Pengakuan Tiga: Laki-laki Di Antara Empat Benua

P e n g a k u a n Tiga Laki-laki Di Antara Empat Benua Cerpen Oleh Bagus SLE Foto/Dok Pribadi
P e n g a k u a n Tiga Laki-laki Di Antara Empat Benua Cerpen Oleh Bagus SLE Foto/Dok Pribadi

Cerpen oleh Bagus SLE

Minggu pagi yang mendung dan rinai gerimis halus turun menghiasi udara dingin di tepi pantai. Padahal tadi malam langit telah mencurahkan dengan deras semua air yang ada di awan hitamnya.

Seperti kebiasaan setelah malam yang hujan lebat, aku menyusuri pasir pantai yang sangat kotor oleh sampah dari sungai-sungai dan dikembalikan lagi oleh ombak ke daratan.

Aku mencari sesuatu yang menarik perhatian. Entah akar-akaran yang berbentuk unik, botol-botol tua, atau yang lainnya. Biasanya aku selalu mendapatkan sesuatu yang menarik minatku dan membawa pulang, walau belum tahu untuk apa.

Ketika aku mengunpulkan sampah-sampah pada satu tempat, sepasang bule memperhatikanku dan memotret apa yang aku lakukan.

Segera aku menghentikan kegiatan dan menghampiri. Sempat ada rona khawatir dari wajah-wajah mereka.

“Morning guys… How are you?” Sapaku sambil tersenyum ramah khas Indonesia.

“Morning, sir…!” Aku menangkap logat Perancis di kalimat itu.

“France?” Tanyaku.

BACA JUGA : PENGAKUAN SATU” Ayah… Abang rindu ayah… ”

Mereka sempat terkejut sejenak. Lalu menyalamiku dengan hangat sambil memperkenalkan diri.

Oke, aku tidak akan menceritakan kelanjutan pertemuanku dengan sejoli dari Prancis tersebut. Yang akan aku sampaikan adalah mereka telah memicu ingatanku pada lembaran cerita hidupku hampir dua puluh dua tahun yang lalu.

Belum lagi punggung mereka hilang dari pandanganku, pikiranku kembali pada sepasang suami istri dari Jerman, di suatu siang saat jam kerjaku sebagai guide dalam kawasan pantai paling terkenal untuk pulau dewata.

Aku sering kali bertemu dengan dua orang ini dalam seminggu belakangan. Selain kami menginap di hotel yang sama bahkan kamar yang berseberangan, sepertinya mereka juga memiliki kesamaan minat denganku. Hampir setiap tempat yang sering aku kunjungi selalu melihat mereka.

“Selamat siang.” Sapa sang pria dalam bahasa Inggris, pada suatu siang ketika aku keluar dari kamar.

“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” Jawabku sambil tersenyum hangat.

Selanjutnya mereka memperkenalkan nama sambil mengulurkan tangan. Aku menyambut perkenalan tersebut.

“Kami akan mengelilingi Bali selama seminggu ke depan.” Kata sang suami.

“Keren!” Timpalku cepat.

“Tapi kami belum ada guide. Maukah anda jadi guide kami?”

Sesaat aku mengingat jadwalku untuk seminggu yang akan datang. Masih kosong.

“Ok…! Kebetulan saya belum ada klien untuk beberapa hari ke depan.”

Dari situlah awal cerita ini.

Setelah habis masa kerja selama seminggu, suami istri ini mengundang aku makan malam di restoran hotel tempat kami menginap.

Aku keluar dari kamar dengan celana pendek warna putih, dan berkaos singlet longgar juga warna putih. Aku merasakan tubuhku benar-benar bugar saat ini setelah berendam dengan air hangat. Topi pet masih tetap kukenakan. Sendal jepit sepuluh ribuan membawa langkahku menemui mereka pada salah satu meja yang paling sudut.

Aku merasa aku salah kostum. Karena mereka berpakaian semi resmi.

“Selamat malam. Maaf, saya salah kostum… ” Tentu saja aku harus minta maaf dengan kondisi ini.

“Oh, tidak apa-apa.” Jawab keduanya berbarengan sambil tersenyum.

“Silahkan duduk… ” Lanjut pria bertubuh sedikit agak gendut. Setelah berdiri dan menarik kursi untukku.

Aku merasa ada yang spesial malam ini.

“Terimakasih.” Aku segera duduk.

Sempat aku melihat pandangan wanita 35 tahun itu memperhatikan aku.

Dari memesan makanan hingga selesai makan, perasaanku tidak nyaman. Mereka yang biasanya santai dan banyak bicara malam ini menjadi pendiam dan kaku. Keduanya sering mencuri lirikan ke arahku dan sikap ini membuat aku salah tingkah.

