Part #14 Tuhan Jangan Kau Cabut Dulu Bunga Bunga Indah Ini

Oleh: Bagus President SLESex Appeal

Udara yang dingin dalam tenda di puncak gunung ini membuat dua tubuh remaja ini menggigil. Saling berdekapan. Memang Tegar membekali dirinya dengan persiapan yang semestinya. Tapi si remaja perempuan hanya seadanya. Modalnya hanya nekat agar bisa bersama Tegar pada hari ulang Tahun remaja pria yang membuat dia siap melakukan apa saja demi mendapatkan perhatian dambaan hatinya tersebut.

Tegar telah memberikan pakaian gantinya pada perempuan yang memaksa tidur bersamanya dalam tenda ini, tapi di tolak. Sleeping bag yang mestinya hanya untuk Tegar sendiri, harus diisi oleh dua orang.

Jangan bayangkan bagaimana suasana di dalamnya. Hati Tegar berdegup kencang. Darah muda remaja yang sehat lahir batin bagai air bah. Dia berkeringat bertahan dari desakan-desakan yang belum pernah dia alami selama ini. Nalurinya liar.

Tubuh Tegar gemetar, bukan hanya disebabkan oleh udara yang dingin, tapi tangan perempuan yang memeluknya itu bukan hanya memeluk, tapi gentayangan ke mana-mana. Kelaki-lakiannya berdenyut. Tegar semakin menggigil. Nalurinya ingin mengikuti hasrat yang terpancing. Tapi dia belum berpengalaman. Perlahan dia mengikuti kata hasratnya. Tangan, tubuh, dan nafasnya mulai bereaksi.

Hatinya berperang. Satu sisi mengingatkannya untuk berhenti, satu sisi merayunya untuk menikmati hidangan yang dihidangkan oleh si perempuan yang semakin binal, dengan tangan, kaki, tubuh, bibir, lidah, hidung dan desahan.

“Dek, jangan kecewakan, ayah… “

Suara Jago mengiang di telinganya. Seketika Tegar menghentikan tangannya yang mulai melayani keinginan perempuan yang sudah mulai membuka resleting celananya.

Tapi si perempuan malah semakin liar. Dia ingin menggulati Tegar di dalam kantong tidur yang sangat sempit tersebut.

Tegar kembali pada kesadarannya. Dia mendorong tubuh si perempuan, dan tangannya segera mencari resleting kantong yang hampir saja mencelakai kehormatannya sebagai lelaki.

Amarahnya hampir saja meluap kepada wanita ini. Tapi dia tahan. Gunung ini bukan tempat yang pas untuk memaki-maki. Dengan emosi yang di tahan, Tegar langsung bangkit dan buru-buru keluar dari tenda.

“Pengecut!” Ujar si wanita dengan geram. Dia uring-uringan. Hasratnya yang menggelora, dibunuh oleh laki-laki impiannya dengan kejam. Dia tidak terima. Tangannya yang gemulai dengan kasar meraih dan berusaha menarik Tegar agar kembali ke dalam pelukannya.

Tapi pria tampan idola banyak gadis itu telah melepaskan diri dan menghindar, untuk menyelamatkan nama baiknya, nama baik kakaknya, dan nama baik ayahnya yang sangat dia hormati.

Kaki Tegar melangkah kasar dan cepat. Tidak ada tujuan. Yang penting dia harus menyelamatkan kelaki-lakiannya, jangan sampai dapat dinikmati oleh remaja wanita muda binal yang sangat liar itu.

Remaja wanita muda binal yang sangat liar itu termangu. Tidak menyangka ‘penghidangan’ dirinya di tolak oleh Tegar. Dia berteriak marah.

“Pengecuuuutttt……!!!”

Tubuhnya liar, tangannya merobek-robek sleeping bag, kakinya menendang-nendang apa saja yang ada di dalam tenda. Dia geram. Dia dendam. Amarahnya akan nafsu tak terpuaskan telah menutupi kesadarannya sebagai wanita yang seharusnya lebih mulia dari lelaki.

