GEN M DAN ERA KONSEPTUAL

Penulis Oleh: Yudha Pedyanto

Pagi ini saya membaca sebuah buku menarik; A Whole New Mind, yang ditulis oleh Daniel H. Pink. Tesis-nya menarik; saat ini kita tengah memasuki era yang sangat berbeda dengan era-era sebelumnya. Konsekuensinya, dunia membutuhkan jenis profesi baru, dengan mindset dan skill set yang sama sekali baru. Namun sayangnya, hari ini masih banyak orang-orang yang mempersenjatai diri dengan mindset dan skill set usang yang sudah kadaluwarsa. Pastikan Anda dan anak Anda tidak termasuk di antaranya.

Daniel mengawalinya dengan membagi perjalanan manusia menjadi tiga era; Era Agraris (abad ke-18), Era Industri (abad ke-19), Era Informasi (abad ke-20), dan Era Konseptual (abad ke-21). Di Era Agraris profesi didominasi oleh petani (farmers), Era Industri didominasi oleh pekerja pabrik (factory worker), Era Informasi didominasi oleh pekerja intelektual (knowledge worker), dan Era Konseptual didominasi oleh para pencipta, penutur kisah dan pengenal pola (creators, story teller and pattern recognizers).

Pada Era Industri, para pekerja pabrik atau pekerja manual bekerja dengan tangan dan tenaga mereka; mengoperasikan mesin atau memasang komponen dalam sebuah proses manufaktur. Kekuatan fisik menjadi modal utama para pekerja Era Industri. Kemudian zaman bergeser ke Era Informasi, di mana para pekerja intelektual bekerja dengan ilmu dan pengetahuan mereka; seperti lawyer, dokter atau programmer.

Pada Era Informasi, para pekerja yang masih mengandalkan kekuatan fisik pasti akan sulit bertahan, dan lama-kelamaan jenis profesi ini akan punah. Konsekuensi seperti ini menjadi semacam sunnatullah yang tak terelakkan. Demikian pula ketika sekarang kita sedang memasuki Era Konseptual; para pekerja yang mengandalkan kekuatan pengetahuan pasti akan sulit bertahan, dan lama-kelamaan jenis profesi ini akan punah. Konsekuensi seperti ini menjadi semacam sunnatullah yang tak terelakkan.

Bagaimana kekuatan pengetahuan yang jadi modal utama para pekerja intelektual bisa kadaluwarsa di Era Konseptual? Daniel menjelaskan ada kekuatan baru yang meluluhlantakkan para pekerja intelektual. Dia menyebutnya 3A; Abundance, Asian dan Automation. Abundance adalah berlimpahnya pasar barang yang sangat murah dan mudah (cek harga-harga di Toped atau Bukalapak). Asia adalah berlimpahnya pasar jasa yang sangat murah (seperti off-shoring pabrik Apple di Cina), atau pasar jasa online seperti UpWork yang menurut saya harganya sadis-sadis murahnya.

Sedangkan Automation adalah serbuan AI tanpa ampun kepada para pekerja intelektual. Ingat komputer AI buatan IBM seberat 1,4 ton bernama Deep Blue berhasil mengalahkan grandmaster catur dunia Gery Kasparov; dengan skor enam kosong. Komputer AI lain menawarkan jasa diagnosa dokter dan konsultasi hukum online. Bahkan Appligenics, berhasil menciptakan software yang mampu menciptakan software, dalam waktu kurang dari sedetik. Bahkan profesi saya sebagai programmer pun terancam.

Sederhananya begini; ajukan tiga pertanyaan ini pada profesi Anda sekarang: Pertama, apakah seseorang di seberang sana bisa mengerjakannya lebih murah? Kedua, apakah komputer bisa mengerjakannya lebih cepat dan akurat? Ketiga, apakah barang yang saya produksi berlimpah bahkan lebih murah di pasaran? Jika jawaban pertanyaan pertama dan kedua adalah ya (apalagi keempat juga ya), maka Anda dapat masalah besar. Siap-siap profesi Anda kelibas dan sirna. Solusinya harus segera ikhtiyar upgrade diri.

Lalu apa yang menjadi kekuatan baru di Era Konseptual? Daniel meringkasnya menjadi dua hal; high concept dan high touch. High concept adalah kemampuan dalam mendeteksi pola dan peluang, lihai menciptakan karya artistik yang emotionally stunning, piawai mengukir narasi yang menginspirasi, serta jeli mencari crossing over lalu merumuskan gagasan baru dari berbagai bidang keilmuan yang kelihatannya tidak berhubungan. Sedangkan high touch adalah kemampuan berempati serta memberi makna (meaning makers) di tengah belantara peradaban kapitalis yang bising dan chaos (salah satu tren yang disebut Daniel adalah meditasi).

Berdasarkan high concept dan high touch tadi, Daniel merumuskan enam profesi baru Era Konseptual yang diberi nama: Six Senses. Pertama; tidak hanya fungsi tapi DESAIN. Kedua; tidak hanya argumen tapi KISAH. Ketiga; tidak hanya fokus tapi SIMFONI. Keempat; tidak hanya logika tapi EMPATI. Kelima; tidak hanya keseriusan tapi BERMAIN. Keenam; tidak hanya akumulasi informasi tapi ARTI (MEANING). Menurut Daniel siapa pun bisa menguasai enam indera era konseptual. Tapi siapa pun yang menguasai pertama kali, dia telah mencuri start dan mendapatkan keuntungan besar.

Sebagai seorang muslim, saya merasa sangat tertantang menjawab tesis Daniel tentang Era Konseptual tadi. Apalagi menurut Yuswohady (CEO Inventure), saat ini ada generasi baru muslim yang menurutnya hanya ada di Indonesia, yang diberi nama Gen M atau Generation Muslim. Tak seperti generasi muslim sebelumnya, Gen M adalah generasi yang berpengetahuan (knowledgeable), lahir di akhir tahun 1980-an dan setelahnya, di mana berbagai platform social media lahir, yang memungkinkan sharing informasi dan pengetahuan sedemikian mudah dan masif.

Masih menurut Yuswohady, Gen M memiliki empat karakterikstik unik. Pertama, mereka religius dan taat pada kaidah-kaidah Islam. Kedua, mereka modern, berpengetahuan, melek teknologi, dan berwawasan global. Ketiga, mereka melihat Islam sebagai rahmatan lil alamin yang memberikan kebaikan universal kepada seluruh umat manusia. Keempat, mereka cukup makmur dengan daya beli memadai, kemampuan berinvestasi lumayan, dan jiwa memberi yang cukup tinggi. Yuswohady juga menggarisbawahi, lewat Aksi 212 yang dihadiri jutaan manusia itu, Gen M mampu menyampaikan ekspresi dan aspirasi politiknya dengan damai, elegan dan berkelas.

JIka Gen M mau menjawab tantangan Era Konseptual tadi, menurut saya disamping high concept dan high touch, harus ada high politics. High politics adalah sikap di mana Gen M menolak jadi korban dan tumbal politik demokrasi lima tahunan, kemudian mereka memilih untuk gencar menghadirkan serta mendakwahkan Islam sebagai meaningful view of life (aqidah), meaningful way of life (syariah), serta meaningful civilization (khilafah ‘ala min hajin nubuwwah).