Oleh: Yance Askomandala
Nandasena Gotabaya Rajapaksa akhirnya mengundurkan diri di tengah pelariannya ke Singapura. Jabatannya sebagai presiden tidak dapat lagi dipertahankan. Masyarakat Sri Lanka, tak lagi memerlukan alibi darinya. Mereka butuh kehidupan. Sri Lanka harus keluar dari krisis ekonomi yang menyedihkan, dilaporkan terparah sejak merdeka pada tahun 1948.
Negeri Ceylon itu hidup dalam keadaan mencekam. Demonstrasi terjadi dimana-mana. Setiap hari negara itu gelap gulita tanpa listrik. Persediaan bahan bakar habis. Bahan pokok seperti makanan dan obat-obatan sulit sekali didapatkan. Krisis valuta asing yang melanda berhasil memporak-porandakan tidak hanya ekonomi, juga kemanusiaan. Negara yang sebelumnya hidup nyaman, kini menjadi kapal reyot yang berusaha melawan badai dan dihantam gelombang di tengah samudera.
Sebelum Gotabaya, kakaknya Mahinda Rajapaksa lebih dulu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri. Mahinda, yang juga mantan Presiden Sri Lanka dua periode sebelum Gotabaya itu, terpaksa mundur setelah peristiwa bentrokan di tengah krisis yang merenggut nyawa.
Gotabaya dilantik menjadi Presiden Sri Lanka pada 18 November 2019. Ayahnya bernama Don Alwin Rajapaksa, seorang politikus yang cukup populer di Sri Lanka. Ia pernah menduduki kursi di parlemen, hingga jabatan menteri di kabinet.
Selain ayahnya, kakak kandung Gotabaya, Mahinda Rajapaksa adalah mantan presiden Sri Lanka. Ia menjabat Presiden selama satu dekade. Era Mahinda menjadi awal karir politik bagi Gotabaya. Ia diangkat menjadi Menteri Pembangunan dan Pertahanan di Sri Lanka. Sementara di masa pemerintahan Gotabaya, Mahinda diangkat menjadi Perdana Menteri.
Sedangkan dua saudara Gotabaya lainnya, Basil Rajapaksa dan Chamal Rajapaksa, turut ambil bagian di dunia politik Sri Lanka. Basil menjabat Menteri Keuangan di Kabinet Gotabaya Rajapaksa. Di kabinet yang sama, Chamal menduduki posisi Menteri Pertanian dan Perdagangan di negara itu. Tak hanya itu, Putra Sulung Mahinda, Namal, juga kecipratan kursi Menteri Pemuda dan Olahraga di masa yang sama.
Meski demikian, masyarakat Sri Lanka tidak memandang serius praktik nepotisme ini. Bisa jadi karena Gotabaya telah dianggap sebagai pahlawan bagi masyarakatnya, setelah dirinya mampu mengakhiri perang saudara di negara itu yang terjadi selama lebih dari 25 tahun. Pada masa pemerintahan kakaknya Mahinda, Gotabaya menduduki jabatan Menteri Pertahanan. Dua saudara itu mengakhiri konflik Tamil di Sri Lanka pada tahun 2009.
Popularitas dan dominasi keluarga pada lanskap politik negara, bagaimanapun, menghasilkan serangkaian keputusan yang tidak bijaksana dan populis. Tumpukan hutang negara memang telah turun-temurun di negara ini. Keadaan diperparah dengan kebijakan Gotabaya yang salah dalam mengelola keuangan negaranya. Gotabaya pada 2019 memangkas tarif pajak secara besar-besaran. Mengakibatkan berkurangnya pendapatan negara sebesar 28 persen.
Ketika pandemi COVID-19 melanda, sektor-sektor utama ekonomi, terutama industri pariwisata yang merupakan sumber pendapatan terpenting Sri Lanka, seketika terpuruk. Kinerja pemerintahan yang lamban membuat pemerintah baru mendekati IMF pada Maret 2022.
Tahun 2021, pemerintah memutuskan untuk melarang semua pupuk kimia dan beralih ke pertanian organik. Kebijakan itu membuat produksi pangan dalam negeri menurun tajam. Meskipun enam bulan kemudian pihak berwenang mencabut larangan tersebut, kerusakan telah terjadi, yang memicu krisis pangan.
Sri Lanka tercatat tidak mampu membayar kembali utang luar negerinya sebesar USD 51 miliar atau sekitar Rp. 766 triliun. 10 persen di antaranya terutang ke China. Pemerintah menyatakan gagal bayar pada April 2022 dan mengharap bantuan pinjaman ke Dana Moneter Internasional (IMF) untuk memulihkan ekonominya.
Penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan nepotisme, telah memperburuk krisis ekonomi dan politik Sri Lanka. Krisis akut yang dialaminya telah memicu kemarahan publik dan kebencian terhadap keluarga Rajapaksa. Pemberontakan rakyat besar-besaran terjadi. Gotabaya, sang pahlawan yang dielukan rakyatnya, kini harus menelan makian yang buruk. Memaksa Gotabaya kabur dari Sri Lanka. Beberapa anggota keluarga lainnya diketahui juga berusaha meninggalkan negara itu.
Politik dinasti selalu punya kecenderungan dengan praktik korupsi, kolusi, dan sudah pasti nepotisme. Kita lebih dulu mengalaminya di masa Orde Baru, lebih dari dua dekade lalu. Gotabaya dan dinasti Rajapaksa bisa saja lari meninggalkan kekacauan ini. Tapi lebih dari 200 juta rakyat Sri Lanka harus membayar dosa-dosa mereka dalam kesusahan.
Penulis adalah Sekretaris SMSI Kabupaten Mukomuko
Diolah dari berbagai referensi