Dia bangkit berusaha mencari Tegar. Mestinya langit yang cerah ini bisa membantu matanya dalam menemukan pria yang telah menghempaskannya malam ini. Anak baik-baik itu telah hilang dari pandangannya. Dia berusaha mencari di sekitar tenda atau sekitar tempat-tempat yang menurut perkiraannya akan dijadikan Tegar sebagai tempat dalam usaha menghindarinya. Tapi tidak ada.

“Keluar kamu pengecut!” Teriaknya geram.

Tenaganya sudah banyak habis. Selain energinya itu telah berkurang karena aktifitas yang dia lakukan menaklukkan seorang Tegar, emosinya juga turut andil, apa lagi dia sudah naik dan turun bukit dalam usahanya mencari pria yang sudah ‘menghinanya’ malam ini.

Dalam dinginnya suhu puncak gunung, dia berkeringat. Dia lelah, dan mulai merasa malu. Terduduk lemas di batu yang tidak jauh dari tenda yang sudah dia robohkan tadi.

Di anak sungai yang tersembunyi, Tegar mendinginkan tubuh panasnya. Dia harus menaklukkan gelora panas kelaki-lakiannya yang sempat memberontak dan hampir lepas kendall.

Tubuhnya yang bagus, menurut para penculiknya watu itu (baca part #4 Pukulan Demi Pukulan), dia celupkan hingga ke dasar anak sungai. Muncul kembali ke permukaan jika paru-parunya sudah meminta kembali untuk diisi oksigen. Begitu terus hingga dia merasa dingin.

Tegar keluar dari penyelamatan harga dirinya. Dia sangat jijik ketika mengingat kejadian di dalam tenda tadi. Dia juga merasa jijik pada perempuan yang hampir menjerumuskan dirinya, abangnya dan ayahnya ke lumpur penghinaan.

Tegar jijik dan marah. Dan dia tidak ingin lagi melihat wanita itu. Kakinya yang kuat melangkah menjauhi tenda. Dia ingin menghabiskan malam ini dengan selalu bergerak agar tidak diserang oleh udara dingin, hal yang paling menakutkan para pendaki gunung, selain dari tersesat dan kehabisan perbekalan.

Ketika matahari mulai terbit, yang biasanya akan membius setiap pendaki dengan keindahannya, kali ini tidak menarik sama sekali bagi Tegar. Kakinya terus melangkah mengitari puncak Bukit Kaba. Selain untuk membuat tubuhnya hangat, juga untuk menghilangkan amarah dan rasa jijiknya pada Sherly, perempuan yang ingin menikmati tubuh dan semua yang ada pada tubuhnya.

“Enak banget kamu, ayah meminta aku agar menjaga tubuhku hingga ada perempuan yang sah jadi istriku, dan kamu bukan perempuan itu!”

Bisik hati Tegar geram. Kalimat itu berulang-ulang sepanjang langkahnya.

Ketika matahari mulai menghangatkan, dia kembali ke Tenda. Dia menemukan Sherly berbaring di atas batu. Tidak ada sama sekali keinginannya untuk melihat, apa lagi menghawatirkan perempuan tersebut.

Tegar melangkah ke tenda dan menemukan tenda sudah roboh dan robek. Tas punggungnya, dan semua isinya berserakan di reruntuhan tenda. Dia memperhatikan kantong tidur hadiah ayahnya di ulang tahunnya setahun lalu, yang sudah robek dan tidak bisa dipakai lagi.

Hampir saja dia menghampiri tubuh yang sedang tidur di atas batu itu dan mencak-mencak kesurupan, tapi dia ingat, dia sekarang di puncak gunung, yang tidak semestinya dikotori oleh energi negatif.

Tegar melampiaskan emosinya dengan membenahi tenda dan semua barang-barang yang berserakan ke dalam tas punggungnya yang melewati kepala kalau sudah disandang dan diisi penuh.

Ketika sudah beres, dia membangunkan Sherly, dengan ujung kayu yang tergeletak di dekat bekas lokasi dia mendirikan tenda.

“Aku mau pulang. Kamu terserah. Lagi pula kita tidak berbarengan kemaren. Soal tadi malam, aku akan melupakannya.” Ucap Tegar dingin saat wanita yang sebenarnya cantik ini, telah sadar sepenuhnya.