“Jangan-jangan mereka mau minta maaf karena kehabisan uang dan tidak bisa membayar sisa jasaku selama seminggu ini.” Hatiku menebak-nebak.

Sikap diam mereka hampir saja membuat aku tidak tahan. Baru saja aku akan memulai buka mulut, tapi aku tahan saat melihat keduanya tergagap, saling memegang jari mereka di atas meja dan berpandangan.

“Ada apa?” Terus terang aku sudah tidak tahan lagi dengan kekakuan ini.

Tangan perempuan tinggi dan langsing ini meraih tas tangan, mengambil sehelai cek dan mengangsurkan ke depanku.

Setelah memperhatikan angka-angka di cek tersebut aku mengucapkan terimakasih dan akan mempertanyakan kelebihan yang terlalu banyak menurutku, mereka mengisyaratkan dengan tangan untuk tidak ditanyakan.

Selanjutnya, mereka kembali kikuk.

Keduanya bersusah payah untuk menyampaikan sesuatu. Setelah menekur sejenak, laki-laki yang menggunakan blazer hitam dengan kemeja warna biru memandangku.

‘Sir… ‘ Aneh. Sikapnya sangat resmi.

“Kami berdua ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting pada anda.”

“Apa yang bisa saya bantu?” Berusaha tetap menjaga profesionalitas sebagai pelayan tamu dengan menata hati dan kata-kata.

“Maukah anda menjadi bibit bagi anak kami?”

“What?!” Saking terkejutnya hampir saja aku melonjak dari kursi.

Aku pandang wajah mereka satu persatu. Wanita dengan dress silver menunduk sangat dalam. Sementara mata yang penuh semangat milik pria 37 tahun ini penuh harap.

“Maaf… ” Aku ingin mereka mengulang kalimat yang baru saja aku dengar. Siapa tahu aku yang salah dengar atau laki-laki di depanku lagi mabuk.

“Iya, tuan. Kami mohon dengan harapan yang sangat besar agar anda menjadi bibit bagi anak kami.”

Kenapa dunia segila ini? Aku merasa dunia berputar semakin lama semakin mengecil dan aku sebagai pusat dari perputaran itu. Sejak kapan aku vertigo?

Aku memang seorang guide yang siap melayani klien di luar jam kerja dan di tempat tidur, tentu saja dengan bayaran lebih. Biasanya bibit dariku bukan untuk dikembangkan. Hanya sebagai kesenangan.

BACA JUGA:  Refleksi Akhir Tahun: Kamu Emas, Tanah, Air, Kupu-Kupu, Lalat, atau Pupuk Organik?

Tawaran barusan? Aku masih belum bisa menguasai sikap.

“Kenapa harus aku?” Akhirnya dengan gagap keluar juga kalimat pertama yang akan menyelamatkan aku dari keterkejutan.

Dua pasang mata itu bingung dengan pertanyaanku. Oh, tanpa sadar aku mengucapkan kalimat itu dengan bahasa Indonesia. Kemudian aku ulangi kalimat di atas dengan bahasa Inggris.

“Tuan, kami sudah mendatangi enam belas negara dari empat benua sebelum ke Australia. untuk mencari calon ayah dari anak kami. Negara ke lima belas adalah Jepang. Terakhir di sini dan kami menemukan anda, tuan.”

Sebagai pemilik perusahaan property dan pialang saham tentulah wajar kalau mereka bisa keliling dunia. Ditunjang lagi si wanita sebagai psikiater membuka klinik konsultasi kejiwaan di rumah.

“Setelah melihat anda, kami mengikuti setiap kegiatan anda. Lalu untuk tahu lebih dekat, kami menjadikan anda sebagai guide kami.”

Hmm… Aku menggumam dalam hati. Pantas saja kami selalu bertemu.

“Sebelum kami menyampaikan keinginan kami tadi, kami telah berdiskusi panjang. Hasilnya kami sepakat memiliki anak yang bibitnya dari anda, tuan.”

Otakku masih belum bisa mengerti jalan pikiran mereka.

“Saya divonis dokter tidak bisa menghasilkan anak untuk kami.”

Walau tidak terlalu paham, aku sedikit mengerti persoalan yang mereka hadapi. Mungkin si lelaki impoten atau ada hal lainnya dalam kualitas sperma.

“Ok, baiklah. Tapi tunggu dua hari lagi. Supaya badan saya benar-benar fit.”

Wajah mereka langsung menampakkan kegembiraan yang luar biasa.

“Tolong kabari dokter mana yang akan menangani proses ini.”

