Part III : Tuhan Jangan Kau Cabut Dulu Bunga-bunga Indah Ini

Efek Galau Tegalau Galau, Diangkat dari kisah nyata.
Karya : Bagus, Republik-SLE

Sudah tiga hari ini kelakuan Tegar aneh. Dia sering diam-diam menguping pembicaraan ayahnya pada karyawan-karyawan mereka, secara diam-diam menunggu ayah dan kakaknya ngobrol, dan selalu berusaha untuk bisa mendengarkan isi obrolan itu. Atau berusaha mencari celah untuk bisa mendengarkan apa saja obrolan ayahnya sewaktu menelpon. Dan selalu saja upayanya itu berujung dengan kecewa tergambar di wajahnya.

“Bang, ayah ada suruh abang Dan lain-lain belanja lebih tidak?

Dia mencegat salah seorang karyawan yang berjalan di depannya. Dan sepertinya Tegar membuat agar si karyawan melewatinya. Karyawan yang di tangannya membawa susunan piring berhenti sejenak, dan mengingat-ingat.

” Sepertinya belum dek. Kenapa?”

“Ayah dan abang belum kelihatan dari pagi. Abang tahu mereka ke mana?”

“Tadi malam bos bilang ke Jogja sama Jago subuh tadi. Katanya mau survey lokasi buat cabang baru. Mereka tidak bilang? “

Tegar menggeleng. Ada luka menyayat jiwanya.

“Ada apa?

“Ah nggak, nggak apa-apa.” Sahutnya sambil berlalu meninggalkan karyawan yang masih bingung dengan pertanyaan tadi.

Orang yang lagi kecewa atau lagi marah, pasti akan mencari pelampiasan, tidak terkecuali Tegar. Dia membuka pintu kamar dengan kasar dan menutupnya dengan sangat kasar.

“Aaaaaaaaarrrrgggggghhhhh!!! “

Bantingan pintu dan teriakannya mengejutkan semua karyawan, dan mereka berlarian menuju ke arah suara.

“Ada apa dek? ” Karyawan yang dia cegat tadi berusaha bertanya.

“Kamu baik-baik saja kan? ” Lanjutnya.

“Diam! Gak usah tanya-tanya! Semuanya tidak perduli!” Suara dari dalam itu sangat kasar.

Tidak lama kemudian, pintu di buka dengan kasar.

“Awas, Aku mau pergi! ” Masih sangat kasar.

“Mau ke mana? ” Tanya karyawan yang lain.

“Gak usah tahu!”

“Nanti kalau ayahmu nanya bagaimana? ” Tanya karyawan yang lain lagi.

“Gak usah jawab! ” Tegar melangkah kasar dan keluar. Sesaat dia berhenti, bingung menentukan arah mana yang dia tuju. Akhirnya dia memilih lurus. Dia berlari menyeberangi jalan yang lagi ramai. Dia tidak perduli itu. Lalu masuk pusat perbelanjaan.

Di cafe, para karyawan membahas apa yang baru saja terjadi.

“Ada apa ya? Tidak pernah seperti ini.”

“Untung bos sedang tidak ada, bisa-bisa dipukul lagi kayak dulu.” Sambung yang lain.

“Kasihan Aku liat Tegar waktu itu, sampai tidak bisa bergerak waktu dipiting, cuma karena naik gunung tidak pamit, padahal Tegar sudah sering naik gunung. Malah pernah sama bos.”

“Bos kalau marah parah sama Jago dan Tegar. Kayak orang kesurupan.”

Lalu mereka melanjutkan pekerjaan mereka.

Kembali pada Tegar. Anak yang biasanya penuh inisiatif ini kali ini buntu otaknya. Dia terus melangkah di dalam mall dengan kegusaran. Menuju loby depan, melewati parkiran lalu berhenti di terpa terik matahari, di pinggir jalan yang ramai. Di saat hari minggu begini, jalanan ini semakin ramai.

Beberapa saat dia masih bingung mau ke mana. Lalu dia mengeluarkan HP dari saku celananya. Entah apa yang dilakukannya, jari jempol kanannya sepertinya melakukan sesuatu, tapi kemudian berhenti, dan wajah gusarnya hanya memandang benda yang ada di tangan.

Sesaat kemudian dia berbalik dan melangkah enggan. Menyeberangi parkiran, naik ke teras, masuk, loby, dan menyusuri jalan yang dia tempuh tadi. Dia memutuskan untuk kembali.