Tegar telah memperlihatkan sisi lain dari dirinya yang tanpa dia sadari. Ada sisi dingin dan kejam pada pribadi yang hangat dan baik hati ini.

Sherly menunduk malu. Dalam hati dia tidak menyalahkan Tegar. Dia hanya bisa sesenggukan menahan tangis.

Kali ini hati Tegar tidak tersentuh oleh air mata yang jatuh itu. Malah dia memalingkan muka, berbalik dan melangkah turun. Sama sekali dia tidak ingin lagi wanita itu menyertai langkahnya. Dia sudah sangat jijik.

Semestinya dia menghawatirkan gadis yang tinggal di belakangnya. Tapi ketika dia mengingat kejadian di dalam tenda tadi malam, kekhawatiran itu entah berada di mana.

Lagipula, apa yang dikhawatirkan? Gadis itu muncul ke tendanya tidak lama setelah tenda itu selesai didirikan. Dia naik bersama lima orang teman-temannya. Empat laki-laki dan dua perempuan, termasuk dia.

Lima temannya tersebut mendirikan satu tenda doom yang memang ukurannya bisa diisi oleh enam orang, sedikit menjauh dari tenda Tegar.

Menurut mulut si gadis, dia sengaja mengajak teman-temannya naik Bukit Kaba begitu dia tahu Tegar akan naik sendiri untuk merayakan ulang tahunnya di gunung berapi yang sudah tidak aktif lagi ini, tanpa memberitahu maksudnya sebenarnya kepada teman-temannya.

Tegar semakin mempercepat langkahnya menyusuri jalan setapak jalur akses naik dan turun Bukit Kaba yang memiliki keindahan yang tidak bosan dia nikmati setiap dia berada di puncak ‘gunung’ ini.

Tegar melangkah cepat dan dia tidak ingin menoleh ke belakang. Baginya, di belakangnya sekarang ada sesuatu yang tidak ingin dia ingat. Dia harus segera sampai ke pos, di mana dia mengisi data dirinya dan meletakkan motornya. Dia ingin segera lepas dari lingkungan yang ada hubungannya dengan Bukit Kaba yang sudah menjadi destinasi wisata andalan kabupaten Rejang Lebong ini.

Soal dia akan bertemu lagi di sekolah dengan Sherly, itu akan jadi pe-er baginya. Karena Sherly adalah kakak kelasnya di sekolah, yang selama ini selalu berusaha untuk dekat dengannya.

“Aku akan minta pindah sekolah pada ayah!”

Keputusan yang diambil dan di ucapkan dengan nada geram.

Sepeninggal Tegar, gadis yang menunduk malu tadi memandang tubuh remaja yang membuat dia hampir gila tadi malam. Dalam hati ada rasa malu, marah dan dendam.

Malu karena apa yang dia perbuat tadi malam tidak seharusnya dilakukan oleh seorang wanita dan ditolak. Marah karena hasratnya untuk terpuaskan oleh lelaki ‘etalase’ tersebut tidak ‘terkesampaian’.
Walaupun ada sisi hatinya yang merasa puas telah menggerayangi seluruh tubuh Tegar, tapi sisi lain hasratnya kecewa karena tidak terpenuhi. Tegar langsung mendorong tubuhnya ketika jemarinya yang halus mulai membuka resleting celana khusus untuk naik gunung pemuda yang sempat membalas sentuhan-sentuhannya tadi.

Malu dan marah, akhirnya menimbulkan dendam di hatinya. Ketika rasa dendam itu muncul, dia pandang tubuh yang semakin jauh dan hilang di balik daun-daun. Dalam hati dia bertekad, harus bisa menikmati utuh seluruh tubuh laki-laki itu.

“Harus!” Cetusnya sambil terjun dari batu yang telah menghangatkan tubuhnya tadi malam.

“Aku harus mendapatkan tubuh kamu, harus!” Ulang Sherly sambil melangkah menemui teman-temannya di tenda mereka.