“Bukan dengan dokter, tuan. Tapi dengan cara langsung.”

“Apa? Langsung?!”

Gubrak! Kali ini aku benar-benar terjengkang bersama kursi. Hal yang mengejutkan tamu-tamu lain. Untung saja restorannya sepi.

Suami istri ini reflek bangkit dari duduk mereka dan segera membantu diriku yang bersusah payah untuk bangun.

Kursi yang tadi sempat jatuh kembali aku duduki. Aku mengulang berulang kali kalimat tadi dengan menggumam. Tangan bergerak tanpa ada makna.

“Maafkan kami, tuan, kalau anda terkejut. Kami ingin semuanya secara alami…. “

Haduuuuhhh…. Apa dunia ini sudah gila? Atau mereka ini sudah tidak waras? Ada suami yang rela, bahkan mencari laki-laki lain untuk bergelut dengan istrinya demi mendapatkan anak? Ternyata dunia ini aneh!

Aku bertanam benih di ladang seorang Jerman. Bukan untuk bersenang-senang, tapi untuk satu generasi ke depan.

Gemericik sungai, semilir angin persawahan dan nyanyian alam kaki pegunungan adalah irama yang sengaja kami pilih untuk mengiringi acara khusus ini.

Dalam perjanjian kesepakatan hukum mengatur masalah tempat untuk ritual aneh ini. Termasuk hak dan kewajibanku.

Waktu berjalan seperti yang diharapkan oleh semua pihak. Pada tanggal seharusnya si wanita masuk pada siklus bulanan, kali ini tidak terjadi. Di tunggu satu hari, dua hari dan 3 hari juga tidak datang. Hari ke 4 kami mendatangi dokter dengan kabar bahwa benihku yang saku ebarkan telah membuahi sel telur. Itu artinya, pekerjaanku telah selesai. Termasuk semua urusan tentang perkembangan bibit yang akan tumbuh.

Di hari yang sama dengan wajah sumringah, dua orang yang bahagia ini kembali mengundangku makan malam.

Selembar cek dengan nominal ratusan juta untuk jasa penanaman bibit, dan lebihnya pastilah tips atas kepuasan mereka.

Melihat angka-angka yang sangat besar itu aku bingung. Mau aku apakan dan kemanakan uang itu?

Esok paginya, aku menjelajah alam bali berhari-hari. Kali ini bukan membawa wisatawan. Masuk pedesaan dan mencari beberapa rumah yang tidak layak huni.

Dengan jumlah uang yang ada, aku cuma bisa memperbaiki dua buah rumah saja yang sangat tidak layak untuk ditinggali.. Sisanya membayar tunggakan sekolah anak pemilik rumah.

Sembilan bulan telah berlalu. Aku menunggu kabar dari mereka tentang kelahiran ‘anakku’.

Senja yang melelahkan. Tamu-tamu yang aku dampingi hari ini ada yang menyebalkan.

Aku sedang menikmati segelas jus di cafetaria hotel ketika resepsionis hotel menghampiri mengabarkan ada telpon dari Jerman.

BACA JUGA: PENGAKUAN DUA” YANG TERLUPAKAN”

Deg! Aku harap-harap cemas. Buru-buru aku mendahului gadis manis itu dan mengangkat gagang telpon yang tergeletak di meja telpon.

“Halo… ” Aku menyapa dengan riang.

“Halo… ” Jawab sang penelpon gembira. Seorang laki-laki.

Diawali dengan tegur sapa basa basi. Lalu dilanjutkan dengan kalimat yang membawa aku ke awang-awang.

“Anak kita telah lahir. Laki-laki seperti yang kita harapkan. Memang secara biologis dia adalah anak anda, tuan. Tapi secara hukum dia adalah anak saya, seperti yang telah kita tandatangani.”

Bummm!!!
Aku terhempas keras ke bumi yang penuh bebatuan keras. Tulang-tulangku bagai remuk. Lemas tanpa daya.

Aku tahu makna kalimat itu. Bahkan hingga detik ini, ketika aku memandang laut yang bergelombang.

Hal yang membahagiakan adalah aku diberi hak untuk memberi nama awal ‘anak’ keduaku. Aku beri dia nama Dyandra..

Di luar perjanjian yang kami tandatangani, Dyandra boleh menghubungi aku ketika telah berumur 21 tahun.

Senyum tipis pemakluman lahir dari bibirku. Aku biarkan rinai gerimis jatuh di tubuhku.

T a m a t

Cerita ke-3 dari seri PENGAKUAN 1,2 dan 3.
Cerita ini berdasarkan kisah nyata dari tokoh ‘AKU’

Posting Terkait

Jangan Lewatkan