Sesampai di cafe dia melihat para karyawan yang sedang sibuk menyiapkan makan siang tamu-tamu yang sudah ada di beberapa meja. Biasanya dia akan membantu, tapi kali ini dia tidak memperdulikannya. Langsung masuk kamar, dan menutup pintu lalu menghempaskan tubuh di tempat tidur, lalu menatap langit-langit kamar.

Perlahan matanya menutup, tapi sesaat kemudian dia perlahan mengambil HP di kantong celana, membuka aplikasi WA dan mencari nomor ayahnya.

Di kolom pesan dia menulis “Ayah, dalam beberapa hari ke depan, kita ada acara? ” Ketika akan menekan logo mengirim, dia ragu. Tidak lama kemudian di hapus, dan hanya meninggalkan kata ‘Ayah’ dan hanya mengirimkan itu.

Lalu dia membuka nomor salah seorang bibinya dan mengetik “Bik, ayah ada minta bibik masak dak? “
Tapi kalimat itu tidak jadi dikirim.

Lagi-lagi Tegar mau menulis sesuatu pada kolom pesan WA salah seorang kakak sepupunya. Tapi lama dia memikirkan apa yang akan dia tanya.

Akhirnya dia memutuskan menghubungi para sahabatnya di grup mereka yang cuma beranggotakan empat orang.

“Cuy, ayah aku ada nelpon kalian?

Tak lama kemudian ada yang jawab
” Gak!”
Lalu disusul dengan jawaban yang lain.
“No”
“Idem”

Tegar menarik nafas kecewa.

Pagi ini Tegar bangun dengan malas. Tegar kurang jam tidur. Tadi malam, ketika di mesjid terdengar orang mengaji menjelang subuh, dia belum tidur. Dengan sangat enggan dia pergi ke kamar mandi. Padahal dia sebentar lagi harus berangkat sekolah.

Setelah mandi dan memakai seragam, dia membuka pintu kamar ayahnya dan hanya menemukan kamar yang kosong dan berantakan seperti biasa. Banyak barang-barang tergeletak tidak pada tempatnya.

Lalu ke kamar abangnya. Juga kosong.

“Mereka tidak pulang…! ” Gumamnya kesal bercampur kecewa. Dia melangkah malas.

” Dek, tidak sarapan?”
Suara salah seorang karyawan yang biasa nginap di cafe kalau ayah tidak ada.

“Malas bang…Oh ya bang, ayah kapan pulang? ”

“Lah kok nanya abang?”

Tegar ambil kesimpulan, belum Ada kepastian kapan ayah dan kakaknya akan pulang.

Biasanya ayahnya akan selalu memberitahu ke mana akan pergi, melakukan apa dan sampai kapan, atau abangnya yang akan memberitahu, paling tidak dititip pesan pada karyawan. Atau kalau sangat mendesak,ayahnya akan menyampaikan pemberitahuan melalui pesan di WA. Dan itu dia tekankan juga pada Tegar dan Jago. Tapi kenapa kali ini mereka tidak melakukan itu?

Hari ini Tegar benar-benar menjadi orang yang sangat berbeda. Gerakannya lamban dan lesu. Antara mau dan tidak dia menaiki ojol dari AndonkBuddy yang biasa antar jemput dia ke sekolah.

Disekolah, dia menjauhi kawan-kawannya. Memperhatikan dengan malas guru di depan kelas.

Ketika jam istirahat siang, dia pergi ke kantor guru dan menemui wali kelas.

“Pak, ayah ada nelpon bapak? “

Tanpa basa-basi, Tegar langsung menanyakan itu, dan tentu saja membuat si wali kelas bingung.

“Tidak, setidaknya hingga detik ini belum”

“Pak, saya ijin pulang.”
“Kenapa?”

Tegar bingung mau menjawab apa,. Di tengah kebingungannya, bapak wali kelas meraba kening Tegar.

“Panas sekali badanmu, bapak antar ke UKS dulu.”

“Tidak usah pak, saya langsung pulang saja.”

“Ada yang antar, atau jemput?”

“Biar saja pak, saya ke rumah bibi di belakang..”

“Oh, iyalah kalau begitu.”