Keinginan liarnya yang belum terpuaskan membuat dia menyusun rencana untuk mencapai keinginan tersebut. Dia melupakan sama sekali kalau dia harus menjaga dirinya dari perbuatan yang akan menempatkan dirinya pada resiko yang hanya dia yang menanggungnya di masa datang.

Jika hasratnya tersebut terlampiaskan, dia sendirilah yang kan menanggungnya. Hamil dan Tegar tidak mau bertanggung jawab, misalnya?

“Demi dia, demi bisa menikmati utuh tubuhnya, soal resiko, nanti akan aku pikirkan.”

Kalimat itu dia tekankan berulang-ulang dalam hatinya.

Sebenarnya, bukanlah salah si Sherly jika memiliki hasrat seperti itu. Memang semua yang ada pada tubuh Tegar, di usianya mendekati dewasa, auranya semakin membuat para wanita ingin menikmati tubuhnya. Kalau tidak kuat iman dan hilang rasa malu, maka mereka akan melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Sherly tadi malam.

Amarahnya kepada Sherly masih tinggi. Begitu keluar dari parkiran pos pintu masuk menuju Bukit Kaba, Tegar memacu motornya secepat dia bisa. Dia ingin meninggalkan tempat itu secepatnya.

Tapi ketika sudah memasuki jalan utama kota Curup, Tegar memperlambat kendaraannya. Dengan kecepatan normal untuk dalam kota. Sambil bersiul dia menikmati udara dan jalan-jalan kota Curup menuju Kepahyang.

Tidak lama meninggalkan perbatasan Curup dan Kepahyang, Tegar menimbang-nimbamg, apakah singgah di Kepahyang atau terus ke cabang cafe yang ada di gunung, di Bengkulu Tengah. Dengan banyak pertimbangan, Tegar memutuskan untuk singgah dan ngobrol dengan om Ibnu, pengelola cabang cafe mereka.

Kecepatan motor hanya empat puluh kilometer perjam. Karena memang tidak ada yang ingin dia kejar. Bagi Tegar, sepanjang perjalanan ini sangat sayang kalau dilewati saja keindahannya. Baik hamparan bukit di lembah-lembah, atau bunga-bunga liar yang mekar di sepanjang perjalanan.

Tikungan terakhir sebelum Kedutaan (sebutan cabang cafe mereka), Tegar semakin memperlambat motornya, dan menghidupkan lampu sen kanan, sebagai aba-aba bagi pengendara yang ada di belakang ataupun di depannya.

Tepat di depan pintu masuk, motor metik inventaris cafe itu berhenti, menarik perhatian empat orang yang ada di dalamnya. Semua mata memandang Tegar yang belum membuka kaca helmnya.

Sambil membuka helm, Tegar berjalan menuju empat orang tersebut dan menyalami satu persatu.

“Selamat pagi semuanya.” Tegar membuka pembicaraan.

“Loh, dek, dari mana?” Tanya Ibnu, pengurus cabang cafe.

“Dari bukit Kaba om… “

“Dang, ini Tegar yang barusan kita cerita.” Ibnu memperkenalkan Tegar pada seorang tamu yang kelihatannya seumuran Ryu.

Diperhatikan dari ujung rambut hingga ujung kaki oleh tamu tersebut membuat Tegar sedikit risih. Apa lagi ketika tamu tersebut bangkit dan mengelilinginya.

“Maaf, om, ada apa ya?”

Tegar berusaha melepaskan diri dari pandangan si ‘om’.

“Om, tidak percaya kalau om ketemu dengan teman sekolah om dulu. Kamu sangat persis. Bedanya kamu lebih tinggi dan kumismu lebih tebal.” Sahut si om sambil memegang tubuh Tegar.

“Maaf, om, geli… ” Sahut Tegar sambil duduk di samping om Ibnu.

“Adek mau kopi atau teh?” Tanya istri Ibnu.

“Teh saja tante. Maaf merepotkan.” Sahut Tegar ketika dia sudah duduk.

“Om teman akrab ayahmu waktu sekolah dulu” Si ‘om’ memperkenalkan diri. Kalimat terakhirnya membuat Tegar ingin tahu banyak tentang masa muda ayahnya.

