Penulis: Benny Hakim Benardie
“Karya seorang wartawan tidak akan pernah punah, meskipun ia telah lama mati. Verba volant, scripta manent atau kata-kata lisan mudah akan dilupakan, yang tertulis akan tinggal tetap” .
Pada era keterbukaan informasi saat ini, sebagian masyarakat menganggap siapapun dapat menjadi seorang (Calon) wartawan. Berani dan nekat dianggap sebagai modal utama untuk mendapatkan identitas, dengan memboyong id card pers dan seunit alat elektronik sebagai alat mencari informasi. Akibatnya, dalam aksi dan reaksinya calon wartawan seperti pengiat media sosial, terlebih yang mengunakan akun palsu dalam menyebarkan informasi. Menulis dan bertindak tanpa kaedah dan norma jurnalistik.
Tentunya bila ini berlangsung lama, tenggang waktu berjalan, sosok tersebut akan menjadi wartawan dalam lingkup profesionalisme. Tanpa pengajaran dan pelatihan, sosok wartawan itu akan menjadi wartawan ‘karbitan’. Ibarad buah-buahan, kalau masih muda dia sudah matang, maka bila sudah tua dapat dipastikan busuk.
Pertanyaan yang terbetik adalah, apa dan sosok wartawan itu sebenarnya? Wartawan merupakan pekerjaan profesional. Profesi yang dilakukan oleh seorang intelektual yaitu seseorang yang cerdas, berakal dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan; (yang) mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan; totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman (KBBI). Tentunya ini sesuai pertingkatan dalam kompetensi kewartawanan dan juga berlaku bagi wartawan pembantu serta wartawan lepas (Freelance) .
Bila sarat intelektual itu diabaikan, maka calon wartawan akan mendapat kesulitan dalam melakukan wawancara (inteview) termasuk reportase. Namun saat ini, perusahaan pers tampaknya mempunya kiat untuk menutupi itu, dengan mengelar berbagai pelatihan kewartawanan dengan metode ilmu terapan (Applied science). Tentunya ini, perusahaan pers akan mendapat kendala dalam sumber daya manusia, khususnya dalam bernalar bila calon wartawan itu tidak terus diberikan ilmu pengetahuan jurnalistik.
Wartawan adalah seseorang yang bertugas, mencari, mengumpulkan dan mengolah informasi menjadi berita untuk disiarkan melalui media massa. Entah itu watawan media cetak, TV, radio maupun media online yang lagi trand serta ‘menjamur’ saat ini.
Diperlukannya wartawan yang intelektual itu, tersirat dalam UU NO 40 Tahun 1999 Tentang Pers dalam konsideran menimbangnya dipoin b, “Bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa;”.
Dalam konsideran itu menjadi pertimbangan para pembentuk undang-undang, agar Pers Indonesia yang dalam pengajawantahannya dilaksanakan oleh wartawan, untuk cerdas dalam menimbang kehidupan bangsa. Tentunya itu memerlukan ilmu dan pengetahuan yang mempuni, sesuai bidangnya masing-masing. Bukan sekedar copy paste saja.
Sesuai ketentuan umum UU Pers disebutkan, “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”. Kegiatan Jurnalistik itu sendiri adalah proses pengumpulan, penulisan, penyuntingan, dan penyampaian (publis) berita kepada masyarakat melalui saluran media massa.
Untuk mewujudkan itu maka perlu disadari, “Yang dapat mempengaruhi pembaca itu nantinya bukanlah informasi yang dipaparkan, melainkan persepsi. Sebab persepsi merupakan pemikiran-pemikiran dalam benak orang-orang yang memami apa yang disajikan. Karena itu kecerdasan, intelektual dari seorang (calon) wartawan sangat dibutuhkan. Wartawan harus seorang reporter yang handal dalam peliputan berita (news gathering)”. Dimana repoter harus mampu mengungkap latar belakang informasi, hubungan antara berita dan menggali persoalan dibalik peristiwa dan berita.
Kecerdasan
Dalam Bahasa Arab, Akal diartikan dengan kecerdasan, lawan dari kebodohan dan diartikan pula dengan hati (Qalb). Filosof Ibn Rusyd membangi akal manusia itu dalam tiga macam:
Pertama, Akal Demostratif (Burhani), yang mampu memamahi dalil-dalil yang menyakinkan dan tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan penting. Melahirkan filsafat. Akal ini hanya diberikan pada sedikit orang saja. Kedua, Akal Logik (Manthiqi), yang sejedar memahami fakta argumentasi. Ketiga, Akal Ritorik (Khithabi), yang hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat nasehat dan ritorik, tidak dipersiapkan untuk memahami aturan berfikir sistematik.
Terakhir, akal yang biasa dapat disaksikan pada kebanyakan orang biasa. Salah satunya tipe orang yang tidak fokus tapi nyiyirnya lama, selesaipun tidak.
Penulis beranggapan, untuk point terakhir, agak riskan bila itu ditetapkan untuk sebagai (Calon) wartawan, mengingat dan menimbang berbagai aspek sosilogis dan yuridis. Namun untuk point tiga, idealnya dapat ditetapkan pada wartawan muda, point dua untuk wartawan madya dan point satu, idelanya bagi wartawan utama.
Akhir dari Seorang Wartawan
Kehidupan profesi wartawan itu bertingkat. Kecerdasan, kemampuan dalam pengalaman dalam menguasai karya jurnalistik, kontinunitas dalam masa kerja sangat dibutuhkan dan berpengaruh. Bila itu dalam bentuk tulisan, wartawan muda hingga utama dapat menguasai berbagai bentuk tulisan.
Mulai dari bentuk tulisan berita langsung (Straight news), pengalian berita (Investigative news), Pengungkapan berita (Explonatory news), penjelasan berita (Interpretatif news), Pengembangan berita (Depth news) hingga karangan khas (Feature).
Selain itu nantinya, seorang wartawan utama wajib dapat menulis essay, artikel, opini dan bentuk tulisan lainnya, yang merupakan karya ilmiah dan populer. Akhir dari seorang wartawan adalah seorang penulis. Itulah wartawan, yang seyogyanya tak pernah mati dalam pemikiran.
*Wartawan/Alumni Universitas Islam Djakarta