Tegar kembali ke kelas dan mengambil tasnya. Lalu berjalan menuju rumah bibinya yang ke dua. Di rumah ini dia menemukan bibinya sedang makan di depan tv. Tanpa salam Tegar langsung masuk dan mencomot kerupuk di piring bibinya. Wanita ini sudah biasa dengan kelakuan ‘keponakan’nya ini.

“Sana makan. Sudah di atas meja semua.”

Tegar menanggapi kalimat bibinya dengan nyengir sambil garuk-garuk kepala. Melemparkan tas ke kursi, dan langsung ke dapur., membuka tutup kuali, balik ke ruang makan, membuka tudung saji, mengambil sepotong ikan goreng kegemarannya, menggigit dan mengunyah. Sambil mengunyah di bertanya.

“Paman mana bi?
” Di atas” Jawab bibinya.

Tegar menuju tangga lantai atas. Ketika dia menginjak anak tangga pertama dia mendengar kalimat bibinya.

“Kamu itu persis tingkah ayahmu kalau ke sini.”

Tegar cengengesan.

Sampai di lantai atas dia memanggil pamannya.

“Paman…! “

“Di sini.” Suara dari balkon. Tegar langsung menyalami sang paman, dan segera mau turun. Tapi di tahan oleh pamannya.

Laki-laki hampir 60 tahun ini memandang dan meneliti wajah Tegar dengan seksama.

“Kamu semakin lama semakin mirip ayahmu waktu seumurmu., bedanya badanmu lebih tinggi dari dia.”

Lagi-lagi Tegar cengengesan. Dia tidak tahu perasaannya ketika mendengar kalimat pujian pamannya. Yang jelas Ada terselip rasa bangga.

“Buk, badan Tegar tuh panas. Mungkin demam. Suruh dia makan obat dulu.” Teriak pamannya dari balkon atas.

Tegar turun dengan perasaan yang riang. Ketika melewati meja makan, dia kembali mengambil 2 potong ikan goreng. Sepotong dia makan dan sepotong lagi di bagi dua, dan langsung ke luar.

“Mau ke mana? ” Tanya bibinya.

“Mau ke bibi bawah.” Jawab Tegar sambil melangkah.

BACA JUGA:  Byuto Bab III: Redap

“Bibi bawah” maksudnya adalah ke rumah bibinya yang paling bungsu, yang berada sekitar tiga puluh meter, yang posisi rumah tersebut memang berada pada tanah yang sedikit lebih rendah.

“Makan dulu, setelah itu makan obat,” Teriak bibinya.

“Tegar gak demam bi… ” Jawab Tegar sambil melangkah.

Baru saja kakinya menginjak wilayah tanah bibinya, sudah di sambut oleh suara geraman Kimo dan Tumang dengan ancang-ancang siap menyerangnya. Mereka ini adalah dua penjaga yang paling ganas. Ketika mereka melihat kalau yang datang adalah Tegar, keduanya malah meloncat-loncat kegirangan sambil mengibas-ngibaskan ekor mereka.

Tegar langsung melempar potongan-potongan ikan yang di bawa tadi, sebagai sogokan, supaya dua ekor anjing itu tidak menyalak terus.

Ketika mau masuk rumah, Tegar hanya menggesek sekedarnya saja kakinya pada keset yang tanpa alas sejak dari rumah ‘atas’ tadi, mengucap salam sambil nyelonong.

Ada suara sahutan dari dapur. Tegar langsung menuju dapur. Di sini bibinya lagi membuat kue. Ambil satu dan langsung dimakan. Bagai ikan kurang air, Tegar megap-megap. Bibinya terkekeh.

“Masih panas itu sayang. Gak liat-liat lagi. Ini nih yang sudah dingin.”

Bibinya menyerahkan kue yang sudah dingin, lalu Tegar mengambilnya, tapi tetap mengunyah yang di dalam mulut.

‘Bi, ayah ada nelpon bibi dalam 2 hari belakangan?”

“Tidak, kenapa?”

“Tidak apa-apa. Bibi atas ada di telpon?”

“Gak tau, tanya saja sendiri?” Bibinya menjawab sambil menata kue yang dingin ke dalam toples.

“Bibi dusun? ” Bibi dusun adalah kakak tertua ayahnya yang tinggal di kampung.

“Ya di dusun la… Ada apa sin? ” Kejar bibinya. Mulai penasaran.

Tegar tidak menjawab, malah balik bertanya.

