Jakarta, Word Pers Indonesia – Aktivis Sosial Puspita Wijayanti mengatakan setelah 18 tahun penantian, PSIM Yogyakarta akhirnya promosi ke Liga 1. Menurutnya, hal ini, bagi sebagian orang, ini hanya sekadar peristiwa sepak bola. Tetapi itu tidak baginya.
“Bagi saya, dan bagi banyak orang yang
memahami psikologi sosial sebuah kota, ini adalah tentang harga diri, identitas, dan sebuah kemenangan yang jauh lebih besar daripada skor di papan pertandingan. Sebagai dokter, saya terbiasa mendiagnosis penyakit,” kata Puspita Wijayanti yang akrab disapa Pita ini, melalui pernyataan tertulis kepada media, Rabu (19/2/2025).
Lebih jauh, Pita yang juga seorang Dokter ini menyampaikan bahwa Kota juga bisa sakit, dan diagnosisnya tidak selalu mudah. Selama bertahun-tahun, Yogyakarta mengalami “penyakit inferioritas” dalam dunia sepak bola.
“PSIM, klub kebanggaan yang dulu berjaya, harus berjuang di liga
bawah, terjebak dalam stagnasi. Ini mencerminkan problem yang lebih besar: Kota Yogya punya sejarah besar, budaya megah, tapi dalam beberapa aspek seperti kehilangan daya dobrak,” jelas Dokter Pita.
“Namun tadi malam, di Mandala Krida, semuanya berubah. Ketika peluit panjang berbunyi dan PSIM resmi promosi, itu bukan sekadar kemenangan tim sepak bola. Itu adalah pernyataan keras bahwa kota ini masih punya daya juang, masih punya nyali, dan memiliki harapan besar
di masa depan,” lanjut dia.
Dirinya melihat dampak yang luas atas masuknya PSIM ke Liga 1. Sepak bola adalah bahasa universal yang mampu menggerakkan emosi kolektif. “Kembali ke Liga 1 bukan hanya tentang
pertandingan yang lebih besar, sponsor yang lebih mewah, atau stadion yang lebih penuh. Ini adalah momentum untuk merajut kembali kebanggaan kota, membangun identitas yang lebih
kuat, dan jika dikelola dengan benar, dapat menjadi stimulus ekonomi baru bagi Yogyakarta,” tuturnya.
Di Eropa, lanjutnya, bisa dilihat bagaimana kota-kota membangun ekosistem sepak bola yang mampu menggerakkan ekonomi lokal. Liverpool bukan hanya soal The Beatles, tapi juga tentang The Reds. Barcelona bukan hanya soal Gaudí, tapi juga soal FC Barcelona yang menjadi simbol perlawanan budaya Catalonia.
“Jika Yogyakarta bisa memahami potensi ini, PSIM tidak hanya akan menjadi tim yang bertanding di Liga 1, tapi juga penggerak ekonomi kreatif, industri olahraga, dan identitas kota. Saya tidak ingin terjebak dalam euforia belaka. Promosi ini bukan akhir perjuangan, melainkan awal yang jauh lebih berat,” kata dia.
Ia menyebut, sejarah telah mengajarkan bahwa banyak klub yang naik ke kasta tertinggi justru runtuh karena manajemen yang buruk, euforia yang berlebihan, atau kurangnya strategi jangka panjang. PSIM harus membuktikan bahwa mereka bukan hanya tim yang “sekadar mampir” di Liga 1, tetapi benar-benar bisa bersaing dan bertahan.
“Yogyakarta sering disebut sebagai kota budaya, kota pelajar, kota wisata. Tapi kini, Yogyakarta juga harus berani menyebut dirinya sebagai kota sepak bola. Dan itu tidak hanya tugas PSIM, tetapi juga seluruh elemen kota: pemerintah, suporter, pengusaha, dan masyarakatnya,” ungkapnya.
Untuk itu, dirinya mengingatkan jika dikelola dengan benar, momentum ini bisa menjadi awal babak baru bagi Yogyakarta, sebuah kota yang tidak hanya dikenal dengan kehebatan sejarah masa lalu, tetapi juga mampu menulis sejarah baru untuk masa depan.
“Kali ini, PSIM bukan hanya memenangkan pertandingan. Mereka memenangkan sesuatu yang
lebih besar: Harapan,” tutupnya.
41