CERPEN, Wordpers.id – Sebuah Cerpen Esai. Kematian itu bukan sekadar angka dalam tabel statistik. Itulah responku ketika membaca berita sudah lebih dari 100 dokter di Italia wafat karena terpapar virus corona. Atau di Indonesia, dinyatakan sudah 24 dokter meninggal terkena Covid-19.
Dokter itu tak hanya data. Ia punya keluarga. Ia punya istri dan anak yang menyanginya. Ia punya adik seperti aku ini yang sangat dekat padanya.
Sudah dua minggu aku bekerja di rumah. Itu hal yang tak sulit. Tapi kehilangan Cahya, kakak kandungku, dokter yang penuh pengabdian, sungguh menyentak. Dua malam sudah tidurku tak nyenyak.
Ketika Cahya wafat, dari rumah sakit, ia langsung dibawa ke pemakaman. Aku hanya bisa melihat dari jauh, bersama istri, anaknya dan cucunya.
Sejak seminggu ia diisolasi, aku tak melihat wajahnya. Ketika wafat, ia juga dibungkus kantong plastik. Tak pernah kubayangkan, berpisah dengan kakakku dalam suasana seperti itu.
Di hari ketiga kematiannya, kami tahlilan seadanya. Dokter Bambang sahabatnya ikut hadir. Bambang ikut merawat kakakku ketika diisolasi.
Setelah tahlilan, Bambang berbisik padaku. “Jak, ada pesan dari kakakmu.” Aku kaget. “Ya, mas Bambang. Pesan apa ya?” ujar Bambang: “Tak terlalu jelas. Ia terbata-bata. Hanya terdengar seperti “Tolong sampaikan ke Jaka. Aku mencapai puncak gunung.”
Aku terdiam. Itu kalimat yang sering ia ulang-ulang di masa kami remaja. Kini usiaku 57 tahun. Usia Cahya 59 tahun. Jarak usia kami hanya dua tahun.
Walau kakak-adik, kami juga kawan bermain. Banyak kawanku menjadi kawannya. Atau kawannya menjadi kawanku.
Sejak kematiannya, aku tidur sangat larut malam. Datang kembali memori bersama sejak masa kecil.
Ujarku dalam hati. “Cahya, kakakku sayang. Banyak yang aku sesali justru di babak akhir hidupmu. Kau seperti dulu. Keras kepala. Nekad.”
“Jika masih ada yang aku syukuri, itu karena kau mendapatkan harapanmu sejak dulu. Dirimu merasa sudah mencapai puncak Gunung.
-000-
Teringat saat aku kelas 1 SMA. Cahya kelas 3 SMA. Paman Beni sering berkunjung ke rumah. Paman sangat pandai bercerita dan menggugah semangat. Banyak pelajaran hidup kami peroleh dari paman. Ia seorang tentara.
“Tak ada kebahagiaan yang lebih tinggi bagi seorang tentara,“ ujar Paman, “Kecuali, ia mati dalam tugas. Manusia yang hidup untuk berjuang, hidupnya lebih bermakna. Ibarat pendaki, ia sudah sampai di puncak gunung.”
Inilah pertama kali aku mendengar istilah perlunya manusia sampai di puncak gunung. Kakakku Cahya sangat senang dengan istilah itu. Berkali-kali ia ulang: “Hidupku harus sampai di puncak gunung.”
Ia berkata kepada Paman Beni. “Paman, saya juga senang untuk sampai di puncak gunung. Tapi saya tak ingin berjuang seperti tentara yang kadang harus membunuh orang.”
“Saya ingin menjadi pejuang perdamaian yang menyembuhkan orang. Dokter akan menjadi profesi saya. Dedikasi saya nanti dalam melayani pasien sama tingginya seperti Mozart ketika main piano. Sama intensnya seperti Van Gogh ketika melukis.”
Keluarga kami banyak membaca. Sejak SMA, kami tahu Mozart, Van Gogh, Sigmund Freud, hingga William Shakepeare. Paman Beni juga yang banyak mempengaruhi.
Kakak mulai suka profesi dokter karena setiap Kamis malam ia mengikuti serial Dr. Kildare di TVRI. Ini dokter muda yang pintar, ganteng, banyak disukai terutama pasien wanita.
Jika datang jam tayang serial itu, kakak tak bisa diganggu. Bahkan ia seringkali memaksaku ikut menonton menemaninya. Richard Chamberlien membintangi film itu.
Aku tak ingat lagi detail ceritanya. Tapi ada satu adegan yang aku ingat. Saat itu Dr. Kildare memeriksa wanita muda cantik yang agak genit. “Sakit apa yang kamu rasakan?” tanya Dr. Kildare. Gadis muda itu menjawab, “Aku bersedia menyatakan sakit apa saja asal bisa menjadi pasienmu.”
Aku dan kakak tertawa. Dr Kildare menjadi idola kakak. Suatu kali ia berkata: “Jaka, bagiku dokter itulah tentara di masa damai. Perangnya melawan penyakit.”
