ilham….’

Suara takbir yang syahdu dari mesjid desa menggema ke seluruh pelosok desa, hingga jauh ke daerah kebun-kebun penduduk, dan masuk ke telinga seorang pemuda yang menghuni sebuah pondok, yang berjarak tidak kurang dari lima kilo meter dari kampung. Meremas-remas hati dan jiwa si pemuda.

Dialah Satrio, pemuda perantauan yang sudah empat tahun merawat kebun kopi milik Datuk Dean. Seorang pemuda yatim piatu dan sebatang kara sejak usia tujuh tahun. Berjuang sendirian melawan rasa lapar, penghinaan, caci maki, kerinduan akan kasih sayang dan sebagainya.

Terombang ambing di jalanan, terintimidasi dibeberapa tempat, membentuk kepribadian yang kuat pada pemuda baik ini. Di saat putus asa yang hampir sampai pada puncaknya, dia diselamatkan oleh ayah Dean, dan dibawalah ke desa orang tuanya.

Terduduk lemas sendirian di sudut beranda pondok, Satrio mengenang kisah awal kesendiriannya. Ibunya yang keras namun menyayangi dan mencintainya dengan seluruh hidup, meninggal ketika menyelamatkan Satrio kecil ketika tanah longsor menenggelamkan pondok tempat tinggal mereka yang ada di bawah bukit yang gundul. Satrio benar-benar tinggal sendirian.

Ayahnya meninggal ketika usia Satrio baru berumur tiga bulan karena tertimpa pohon yang dia tebang. Hingga saat ini, tidak ada gambaran jelas bagaimana wajah dan perawakan sang ayah. Hanya dari kisah dari mulut ibunya yang menceritakan kalau ayahnya adalah seorang lelaki yang berperawakan gagah, baik dan bertanggung jawab.

Sedangkan ibunya adalah perempuan mungil, manis, sopan dan keras dalam menjaga dan mendidik Satrio. Dia adalah pahlawan pertama bagi Satrio, melakukan pekerjaan apa saja demi memberikan makanan halal bagi si anak.

Didikan ibunya menjadikan Satrio kecil pantang mengemis. Dia bertarung dengan kehidupan. Dari membantu ibu-ibu mengangkat belanjaan di pasar di kota kecil daerahnya, menjadi kuli angkut, membantu mencuci piring di warung-warung pinggir jalan, mencuci motor di pencucian hingga
mencetak bata. Pokoknya apapun yang bisa dilakukan oleh tubuh kecilnya akan dia lakukan demi mempertahankan kehidupannya.

Dan di setiap malam dia tidur di lorong-lorong pasar, atau di emperan toko, ataupun di mushola pasar. Dan dia belum pernah menikmati tidur yang nyenyak.

Seiring bertambah usia, semakin bertambah pula beban pekerjaan yang dia ambil.

Dan terakhir, sebelum dia ditemukan oleh ayah Dean, dia baru seminggu menginjak kota provinsi. Dia ingin merantau sejauh – jauhnya dari kenangan pahit di daerahnya, tepat pada usia ke tiga belasnya.

Selama seminggu itu dia berjuang mendapatkan pekerjaan, tapi belum ada satupun tempat yang mau menerima anak kampung, kucel, berkendala jepit yang menipis dan masih anak-anak. Bekal yang sedikit yang dia bawa dari kampung sudah habis di hari ke tiga. Dan hari-hari berikutnya hanya meminum air keran mesjid ataupun sungai yang dia lewati.

Bagi dia, tidak makan dalam satu hari sudah biasa, tapi ini sudah 3 hari. Tubuhnya lemah, daya tahan tubuhnya menurun drastis dan dia sakit di daerah yang dia tidak tahu satupun orang-orang nya dan dia tidak mengenal lingkungannya.

Di bawah matahari yang panas dan terik, kekuatannnya hilang. Dia terjatuh terjerembab di trotoar jalan yang ramai. Dan tidak ada satupun orang yang mengerubunginya bergerak untuk membantu. Mereka hanya sibuk memotret dengan ponsel ditangan, bahkan ada yang melakukan live. Hanya itu.

Ayah Dean yang kebetulan lewat di situ tertarik melihat kerumunan dan menghampiri. Agak susah dia melewati kerumunan demi melihat apa yang terjadi. Dia kaget melihat sosok Satrio yang terkapar. Mulut kering, mata terpejam tapi menggigil di cuaca panas.

Melihat kondisi ini, dia segera menghampiri sosok lemah Satrio dan memeriksa kondisi tubuhnya. Anak kecil ini demam! Tanpa memperdulikan sekeliling laki-laki hampir 35 tahun itu segera mengangkat tubuh kurus Satrio dan membawanya ke dalam mobilnya yang terparkir kurang lebih seratus meter dari lokasi ‘keramaian’ tadi, lalu bubar begitu saja.

Satrio menyadari semua yang terjadi, dia terjatuh karena terlalu lemah. Dia tidak pingsan. Tapi tidak sanggup membuka mata untuk menatap kota ini.

Di dalam mobil, ayah Dean segera mendekatkan botol minuman pada mulut pucat anak malang ini.

“Minum dulu nak” Lembut sekali suara ini. Ada iba dari nadanya.

Perlahan Satrio membuka matanya dan memandang wajah lelaki yang mengangkat tubuh lemahnya. Perlahan juga dia membuka mulutnya dan meminum air yang disodorkan. Air itu membasahi kerongkongan nya yang kering dan perlahan menyegarkan tubuhnya.

BACA JUGA:  Tiga Laki-Laki

Satrio ingin mengucapkan trimakasih, tapi mulutnya berat untuk dibuka.

