POWER of RUH

Artikel Oleh: Yudha Pedyanto

Ketika ditanya apa pekerjaan saya, biasanya saya jawab; tukang jahit keliling. Kadang saya menjahit kata (seperti sekarang), kadang saya menjahit kode aplikasi. Klien saya beragam. Mulai dari perusahaan kategori obvitnas yang dijaga datasemen rudal, sampai organisasi-yang-namanya-tidak-boleh-disebut karena menyangkut enkripsi informasi rahasia negara. Klien-klien semacam tadi menuntut saya harus selalu up-to-date dengan produk-produk Android dan Apple.

Bicara tentang Apple, baru-baru ini ia dinobatkan sebagai perusahaan termahal di dunia, dengan market cap sebesar satu triliun dollar. Itu artinya kalo Anda ingin membeli perusahaan Apple, Anda harus merogoh kocek satu triliun dollar atau sekitar 15,000 triliun rupiah. Gak banyak koq. Itu cuma tiga kali lipat hutang pemerintah sekarang, atau enam kali lipat APBN sekarang.

Apa rahasia sukses Apple? Mengapa dia selalu sukses setiap release produk baru, sementara perusahaan lain kembang kempis mengais-ngais profit yang makin tipis, itu pun hanya puas dengan meniru produk Apple. Apa yang membedakan Apple dengan kompetitor-peniru-untung-tipis tadi? Menurut Simon Sinek, penulis best seller Start With Why, perbedaannya adalah: Apple memulai dengan MENGAPA (WHY), sedangkan kompetitornya memulai dengan APA (WHAT).

Ketika kompetitor Apple membuat produk, mereka berangkat dengan APA. Yakni fitur-fitur kasat mata seperti; hey coba lihat HP baru ini dengan 6GB RAM, real Octa Core prosessor, 24 MP front camera, 4500 mAh battery dan ada poninya mirip iPhone X. Dan produk tadi langsung tenggelam ketika ada kompetitor beri fitur sama dengan harga separuhnya.

Tapi ketika Apple membuat produk, mereka tidak pernah berangkat dengan APA. Apple tidak pernah repot-repot menjelaskan fitur-fitur kasat matanya. Bahkan kalau mau dilihat; semua produk Apple rata-rata spec hardware-nya hanya separuhnya Android, tapi dengan harga dua bahkan tiga kali lipat lebih mahal. Tapi tetap saja produk-produk Apple laris manis bak kacang goreng.

Mengapa? Karena Apple tidak pernah memulai dengan APA, tapi dengan MENGAPA. Ketimbang sibuk menjelaskan APA fitur kasat matanya, Apple menjelaskan MENGAPA alasan dan tujuan (tak kasat mata) yang diyakininya: Kami adalah perusahaan yang menantang status quo, kami adalah perusahaan yang selalu “think different”; jika Anda merasa sejalan dengan nilai dan keyakinan kami, silahkan beli produk-produk kami.

Jika Anda menyangka Apple menjual produk, Anda salah besar. Apple tidak menjual produk APA, tapi nilai MENGAPA. Produk hanyalah tangible proof; sekedar bukti dan manifestasi kasat mata dari nilai dan keyakinan tak kasat mata yang mereka miliki. Inilah mengapa Apple jadi legendaris, karena ia punya nilai MENGAPA yang kuat dan konsisten; anti status quo dan think different.

Sebaliknya HP-HP merek Cina harus puas mengais-ngais dengan margin tipis, karena mereka hanya menjual APA tanpa punya nilai MENGAPA sama sekali. Nike dan Harley Davidson pun menjadi legendaris karena melakukan hal yang sama, mereka menjual nilai MENGAPA yang kuat dengan konsisten. Menurut Simon Sinek, inilah mengapa Power of WHY akan selalu mengalahkan Power of WHAT.

Sayang Simon Sinek tidak membaca kitab Al-Fikru Al-Islamiy karangan Muhammad Muhammad Ismail yang terbit puluhan tahun sebelumnya. Seandainya dia baca, mungkin dia akan sadar kalau Power of WHY tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Power of RUH, atau dalam istilah Muhammad Muhammad Ismail disebut Al-Quwwah Ar-Ruhiyah.