“Dokter pun bisa mati dalam tugas. Itu sama mulianya dengan tentara yang mati dalam tugas. Mereka sama-sama mencapai puncak gunung.”
-000-
Tahun 2020, usia Cahya sudah 59 tahun. Bulan Januari awal ia sudah pensiun sebenarnya. Apalagi yang mau ia cari?
Ia memiliki rumah sakit ukuran sedang. Ini sudah memberikan kenyamanan penghasilan walau ia tak bekerja lagi. Ia beberapa kali mendapatkan penghargaan di bidangnya, ahli paru-paru.
Namun Februari 2020, ketika isu virus corona muncul, ia niatkan aktif kembali menjadi dokter. Kembali ia ingin menjumpai pasien.
Istri, anak dan cucunya protes. “Ayah, banyak tenaga muda di luar sana. Ayah tak lagi muda. Imunitas Ayah jauh berkurang. Ayah mau bunuh diri?”
Cahya hanya tertawa memeluk putri tersayang yang selalu bertindak menjadi komandan pengawas. “Sayang,” ujar Cahya, “Tenaga medis sangat kurang. Ahli paru-paru seperti Ayah dibutuhkan.”
“Virus Corona itu seperti musuh yang masuk ingin menguasai negara kita. Dokter itu seperti tentara. Ia berada di garis depan. Ini musuh datang di depan mata, kok Ayah malah sembunyi?”
“Bagaimana jika Ayah terpapar Virus Corona,” tanya putrinya lagi. “Sayang,” ujar Cahya, “Ayahmu ini ahli paru-paru. Tahulah Ayah cara melindungi diri.”
Seperti biasa, ketika berkehendak, Cahya tak bisa dihalangi.
-000-
Cahya kembali bertugas. Hampir setiap hari ia curhat padaku. Lebih sering ia menelponku hanya untuk melepas ketidakpuasannya.
Sebagai dokter senior, beberapa kali ia kecewa dengan pernyataan Menteri Kesehatan. Sang menteri banyak membuat pernyataan yang tak perlu dan blunder. Misalnya, ia menantang ahli dari Harvard untuk masuk ke Indonesia. Ia meyakini Indonesia bebas Virus Corona.
Tak lama kemudian, Jokowi sendiri mengumumkan virus corona sudah menelan korban. Bahkan saat itu angka kematian akibat Virus Corona di Indonesia termasuk paling tinggi.
Cahya juga mengeluh kurangnya fasilitas dan alat kesehatan di rumah sakit rujukan. Ada satu ruang isolasi luasnya hanya 3 x 4 m2. Ruang itu diisi oleh enam orang.
Padahal keenam orang itu belum diketahui pasti apakah positif atau tidak tertular virus. Bisa jadi, di ruang itu malah mereka saling menularkan.
Ada beberapa pasien yang sudah ditest darah dan thorax. Hasilnya baik. Tapi ia belum ditest Swab. Alatnya belum ada. Akibatnya, masih belum diketahui, ia positif atau negatif terpapar Virus Corona.
Pasien itu diminta menunggu berhari-hari di rumah sakit. Ia dilarang pulang. Jangan-jangan justru karena di rumah sakit, ia akhirnya terpapar.
Cahya sendiri bekerja penuh dedikasi. “Tapi Jaka, jumlah tenaga medis tak cukup untuk melayani. Aku kadang harus menginap di rumah sakit. Hanya tidur 2-3 jam saja. Bahkan ada dokter yang kelelahan dan tidur di lantai.”
Dugaanku ketika Cahya lelah dan lengah, saat itulah ia terpapar oleh pasiennya sendiri.
-000-
Ketika masuk ruang isolasi pertama kali, Cahya mengirimkan pesan WhatsApp di japri.”Jaka, aku titip Rani.”
Teks itu lima hari sebelum kematiannya. Aku menduga ia sudah punya data dan firasat.
Rani adalah cucu kesayangannya berusia baru 8 tahun. Ayah dan Ibu Rani wafat kecelakaan mobil. Rani tinggal bersama Cahya dan Istri. Dua anak Cahya lainnya sudah menikah dan tinggal di rumah berbeda.
Hari itu, kuajak Rani main ke rumahku. Kutanya ia ingin menjadi apa besar nanti. “Aku ingin menjadi seperti kakek Cahya, menjadi dokter,” ujar Rani.
“Dengar ya sayang,” kataku kepada Rani. “Pilih saja, apapun yang berdetak di hatimu. Tapi apapun yang dirimu pilih, upayakan dirimu sampai ke puncak gunung.” Kuulangi berkali-kali kalimat favorit kakeknya.
“Ya, kakek Jaka,” jawab Rani senang.
Kupeluk Rani. “Ya, Allah, serasa aku memeluk jiwa kakakku.” (*)
April 2020
Oleh; Denny Januar Ali, atau biasa disapa Denny JA adalah seorang konsultan politik dan tokoh media sosial. Dia aktif di media sosial dan aktif menulis dengan tema seputar sosial dan politik di Indonesia. Denny JA mendirikan banyak lembaga survei dan perusahaan konsultan politik.