Kajian Terukur –
Oleh : Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
(Media Umat, 1 Mei 2019)
Tiba-tiba saja, pada 29 April 2019, Presiden Jokowi mengumumkan telah memutuskan bahwa ibu kota negara harus pindah, dan Jakarta cukup menjadi ibu kota ekonomi saja.
Pemindahan ibu kota saat ini masih merujuk pada tiga alternatif. Pertama, ibu kota tetap di Jakarta, namun pemerintah membuat satu distrik tersendiri di kawasan Monas, Jakarta Pusat sebagai pusat pemerintahan. Kedua, ibu kota dipindahkan ke kota di dekat Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi. Opsi ketiga, ibu kota dipindahkan ke luar Pulau Jawa. Namun, dari tiga alternatif itu, pemerintah belum juga memutuskan, meski, Jokowi menginginkan alternatif ketiga yang dipilih.
Dari tiga alternatif itu muncul dua skenario kebutuhan dana yang dikaji oleh Bappenas. Pertama, skenario pemindahan menyeluruh ke sebuah daerah baru, sehingga pemerintah harus membangun infrastruktur dan gedung baru, termasuk memindahkan seluruh ASN pusat yang ada di DKI Jakarta ke ibu kota baru. Dari skenario ini, Menteri Perencanaan / Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan setidaknya ibu kota baru membutuhkan 40 ribu hektare (ha) lahan untuk menampung penduduk di ibu kota baru sekitar 1,5 juta orang.
Jumlah penduduk itu akan terdiri dari para pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta para anggota keluarga dan pelaku ekonomi pendukung. Estimasinya, pemerintah membutuhkan sekitar 5 persen dari total lahan, pelaku ekonomi 15 persen, infrastruktur 20 persen, pemukiman 40 persen, dan ruang terbuka hijau 20 persen.
Skenario kedua, pemerintah tetap membangun infrastruktur dan gedung baru, namun jumlah ASN yang bakal dipindahkan tidak mencapai 100 persen. Artinya, akan ada rekrutmen di calon ibu kota baru. Estimasinya, jumlah ASN yang dipindahkan hanya sekitar 111 ribu orang dan pelaku ekonomi yang akan ikut berpindah sekitar 184 ribu orang. Dari jumlah tersebut, estimasinya total penduduk sekitar 870 ribu orang.
“Dari skenario pertama diperkirakan membutuhkan biaya Rp 466 triliun atau US$ 33 miliar. Skenario kedua lebih kecil karena kotanya lebih kecil, yaitu Rp 323 triliun atau US$ 23 miliar,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (29/4/2019).
Menurut dia, kedua skenario kebutuhan dana tersebut memang lebih tinggi dari pemindahan ibu kota di negara-negara lain.
Misalnya, dengan Korea Selatan, negara yang paling anyar memindahkan pusat pemerintahannya dari Seoul ke Sejong pada 2012 silam. Ia mengatakan kebutuhan anggaran pemindahan pusat pemerintahan itu membutuhkan dana sebesar US$ 22 miliar. Kebutuhan dana itu dirancang untuk populasi penduduk sebanyak 500 ribu orang. Sementara saat ini, jumlah penduduk di kota tersebut baru sekitar 254 ribu orang.
Banjir dan macet permanen besar yang melumpuhkan Jakarta baru-baru ini telah membuat wacana lama tentang pemindahan ibu kota menghangat kembali. Wacana ini sudah muncul di zaman Bung Karno, bahkan beliau pernah membangun Kota Palangkaraya sebagai calon ibu kota baru. Itu sudah lebih dari setengah abad yang lalu.
Yang pasti, pemindahan ibu kota tetap memerlukan suatu perencanaan yang luar biasa. Pemindahan itu harus optimal dari sisi kota yang baru dibangun, kota yang ditinggalkan, selama transisi, semua urusan pelayanan rakyat tidak boleh terganggu. Lalu setelah pemindahan selesai, efisiensi pemerintahan harus meningkat.
Sejarah peradaban Islam mencatat sedikitnya empat kali perpindahan ibu kota negara. Namun alasan utama saat itu semua adalah politik. Perpindahan pertama adalah dari Madinah ke Damaskus pada awal Bani Umayyah. Damaskus saat itu sudah ibu kota musim panas kekaisaran Byzantium. Perpindahan kedua adalah saat kebangkitan Bani Abbasiyah dari Damaskus ke Baghdad. Baghdad adalah kota yang dibangun baru, menggantikan Ctesiphon, ibukota Persia. Perpindahan ketiga adalah pasca hancurnya Baghdad oleh serbuan Mongol, dan pusat Khilafah lalu dipindah ke Kairo.
