Pringsewu, WordPers.id – Dalam dunia pendidikan, etika seharusnya menjadi ruh utama. Namun, yang terjadi di SMK Ma’arif Banyumas, Kabupaten Pringsewu, justru menyuguhkan tontonan ironi, sebuah lembaga pendidikan yang memilih diam seribu bahasa saat dikonfirmasi awak media terkait dugaan penahanan ijazah alumni karena tunggakan administrasi, Sabtu (10/5/25).
Redaksi WordPers.id telah melayangkan surat konfirmasi resmi bernomor 007/Red-WP/V/2025 tertanggal 9 Mei 2025, terkait laporan masyarakat tentang penahanan ijazah atas nama Sahrulkhan, alumni asal Pekon Fajar Mulia, Kecamatan Pagelaran Utara.
Ijazah diduga belum diserahkan dengan alasan tunggakan SPP sebesar Rp500.000, uang perpisahan Rp900.000, dan uang bangunan senilai Rp1.000.000. Tak tanggung-tanggung, total Rp2,4 juta menjadi “kunci” yang menyandera hak dasar pendidikan seorang warga negara.
Namun yang lebih memprihatinkan, hingga tenggat 2×24 jam, pihak sekolah tak memberikan satu pun jawaban, apalagi klarifikasi. Tak ada pernyataan resmi, tak ada itikad baik, bahkan sekadar respons formal pun nihil. Ini bukan hanya mencerminkan arogansi institusi, tapi juga kegagalan dalam menjunjung nilai dasar pendidikan, empati dan tanggung jawab sosial.
Sahrulkhan, alumni yang kini ijazahnya disandera, tengah berjuang mencari pekerjaan. Namun tanpa dokumen kelulusan, pintu-pintu kerja tertutup rapat. Padahal, dialah satu-satunya harapan keluarga untuk keluar dari jurang kemiskinan. Sebuah keluarga yang hidup jauh di bawah garis sejahtera menggantungkan nasib mereka di pundak anak muda ini.
Sungguh memilukan — di tengah perjuangan seorang anak bangsa membebaskan keluarganya dari kemiskinan, justru sekolah tempatnya menuntut ilmu malah menjeratnya dengan ketidakadilan.
Yang lebih mencengangkan, ini bukan kasus tunggal. Berdasarkan penelusuran kami, sejak berdirinya SMK Ma’arif Banyumas, keluhan serupa terus berdatangan dari para alumni. Hampir setiap angkatan mengaku kesulitan mengambil ijazah mereka karena alasan klasik yaitu “uang”. Baik berupa tunggakan SPP, sumbangan bangunan, hingga iuran perpisahan, semua menjadi syarat tak tertulis yang harus dilunasi jika ingin membawa pulang hak pendidikan mereka.
Apakah mereka lupa bahwa mendidik bukan sekadar soal biaya, tapi soal jiwa? Apakah uang lebih berharga daripada masa depan satu generasi yang seharusnya dipersiapkan untuk menjadi tonggak bangsa? Mengapa pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia justru berubah menjadi institusi yang kehilangan nurani?
Kami dari WordPers.id tidak menuduh tanpa dasar. Namun, saat upaya konfirmasi resmi diabaikan, maka publik layak bertanya, apa yang disembunyikan?
Kami tidak sedang membuka aib lembaga pendidikan. Justru kami menuntut keterbukaan dan etika profesional. Sebab, diam dalam isu publik bukanlah kebijakan elegan, melainkan cermin kekerdilan moral.
Kami menunggu, dengan harapan masih ada sedikit sisa akal sehat dan rasa kemanusiaan di balik tembok sekolah. Jika tidak, maka biarkan publik menilai — siapa sebenarnya yang tak layak mengemban amanah mendidik anak bangsa.
( Davit )