Kebusukan Politik: Runtuhnya Peradaban Era Reformasi

Reformasi 1998 seharusnya menjadi periode baru tatanan kehidupan bangsa dan negara menandakan runtuh kekuasaan Orde Baru yang dicap sebagai kekuasan penuh trik dan intrik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tidak berkuasa lagi menyengsarakan rakyat.

Orde Reformasi seharusnya Negara Republik Indonesia telah resmi menjadi negara yang demokratis, ditandai dengan diadakannya Pemilu, terjaminnya kebebasan pers, dan rakyat bebas dalam menyalurkan aspirasi. Namun, semakin kesini cita-cita Reformasi belum sesuai harapan rakyat Indonesia.

Persaingan antar kontestasi politik yang hanya fokus kepada kekuasaan, membuat Partai Politik belum menghasilkan calon-calon yang sesuai harapan rakyat. Hasilnya, kehidupan demokrasi Indonesia sudah terjangkit virus Politik Identitas, Politik Uang (Money Politics), Korupsi Moral dan Etika dan merebaknya Berita Bohong (Hoax).

Konflik-konflik internal partai politik sebagai puncak ekses oligarki politik tentu juga merupakan gejala kemerosotan politik. Begitu pun konflik antar lembaga penegak hukum yang berekses disfungsi (mandul dan impoten) kelembagaan dan ketidakpastian hukum.

Konflik antar elite dan antar lembaga tersebut tentu sangat memprihatinkan karena pemulihannya memerlukan jalan yang panjang dan tidak mudah. Dan itupun marak terjadi di Era Reformasi semakin jelas terjadi “Politics Decay” atau kebusukan politik. Sistem Politik yang rusak Era Reformasi tidak hanya terfokus pada satu individu, kelompok dan lembaga tertentu.

Kebusukan politik dapat timbul dari tindakan individu seperti korupsi oleh pejabat pemerintah, kekuasaan yang dilindungi, dan ketidakjujuran. Selain itu, faktor sistemik seperti lemahnya hukum, regulasi yang longgar, serta struktur politik yang memungkinkan konsentrasi kekuasaan dan sumber daya juga dapat berkontribusi pada kebusukan politik.

Oleh karena itu, sulit untuk mengidentifikasi satu pencetus tunggal untuk “pembusukan politik” karena itu adalah masalah yang kompleks dan bisa berasal dari berbagai sumber.

Yang pasti politik busuk telah merusak tatanan Judikatif, terjadi degradasi moral dan etika dengan perilaku korupsi dan jual beli hukum oleh aparat hukum hampir di semua tingkatan Institusi hukum baik Kepolisian, KPK, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan. Berapa banyak Oknum Aparat Hukum yang terjerat hukum terlibat suap dan korupsi, silahkan cek jejak digital

Juga telah merusak sistem di Legislatif hampir semua partai-partai politik di Indonesia nyaris tidak bersih dari Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN). Berapa banyak oknum-oknum Anggota partai Politik yang marak di media terjaring kasus korupsi silahkan cek jejak digital

Termasuk juga Eksekutif, Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota sering terlibat pelanggaran hukum dan kebusukan politik. Berapa banyak menteri dan pejabat kementrian, Gubenur, Walikota dan Bupati terjerat hukum karena suap dan korupsi, silahkan cek lagi jejak digital.

BACA JUGA:  Pilkada Rejang Lebong, Fikri-Samuji Terancam Gagal

Ini menandakan Era Reformasi telah terjangkit kanker ganas Politics Decay sebagai masalah yang berkembang dari ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip etika dan moral politik, tidak akuntabilitas, kebijakan yang tidak transparan, dan dilindunginya kekuasaan kotor dan jahat oleh berbagai pemangku kepentingan dalam sistem politik yang sifatnya busuk.

Politics Decay” Merujuk pada situasi di mana sistem politik mengalami berbagai masalah dan korupsi, seperti melindungi kekuasaan, ketidakjujuran, dan menjamin akuntabilitas. Ini adalah isu yang umum di banyak negara, saat ini terjadi di Negara Republik Indonesia dan bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem politik.

Seharusnya upaya reformasi sering kali diperlukan untuk mengatasi kebusukan politik. Sayangnya Era Reformasi tahun 1998 hanya penanda peralihan dari Era Orde Baru sebagai slogan perubahan tanpa dukungan etika dan moral untuk merubah diri, menolak dan tidak terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam lingkaran politics decay.

Era Reformasi sebuah momentum perubahan tapi Elite justru tidak mau berubah secara moral dan etika, tetap mempertahankan perilaku KKN yang dulunya dibenci Rakyat Indonesia dari Era Orde Baru.

Untuk mengatasi kebusukan politik, beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:

1. Mendorong Transparansi: Meningkatkan transparansi dalam proses politik dan pemerintahan dapat membantu mengurangi peluang terjadinya korupsi. Pemerintah dan pejabat harus terbuka tentang kebijakan, anggaran, dan keputusan mereka.

2. Menguatkan Akuntabilitas: Membuat pejabat pemerintah bertanggung jawab atas tindakan mereka adalah langkah penting. Sistem hukum yang efektif dan lembaga-lembaga pengawas yang independen dapat membantu menciptakan akuntabilitas.

3. Reformasi Hukum: Meningkatkan sistem hukum, termasuk peradilan, dapat membantu mengurangi kebusukan politik. Hukum yang ketat dan penegakan hukum yang adil dapat mendukung penegakan aturan.

4. Pendidikan dan Kesadaran: Pendidikan masyarakat tentang hak dan tanggung jawab politik mereka yang penting. Kesadaran masyarakat tentang isu-isu politik dan partisipasi aktif dalam pemilihan dapat membantu mengendalikan kebusukan politik.

5. Reformasi Sistem Politik: Dalam beberapa kasus, reformasi sistem politik seperti perubahan undang-undang pemilu, kebijakan kampanye politik, dan sistem pemilu yang lebih adil dapat membantu mengurangi kebusukan politik.

Langkah-langkah ini dapat bervariasi tergantung pada situasi di masing-masing negara. Penting untuk melibatkan masyarakat sipil, LSM, dan aktor politik dalam upaya untuk mengatasi kebusukan politik dan memulihkan integritas dalam sistem politik.

Penulis: Freddy Watania.
Jurnalis, Eksponen Mahasiswa 1998