“Makasih tante… ” Ucapkan Tegar ketika istri Ibnu menyajikan Teh andalan cafe mereka. Bukan tidak ada alasan Tegar minta minuman ini, dia ingin menyegarkan pikiran, dan mengembalikan stamina tubuhnya yang terkuras tadi malam dan sepanjang perjalanan barusan.

Lima orang yang duduk dengan minuman masing-masing di atas meja ini ngobrol dengan akrab.

Di depan cafe, di seberang jalan menyuguhkan pemandangan yang menakjubkan. Langit biru dihiasi oleh gumpalan-gumpalan kecil awan putih bersih, di bawahnya bukit-bukit hijau berlapis-lapis, walau sayang ada di beberapa tempat sudah kelihatan gundul, baik oleh masyarakat, maupun oleh perkebunan dan pertambangan batu bara.

“Dek, ada Rafflesia lagi mekar di bawah… ” Ujar Ibnu pada Tegar. Seketika mata Tegar berbinar. Informasi ini sangat berharga baginya.

“Ayo, om, antar adek ke lokasi.” Tegar sudah tidak sabar lagi. Nada kalimatnya yang bagai anak kecil yang dapat mainan baru itu, membuat semua yang hadir tertawa. Tegar tidak perduli itu.

Sambil menunggu Ibnu siap-siap, Tegar mengambil kamera di dalam tas gunungnya. Mencoba benda tersebut dengan memotret beberapa objek di dalam cafe, tepatnya sebuah warung. Termasuk wajah orang-orang yang di depannya.

“Jangan lama-lama. Om mau ajak kamu ke air terjun dekat sekolah om… ” Om Mawi, yang ternyata seorang guru tersebut bicara pada Tegar, yang langsung terperangah dan seketika menarik Ibnu agar segera menuju lokasi mekarnya bunga yang jadi icon provinsi Bengkulu tersebut.

Melalui jalan di sisi bukit yang terjal dan licin, kemudian menyeberangi anak sungai, lalu mendaki lagi beberapa puluh meter, sebelum mencapai bunga yang langka itu, membuat Tegar lupa bagaimana sulitnya medan tadi.

Di depannya tersaji sekuntum bunga Rafflesia yang berdiameter hampir mencapai satu meter. Lima kelopak mekar sempurna dengan warna merah bata. Wajar saja Raffles, gubernur Inggris pada jaman penjajahan dulu terpesona hingga melekatkan namanya pada bunga parasit ini, ketika pertamakali ketemu dalam suatu ekspedisinya bersama Arnold, sang asisten.

Setelah mengambil beberapa foto dalam berbagai sudut pengambilan, Tegar mengajak Ibnu untuk segera kembali ke ‘kantor kedutaan’.

Tidak lama setelah Tegar dan suaminya pergi tadi, istri Ibnu langsung ke dapur. Dia langsung mempersiapkan lema (lauk khas masyarakat Rejang, yang terbuat dari rebung, dirajah dadu kecil dan dipermentasi), kesukaan Tegar.

Belum lagi masuk, etika Tegar sampai di halaman ‘cafe’, hidungnya langsung mencium aroma yang datang dari dapur. Baru saja mencium aromanya, Tegar sudah merasa lapar. Langsung dia masuk dapur, berharap masakan tersebut sudah masak.

Malam, di teras rumah om Mawi, Tegar duduk di teras, setelah makan malam bersama istri dan anak-anak tuan rumah. Setelah ngobrol tentang rencana besok, berpetualang menuju air terjun Datar Lebar, sesaat mereka terdiam.

“Om, ayah waktu muda dulu banyak pacar, tidak?”

Tegar tiba-tiba menanyakan sesuatu yang membuat om Mawi bingung mau menjawab apa. Pertanyaan ini terbersit di otak Tegar ketika mengetahui kalau om Mawi adalah teman akrab ayahnya, ketika di ‘cafe’ tadi pagi.

Mawi memilih kalimat yang pas untuk menjelaskan siapa ayah Tegar waktu muda. Bagi Mawi, Tegar adalah anak-anak yang membuat senang semua orang, walaupun hari ini berusia delapan belas tahun.