Menurut Ismail, Al-Quwwah Al-Madiyah (Power of WHAT) akan selalu dikalahkan oleh Al-Quwwah Al-Maknawiyah (Power of WHY). Hal ini sejalan dengan tesis Simon Sinek di atas. Tapi Al-Quwwah Al-Maknawiyah (Power of WHY) akan selalu dikalahkan oleh Al-Quwwah Ar-Ruhiyah (Power of RUH). Tesis inilah yang luput dari pembahasan Simon Sinek, sehingga sangat menarik untuk dibahas.

Kelemahan mendasar Power of WHAT dan WHY menurut Ismail adalah keduanya bertumpu pada hal yang temporal. Materi bisa berkurang bahkan hilang. Jika kekuatan (dan produk) kita bertumpu pada materi, maka kekuatan tersebut bisa berkurang dan hilang dengan cepat. Ini sebabnya produsen HP yang mengandalkan spec WHAT akan selalu dikalahkan dengan produsen lain yang memberikan spec yang sama (atau lebih), dengan harga yang bersaing.

Tidak hanya peperangan merek, pada peperangan sesunguhnya Power of WHAT ini juga sangat rapuh. Jika umat Islam bertumpu pada Al-Quwwah Al-Madiyah, maka tentara muslim tidak akan mampu mengalahkan tentara Quraisy yang berjumlah tiga kali lipatnya di medan Badar. Atau tentara muslim tidak akan mampu mengimbangi tentara Romawi yang berjumlah hampir 70 kali lipatnya di medan Mu’tah. Umat Islam menang karena mereka bertumpu pada Power of RUH (Al-Quwwah Ar-Ruhiyah).

Demikian pula dengan Power of WHY. Sebagaimana materi, makna juga bisa berkurang dan berubah dengan cepat, karena sifatnya emosional dan temporal. Apple mungkin bisa berjaya di tempat lain, tapi tidak di Korea Selatan dan Cina. Produsen HP di kedua negara tersebut tentunya tidak hanya mengandalkan harga yang lebih murah, tapi juga sentimen maknawiyah nasionalisme dan cinta tanah air.

Tapi Power of WHY seperti nasionalisme itu pun juga sangat labil dan bisa berubah dengan cepat. Masih ingat lepasnya Timor Timur dari Indonesia? Dengan narasi maknawiyah nasionalisme yang berapi-api Timor Timur disatukan dengan Indonesia pada tahun 1976. Tapi dengan narasi maknawiyah HAM, akhirnya pula Timor Timur dilepaskan dari Indonesia pada tahun 1999. Para veteran seroja pun bertanya apa arti nyawa (atau anggota badan) yang telah dikorbankan pada Operasi Seroja 1974. Mereka pun akhirnya ramai-ramai membakar tanda jasa pahlawan yang selama ini dibanggga-banggakan.

Berbeda dengan Power of WHAT dan WHY yang bertumpu pada hal yang rapuh, emosional dan temporal. Power of RUH bertumpu pada hal yang powerful dan eternal. Seperti halnya kompas yang selalu konsisten mampu menunjuk arah utara, Power of RUH mampu memberikan pedoman yang tak lekang oleh zaman. Itulah syariat Islam. Ia konsisten karena tidak bersumber dari dunia yang temporal, tapi bersumber dari Allah SWT yang eternal.

Tidak seperti Power of WHAT dan WHY yang berpusat pada saya (me driven); apa yang saya dapatkan, apa untungnya bagi saya, apa maknanya bagi saya. Power of RUH berpusat pada tujuan (purpose driven); apa yang bisa saya berikan, apa yang bisa saya kontribusikan, apa yang bisa saya korbankan, demi kehidupan akhirat yang eternal kelak. Power of RUH seorang muslim akan semakin kuat; ketika ia tetap bangun sholat malam dan subuh sekalipun keadaan sangat dingin. Tetap berpuasa sekalipun keadaan sangat terik. Tetap bersedekah sekalipun keuangan sangat sempit. Atau tetap berdakwah sekalipun rezim sangat represif.

Kembali ke kasus Apple, sekalipun Power of WHY bisa membangun perusahaan hebat, tapi insufficient atau tak cukup untuk membangun peradaban hebat. Coba lihat, sebuah perusahaan dengan market cap senilai enam kali APBN kita; apa yang dihasilkannya? Sebuah gadget kinclong yang fiturnya nyaris tak berubah; bisa telpon, kirim pesan, selfie serta bersosmed ria. Nampaknya mereka membeli bukan karena teknologi, tapi karena gengsi.