“Kue-kue ini untuk apa?” Tegar melihat ke arah kue.

“Ya untuk di makan….!”

“Banyak ya bibi masaknya?” Dari tatapannya Tegar berharap sesuatu.

“Tidak, kan untuk cemilan di rumah. Kenapa, Tegar mau?”

“Ah, gak usah bi… “

Ada kecewa tersirat dari kalimat itu, cuma dia sendiri yang merasakannya.

“Mana yang lain bi?”
Sekedar pertanyaan pengalihan dari perasaannya saja. Karena dia tahu jam segini yang lain masih dengan kesibukan masing-masing di luar.

Tegar lalu keluar, tanpa pamit langsung menuju rumah ‘atas’. Masuk, ambil tas, salim pada bibinya yang masih menonton tv dan tanpa bicara apapun langsung pulang.

Dari tempatnya bersantai Tegar mendengar pamannya meminta bibinya mencegah Tegar pulang.

“Buk, panggil Tegar tu.”

Tegar mendengar dengan jelas panggilan bibinya, tapi tidak dia hiraukan.

Setelah tidak lagi terdengar panggilan bibinya dia bergumam.

“Tidak ada…! ” Hanya dia yang tahu maksudnya.

Semakin lama langkahnya semakin cepat. Sambil berjalan cepat dia menghubungi admin AndonkBuddy.

“Kirim ranger om, jemput Tegar.”

Tidak Lama kemudian balasan masuk.

“Oke komandan. Posisi di mana? “

Tegar mengirim lokasinya.

“Tujuan? ” Balasan admin.

“Cafe”

“Ok komandan, tunggu tujuh menit ya.”

Tujuh menit kemudian Ranger yang dipesan berhenti tepat di depan Tegar.

Sampai di cafe Tegar langsung masuk kamar dan tidak keluar hingga usai azan maghrib. Baru keluar ketika dia mau mandi.

Usai mandi, langsung dandan.. Dia memilih pakaian terbaik dari tumpukan pakaiannya. Tegar keluar dari kamar. Ketika dia melewati para karyawan, para pemuda itu menggoda Tegar.

“Tumben nih rapi… “
“Ehem, sepertinya ada yang mau kencan…!”
“Kenalin dulu sama ayah…. “

Saling bersahutan. Tegar pura-pura tidak mendengar. Dia lalu duduk di meja dekat pintu. Dari meja ini pandangan bisa leluasa memandang ke segala arah.

Sejujurnya, Tegar memang semakin tampan dengan pakaiannya. Tegar memang memakai pakaian yang dibawa oleh ayahnya ketika pergi ke Batam sebulan lalu. Mengecek cabang cafe yang di Sana. Wajah ke-Jepang-annya semakin menonjol. Dia akui, di balik keamburadulan ayahnya, wajah sangar kalau lagi serius, memiliki selera pakaian yang bagus.

Jam semakin berjalan. Semakin naik malam wajah Tegar semakin mendung. Sekali-kali dia melihat para tamu, melihat ke semua arah jalan masuk, melongok ke halaman belakang…

“Tidak ada sama sekali…. ” Bisiknya pada hatinya yang semakin kecewa dan sedih.

Dia berharap Ada kabar dari siapa saja di HP ya. Tapi tidak ada. Iseng dia buka nomor ayahnya. Tiba-tiba ada pesan masuk dari nomor tersebut. Buru-buru dia baca. Hanya satu kata : “ya? ” Rupanya balasan dari pesan yang dia kirim kemaren siang. Hampir saja Tegar membanting HP di tangannya.

Rasanya tidak mau dia balas, tapi untuk menjawab rasa penasarannya, akhirnya dia mengetik kalimat, “Ayah, sekarang tanggal berapa?” Lalu mengirim pesan itu.

Beberapa saat kemudian balasan yang membuat Tegar mau memukul kuat-kuat ayahnya tersebut.

“Lihat di kalender dek, atau lihat di HP adek! “

Kalau saja tidak ada tamu, mau dia memukul meja sekuatnya. Dia benar-benar sedih dan kecewa.

“Ayah dan Abang di mana? “

“Jogja” Jawaban yang sangat singkat.

“Kapan pulang? “

“Belum tahu? Adek mau pesan sesuatu? “

Tegar benar-benar geram. Bukan itu maksudnya mengirim pesan-pesan ini.