“Ayahmu itu ibarat gula dan kaum cewek adalah semutnya. Mereka itu selalu berusaha ada di dekat ayahmu. Tapi bagi ayahmu waktu seumurmu hingga sekarang, mereka adalah sahabat, dan dia tidak ingin mengecewakan banyak sahabat lain jika memilih salah satu dari mereka.” Jawab Mawi hati-hati. Dia tidak ingin ‘anak kecil’ ini menyerap sesuatu yang salah jika dia menerangkan masa muda sahabatnya.

Mawi tersenyum dalam hati ketika melihat Tegar manggut-manggut. Padahal kalimat yang hampir keceplos dari mulutnya adalah ” Ayahmu dulu punya pacar di tiap kelas. Di kelas satu ada, kelas dua ada, di kelas tiga juga ada… “

“Om, bagaimana ayah melepaskan diri dari cewek-cewek yang menginginkan tubuh ayah?” Pertanyaan ini dilatarbelakangi oleh kejadian yang menimpa dirinya tadi malam.

Deg! Sesuatu yang berat menghantam hati dan otak Mawi Dia menduga bahwa Tegar telah mengalami kejadian yang sangat menghawatirkan.

“Kenapa, dek?” Tanya Mawi hati-hati.

“Gak papa, om… ” Mawi melihat ada mendung yang sangat gelap di wajah muda belia itu.

Tegar lalu bangkit dan berjalan menuju studio kerja Mawi sebagai pembuat furniture. Di salah satu kursi yang baru selesai, dia duduk dan memandang jauh. Melihat situasi ini, Mawi segera bangkit dan segera menyusul.

Sambil merapikan alat-alat kerja yang belum tersimpan, Mawi sekali-kali melirik pada Tegar. Dia mencari kata-kata yang pas.

“Ayahmu tidak pernah menciptakan situasi supaya dia sama cewek yang bersamanya, hanya berdua. Dia selalu menghindari berada di tempat sepi, rumah, atau kamar ketika ada teman ceweknya datang, atau mendatangi cewek. Ayahmu sadar betul kelebihannya membuat banyak perempuan menginginkan dia.”

Mawi menjelaskan siapa ayah Tegar di masa mudanya.

Tegar menyimak setiap detil kata-kata laki-laki ini. Dia semakin mengidolakan sang ayah.

“Ayah… Ayah di mana?” Hati Tegar merindu. Dia ingin pulang dan memeluk ayahnya. Tapi tidak mungkin, om Mawi-nya tidak akan mengizinkan.

“Om, om tahu Claire?”

Mata Mawi menyelami lubuk hati Tegar melalui sinar matanya. Tapi si om yang pembawaannya tenang ini memberikan kesempatan kepada anak muda ini melanjutkan kalimatnya.

“Adek menyesal om…. Adek sudah menghalangi kebahagiaan ayah bersama Claire. Adek mau minta maaf pada ayah, tapi nomornya tidak bisa dihubungi sejak seminggu ini…. “

Tegar menengadah, menghalangi agar air matanya yang sudah menetes agar tidak jatuh, selanjutnya dia memalingkan wajahnya dan menghapus air mata itu. Tegar tidak mau om Mawi yang sedang merapikan susunan papan melihat kalau dia hampir menangis.

“Om, om mau nolong adek…?”

Mawi bangkit dan segera menghampiri Ryu muda dahulu.

“Apa yang mesti om lakukan?”

“Om tahu apa saja kegiatan ayah selain mengurus cafe waktu dulu?”

Mata Tegar yang sedikit sipit, memandang harap pada laki-laki yang lebih pendek dari ayahnya. Mawi hampir saja gelagapan. Dia berpaling sejenak. Mencari kata-kata yang bisa menghindari dari pertanyaan ini.

“Kenapa, adek sudah rindu ayah?”

Mawi menarik nafas dalam, setidaknya pertanyaan itu akan menunda jawaban yang harus dia jawab.

‘Iya, om. Adek ingin minta maaf sama ayah… “

Ah…. Mawi lega. Dalam hati dia berucap “Nanti, saat itu tiba, ayahmu akan menjelaskan semuanya, nak… “

Next #15.