“Nak, jangan bicara dulu. Kamu istirahat saja dulu.” Dengan kasih sayang yang timbul begitu saja, ayah Dean membaringkan tubuh ringkih anak yang baru saja ia temukan ini.

Ah… Satrio ingin merasakan kembali kehangatan pelukan tangan kecil ibunya. Mengadukan semua yang dia alami. Dia sangat lemah sekarang, walau tubuhnya sekarang telah tumbuh dan gagah. Dia ingin berbaring di pangkuan ibunya….

Satrio membiarkan air mata yang deras menuruni pipinya.

‘Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar… ‘
Kalimat – kalimat takbir yang mengagungkan Tuhan itu telah menaklukkan pertahanan seorang pejuang kehidupan. Telah melemahkan hati seorang lelaki keras bentukan matahari, hujan, badai, dan dinginnya malam. Remaja ini kalah pada rasa rindu pada kehangatan pelukan seorang ibu.

Satrio segera bangkit dari duduknya. Menuruni tangga pondok. Berjalan perlahan mengikuti jalan setapak. Semakin lama langkahnya semakin kencang, lalu berlari lari kecil di jalan berbatu tanpa alas kaki. Tanpa dia sadari lari-lari kecilnya berubah menjadi lari yang semakin lama semakin kencang melewati jalan kecil naik turun bukit menuju desa.

Dia ingin sampai di rumah datuk Dean secepat dia mampu. Tanpa dia inginkan, air matanya deras menuruni pipinya. Sesekali tangannya menyeka agar larinya tidak terganggu. Nuraninya menginginkan pelukan kasih sayang dari orang-orang yang menyayanginya.

Dari beberapa hari yang lalu, datuk sudah memaksa satrio untuk pulang ke rumah agar bisa menikmati suasana lebaran bersama. Tapi remaja ini menolak, sama seperti tahun – tahun yang lalu. Alasannya agar dia bisa menjaga kebun, takut nanti ada yang maling. Tetapi datuk Dean tahu, itu bukan alasan yang sebenarnya. Dan orang tua yang bijaksana ini berusaha memahami hati laki-laki yang sedang berjuang dalam segala sisi hatinya.

Satrio masih berlari, bahkan ketika menaiki tangga dan masuk rumah. Hal ini mengejutkan Dean yang baru saja menata makanan di ruang tamu untuk menyambut tamu-tamu yang akan takbir dan doa bersama menyambut hari kemenangan esok.

Melihat siapa yang masuk, Dean menghentikan pekerjaannya. Dia kaget melihat tubuh remaja di ambang pintu. Basah oleh keringat dan berusaha menghapus air matanya. Dean melangkah dan mendekap tubuh dan jiwa yang lelah ini.

Air mata Satrio semakin deras turun dan sekarang dia sesenggukan.

“Menangislah dek… ” Dua laki-laki ini saling berpelukan dalam kasih sayang persaudaraan yang sebenarnya.

Setelah sesenggukan remaja tangguh ini mereda, Dean melepaskan pelukannya. Dia memegang pundak Satrio dan memandang dengan senyum hangat.

“Mandi sana. Setelah itu bantu dang menyusun kue-kue dan makanan ini”

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Satrio segera ke belakang. Dalam hatinya dia menanamkan janji sungguh – sungguh. Dean adalah laki-laki kedua, setelah ayah Dean, yang akan dia pertaruhkan nyawanya demi mereka. Dan keluarga ini adalah keluarganya.

Setelah tamu-tamu turun dari rumah datuk, dan beralih ke rumah berikutnya, Dean dan Satrio, membereskan ruangan. Rindu dan nenek bertugas mencuci piring dan gelas yang kotor.

Di sela-sela kesibukannya, nenek memandang wajah satrio, ‘cucu’ ketiganya. Ada pemahaman yang dia simpulkan dari gerak-gerik dan wajah laki-laki yang sebentar lagi dewasa ini.

Setelah beres, nenek mengajak ketiga cucunya duduk di ruang tamu yang cuma beralas tikar. Dean dan Rindu duduk bersandar di kiri kanan bahu wanita renta ini. Sekilas mata nenek mengerling pada Satrio. Ada kegagapan di wajah dan sikapnya.

“Isat, sini, tidur di pangkuan nenek.” Isat adalah panggilan kesayangan nenek untuk Satrio.

Satrio tergagap. Sama sekali tidak menyangka, apalagi berfikir mendapat tawaran kasih sayang ini. Dia masih ragu.

“Ayo sini… ” Nenek mengisyaratkan untuk berbaring di pahanya. Dengan ragu Satrio melangkah dan membaringkan tubuhnya yang berbantal paha nenek. Satrio memejamkan matanya. Menikmati kasih sayang ini dan merekam baik-baik dalam memorinya.

“Ting bedeting tiloi nu eket, eket nu satang si buluak u’ai… Jibeak ko seding idup nu peset, mandang ba senang nak kedong bilai…”

(ting berdenting, talimu rakit, rakitmu penjuluk si bambu muda, jangan kau sedih hidup miskin, pandanglah senang, di kemudian hari….)

Nenek menyanyikan lagu yang sudah sangat melegenda di tanah Rejang ini. Entah siapa yang menciptakan. Tapi saat ini lagu ini sangat mengena di hati Satrio.
Tangan keriputnya membelai rambut ikal pemuda hebat ini. Satrio benar-benar tidak ingin melewatkan setiap detik kebahagiaan dari kasih sayang yang diberikan oleh keluarga ini.

Allah hu Akbar Allahu Akbar Allah Hu Akbar….
La ila Ha illallah Hu Allahu Akbar…
Allahu Akbar wali llah ilham….’

Gunung Bungkuk 25 Juni 2019
BATANG TUNGGAL
Oleh Bagus SLE