“Ayah benar-benar tidak peka. Ayah lupa, Mungkin ayah menganggap tidak penting… ” Dia mengomel dalam hati.

Lalu dia melangkah keluar. Selanjutnya menuju ke halaman belakang cafe yang langsung pantai. Ketika melewati halaman antara cafe dan jogging track, dia terbayang kemeriahan ulang tahun abangnya yang ke tujuh belas. Dan semua peristiwa malam itu sangat penting bagi nya, dan tidak akan pernah ada yang menggantikan peristiwa itu, malam pertama mereka boleh memanggil ‘Ayah’ pada orang yang telah menyelamatkan kehidupan mereka, dan malam pertama mereka tidur bertiga.

Kaki Tegar terus melangkah, melewati batas halaman. Berjalan lesu menuju tepi jogging track yang merupakan pemecah gelombang. Dia duduk di pinggir dan menjuntaikan kakinya. Matanya memandang jauh ke tengah laut yang keperakan kena cahaya bulan purnama.

Wajah putih dan bersih yang mulai dihiasi bayang-bayang kumis itu muram.

Samar-samar dalam ingatannya membayang siapa dia dan abangnya, sebelum mereka ketemu om pemilik cafe. Mereka hanyalah anak petani yang sangat miskin, yang kadang kalau makan dua kali sehari itu adalah hal yang luar biasa.

Kemiskinan itu lenyap dibawa oleh air bah pada malam itu. Dan sejak itu, dunia mereka menjadi terbalik. Mereka bebas makan apa saja, punya pakaian bagus, sekolah, dan semua yang dinginkan oleh anak-anak bisa sangat gampang mereka dapatkan.

Tiba-tiba dia rindu pada almarhumah ibunya, pada ayah dan adiknya.

Kenangannya langsung terhenti ketika alarm di HP yang dia setel di 00.00 berbunyi. Lama dia menatap alarm tersebut, lalu melihat ke arah cafe lalu menatap ke langit.

“Ah, sudahlah…. ” Suaranya bergetar.

“Sudah banyak kebahagiaan yang aku dapatkan… ” Bisiknya

Dia mengeluarkan korek gas yang iseng dia ambil di cafe, seolah menyalakan sesuatu. Lalu dia menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan tersendat-sendat. Tepuk tangannya tak bersuara. Memandang langit seolah berdoa, dan kemudian meniup sesuatu. Dalam imajinasinya mungkin dia sedang menyalakan lilin ulang tahunnya yang ke Tujuh Belas.

Lalu dia menyalami udara, seolah-olah menerima ucapan dari seseorang.

“Selamat ulang tahun adek ganteng abang… ” Dia seolah memerankan Jago yang sedang menyalaminya dan mengucapkan selamat ulang tahun. Lalu dia seolah-olah menerima pelukan.

“Terimakasih bang… ” Airmatanya mulai mengalir.

“Ingat, jangan pacaran dulu. Jangan kecewakan ayah” Dia berbisik. Mungkin dalam bayangannya, Jago sedang membisikinya.

“Tidak akan bang…!” Juga berbisik.

Air matanya semakin deras ketika dia ‘menerima’ ucapan selamat ulang tahun dari ayahnya.

Lagi-lagi dia memerankan orang lain, kali ini ayahnya. Dia memerankan dengan baik suara, intonasi, gaya bahasa bahkan gerakan..

“Selamat ulang tahun yang ke tujuh belas, jagoan ayah… “

Tegar juga “memeluk” udara. Mungkin ayahnya sedang memeluknya erat.

“Terimakasih ayah…. ” Kalimat ini disertai dengan sesenggukan yang dahsyat. Bahunya terguncang. “Pelukannya” terlepas. Tubuh dan jiwanya yang tegar sirna. Dia terduduk lemas di pasir, sesenggukannya semakin keras. Air matanya semakin deras.

Dia merayakan ulang tahun ke tujuh belasnya dalam kesendirian. Tidak ada ayah, tidak ada abang, tidak ada makanan yang di masak oleh bibinya, tidak ada lilin,tidak ada pesta seperti ulang tahun abangnya dua tahun lalu.

“Ayaaaaaahhhhh…..! ” Dia berteriak pada laut.

“Adek rindu yah….adek kesepian yah…. ” Lirih kalimat ini keluar dari mulutnya.

Bersambung….

Part II

Part I