Dari kaca mata peradaban, market cap Apple senilai 15,000 triliun rupiah tadi tidak berarti apa-apa, kecuali gadget kinclong yang bisa untuk kirim pesan dan telpon saja. Jika ada yang bisa disebut sebagai kemajuan dan terobosan, maka yang ada bukan kemajuan dan terobosan teknologi, tapi kemajuan dan terobosan budaya hedonisme dan konsumerisme yang semakin masif dan menjadi-jadi. Inilah hasil Power of WHY selama tiga abad perjalanan peradaban kapitalis global.

Market cap sebesar itu seharusnya bisa mengantarkan umat manusia berada di garis terdepan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya sebenarnya berharap, perusahaan-perusahaan milik Elon Musk seperti SpaceX (eksplorasi ruang angkasa), Solar City (panel surya rumah murah) atau Tesla (mobil listrik ramah lingkungan), seharusnya jadi perusahaan-perusahaan pemimpin dunia, bukan Apple. Tapi peradaban kapitalis nampaknya sangat tak bersahabat dengan terebosan visioner ala Elon Musk. Ia seperti the right man in the wrong system.

Seharusnya terobosan mutakhir dan menantang seperti eksplorasi luar angkasa, energi alternatif dan mobil listrik tidak diemban oleh perusahaan, tapi negara. Karena misi-misi mulia tadi berbiaya tinggi, bersifat jangka panjang, serta taruhannya kelangsungan umat manusia di muka bumi ini. Misi-misi mulia tadi tidak boleh tunduk oleh supply and demand ataupun kepentingan jangka pendek para pemegang saham.

Tapi peradaban kapitalis tidak mengerti semuanya tadi. Dia hanya mengerti prinsip to make millions, sell millions. Jualah sebanyak-banyaknya consumer products yang retail friendly dan mudah ketinggalan zaman, secara berulang-ulang ke banyak orang. Kalau pun ada teknologi, itu sekedar teknologi tepat guna yang digunakan tentara AS menginvasi negeri-negeri Islam. Seperti di Irak dan entah negara mana lagi yang akan diinvasi AS kemudian hari.

Inilah problem peradaban kapitalis yang dipimpin oleh Power of WHY. Sebuah peradaban yang hanya mengabdi kepada materi, dan hanya mengerti bahasa untung-rugi. Sebenarnya pernah ada sebuah peradaban yang dipimpin oleh Power of RUH, yang mengabdi kepada Pencipta materi, dan tidak menggunakan pendekatan untung-rugi tapi pahala-dosa. Peradaban ini pernah terbentang selama tiga belas abad dan telah mewariskan banyak penemuan dan terobosan sains dan teknologi.

Jika saat ini Anda sedang membaca tulisan ini dari gadget atau komputer, maka tidak bisa dilepaskan dari teknologi digital dan algoritma yang digagas oleh Al-Khawarizmi. Jika Anda suka selfie atau memotret dengan kamera HP, maka tidak bisa dilepaskan dari penemuan “qamara” atau Kamera Obscura pertama oleh Ibnu Haitham. Jika Anda sering berpergian dengan pesawat terbang, maka tidak bisa dilepaskan dari penemuan Ibnu Firnas yang berhasil terbang dari menara Masjid Agung Cordova, seribu tahun sebelum Wright bersaudara. Disiplin ilmu Enkripsi yang saya tekuni pun tak bisa dilepaskan dari Bapak Kriptografi Abu Yusuf Al-Kindi.

Kita tidak hanya membutuhkan peradaban baru, tapi tata nilai baru, keyakinan baru, serta cara pandang dunia yang juga baru. Dan tidak ada yang mampu memberikannya, kecuali Islam. Karena hanya Islam yang memiliki perangkat konseptual yang memadai, serta bukti historis yang tak sebentar. Selain itu, akar persoalan peradaban kapitalis terletak pada pandangan hidupnya yang menuhankan profit. Adakah alternatif solusi lain yang mampu membebaskan manusia dari penghambaan profit kepada penghambaan Allah SWT, selain Islam?

Ketika ditanya apa pekerjaan saya, biasanya saya jawab; tukang jahit keliling. Tapi setelah dipikir-pikir kita semua adalah tukang jahit. Mungkin bukan menjahit kata, apalagi kode. Tapi menjahit asa umat manusia yang saat ini terkoyak dan tercabik oleh kapitalisme dan sekulerisme. Menjahit harapan dan perjuangan kembalinya sebuah peradaban gemilang yang menebarkan kemajuan, kesejahteraan dan keadilan kepada sesama. Itulah khilafah ala min hajin nubuwwah.