Pringsewu, WordPers.id – Kebijakan pembatasan anggaran publikasi media di tingkat Pekon Kabupaten Pringsewu, Lampung, kembali menjadi objek kajian kritis di kalangan pemerhati kebijakan publik.
Berdasarkan Peraturan Bupati Pringsewu, alokasi dana untuk publikasi tidak boleh melebihi 3% dari anggaran operasional pekon. Aturan ini memunculkan dinamika antara pemerintah pekon dan insan pers, serta memicu perdebatan tentang transparansi dan kebebasan pers di daerah tersebut.
Di satu sisi, pembatasan ini dimaksudkan untuk menjaga akuntabilitas penggunaan dana desa. Namun, sejumlah wartawan mengeluhkan ruang kerja sama publikasi yang semakin sempit.
“Dengan anggaran yang minim, kesempatan untuk meliput kegiatan dan pembangunan di pekon menjadi berkurang,” ungkap seorang jurnalis lokal yang enggan disebutkan namanya. Pendapatan mereka pun terdampak, sebab kerja sama publikasi selama ini menjadi salah satu sumber penghasilan tambahan.
Di sisi lain, kepala pekon menghadapi dilema antara menjalankan tugas publikasi dan mematuhi aturan.
“Kami harus berhati-hati dalam menggunakan anggaran. Pelanggaran aturan bisa berakibat fatal, baik secara hukum maupun administrasi,” ujar salah satu kepala pekon kepada WordPers.id.
Ketegangan meningkat ketika sejumlah pekon menolak menandatangani nota kesepahaman (MOU) kerja sama publikasi karena keterbatasan anggaran. Besaran dana publikasi pun sangat bervariasi, tergantung pada kapasitas dana desa masing-masing pekon.
Situasi ini menyoroti pentingnya dialog konstruktif antara pemerintah daerah, pekon, dan insan pers. Mekanisme kerja sama publikasi yang lebih efektif dan efisien perlu dikaji ulang, tanpa mengorbankan prinsip transparansi dan kebebasan pers. Pemerintah Kabupaten Pringsewu diharapkan dapat memfasilitasi dialog tersebut demi menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan jurnalistik dan pembangunan daerah. (Din)