Kairo sendiri sudah ada di delta sungai Nil itu sejak zaman Fir’aun. Sedang terakhir adalah perpindahan dari Kairo ke Istanbul, ketika Khalifah terakhir Abbasiyah mengundurkan diri setelah melihat bahwa bani Utsmaniyah lebih berkemampuan untuk memimpin dunia Islam dan mendakwahkannya ke seluruh dunia. Adapun Istanbul telah berdiri lebih dari 1000 tahun karena dibangun oleh Kaisar Konstantin. Dengan demikian, satu-satunya ibu kota Khilafah yang praktis dibangun dari awal hanyalah Baghdad.
Menurut para sejarahwan perkotaan Modelski maupun Chandler, Baghdad di Iraq memegang rekor kota terbesar di dunia dari abad-8 M sampai abad-13 M. Penduduk Baghdad pada tahun 1000 M ditaksir sudah 1.500.000 jiwa. Peringkat kedua diduduki oleh Cordoba di Spanyol yang saat itu juga wilayah Islam dengan 500.000 jiwa dan baru Konstantinopel yang saat itu masih ibu kota Romawi-Byzantium dengan 300.000 jiwa.
Pada 30 Juli 762 M Khalifah al-Mansur mendirikan kota Baghdad. Al-Mansur percaya bahwa Baghdad adalah kota yang akan sempurna untuk menjadi ibu kota Khilafah. Al-Mansur sangat mencintai lokasi itu sehingga konon dia berucap, “Kota yang akan kudirikan ini adalah tempat aku tinggal dan para penerusku akan memerintah”.
Modal dasar kota ini adalah lokasinya yang strategis dan memberikan kontrol atas rute perdagangan sepanjang sungai Tigris ke laut dan dari Timur Tengah ke Asia. Tersedianya air sepanjang tahun dan iklimnya yang kering juga membuat kota ini lebih beruntung daripada ibu kota khilafah sebelumnya yakni Madinah atau Damaskus.
Namun modal dasar tadi tentu tak akan efektif tanpa perencanaan yang luar biasa. Empat tahun sebelum dibangun, tahun 758 M al-Mansur mengumpulkan para surveyor, insinyur dan arsitek dari seluruh dunia untuk datang dan membuat perencanaan kota.
Lebih dari 100.000 pekerja konstruksi datang untuk mensurvei rencana-rencana, banyak dari mereka disebar dan diberi gaji untuk langsung memulai pembangunan kota. Kota dibangun dalam dua semi-lingkaran dengan diameter sekitar 19 Kilometer. Bulan Juli dipilih sebagai waktu mulai karena dua astronom, Naubakht Ahvaz dan Masyallah percaya bahwa itu saat yang tepat, karena air Tigris sedang tinggi, sehingga kota dijamin aman dari banjir. Memang ada sedikit astrologi di situ, tetapi itu bukan pertimbangan utama.
Batu bata yang dipakai untuk membangun berukuran sekitar 45 centimeter pada seluruh seginya. Abu Hanifah adalah penghitung batu bata dan dia mengembangkan sistem kanalisasi untuk membawa air baik untuk pembuatan batu bata maupun untuk kebutuhan manusia.
Setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.
Negara dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara, sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum.
Namun perencanaan kota juga memperhatikan aspek pertahanan terhadap ancaman serangan. Ada empat benteng yang mengelilingi Baghad, masing-masing diberi nama Kufah, Basrah, Khurasan dan Damaskus, sesuai dengan arah gerbang untuk perjalanan menuju kota-kota tersebut. Setiap gerbang memiliki pintu rangkap yang terbuat dari besi tebal, yang memerlukan beberapa lelaki dewasa untuk membukanya.
Tak heran bahwa kemudian Baghdad dengan cepat menutupi kemegahan Ctesiphon, ibu kota Kekaisaran Persia yang terletak 30 Kilometer di tenggara Baghdad, yang telah dikalahkan pada perang al-Qadisiyah tahun 637. Baghdad meraih zaman keemasannya saat era Harun al Rasyid pada awal abad 9 M.
Namun pada 1258 M, Baghdad yang sudah berusia 500 tahun, dengan mudah bisa dimasuki oleh tentara Mongol. Bukan karena infrastruktur fisiknya yang ringkih, tetapi karena sumberdaya manusianya yang sudah lemah, dan ada pengkhianatan di lingkar utama pemerintahan.
Oleh karena itu, perpindahan ibu kota tidak akan meraih manfaat, kalau kualitas sumberdaya manusianya tidak ikut dipindahkan, dari kualitas jahiliyah ke kualitas islam!
Editor : Taufik Hidayat