Karya : Bagus, Republik – SLE
Si ‘imut’ Buyung
Tegar sedang mengerjakan tugas sekolah ketika Jago masuk kamarnya tanpa mengetuk pintu.
“Tegar!!!”
Sikapnya langsung mengintimidasi adiknya yang lagi duduk di kursi belajarnya. Tegar kaget dan bingung.
Dia tahu abangnya sangat marah, hanya dengan panggilan namanya saja tersebut!
“Apa sih, bang?”
Tegar Berusaha memperbaiki posisi duduknya yang saat ini tidak menguntungkan. Matanya memandang wajah abangnya.
Wajah itu marah. Dan mata itu belum pernah dia lihat sebelumnya. Tegar ciut dan langsung mengalihkan pandangannya.
“Ada apa sih, bang?”
Jawabnya untuk meredam degup jantungnya yang dia rasakan saat ini berdegup kencang.
“Pandang mata abang!”
Tegar berusaha melihat mata itu, tapi dia langsung tertunduk lemas. Kemudian dia melepaskan diri dari intimidasi kakaknya melalui bawah ketiak sang abang.
“Masalah itu lagikan?”
Dengan lesu Tegar membaringkan tubuhnya ke tempat tidur. Dia memeluk gulingnya.
“Sudah adek bilang, bang, adek tidak tahu.”
Jago yakin adiknya tidak berbohong. Tapi setiap dia melihat ayah selalu tidak bergairah sejak sebulan ini, amarahnya memuncak pada sang adik.
Ayahnya mulai bertingkah aneh sejak menjemput Tegar dari rumah Ucok, tulang mereka yang buka bengkel air brush di Seluma.
Sejak saat itu sang ayah suka menyendiri, mengurung diri di kamar, duduk memandang laut lepas tanpa baju walau angin kencang, entah itu pagi, siang, sore, bahkan lebih sering malam hari, dan sikap ini semakin menjadi-jadi setelah meninggalnya almarhum Dang Leman.
Tanpa banyak kata, apalagi bercanda bersama mereka.
“Dek, bantu abang….!”
Tegar duduk di samping Tegar yang menutup wajahnya dengan bantal guling. Suaranya setengah putus asa.
“Bantu apa sih?! “
Jawab Tegar dari balik bantal. Tidak bisa di tebak apa makna nada suara itu.
Sebenarnya Tegar sangat merasa bersalah atas sikap ayahnya belakangan. Tegar merasa dialah penyebab ayahnya suka menyendiri. Karena dia ayahnya harus berpisah dengan Claire. Claire memutuskan hubungan cintanya dengan ayah.
Tegar malu untuk minta maaf, atau lebih tepatnya dia enggan.
Di satu sisi dia merasa puas ayah dan Claire berpisah, tapi di sisi lain dia merasa bersalah dan terlalu egois, tanpa memikirkan perasaan ayahnya.
“Ayo lah, dek, ajak ayah ngobrol. Biasanya kan adek bisa merayu ayah… ” Jago membujuk adiknya.
“Abang sajalah, kan abang lebih sering sama ayah dari pada adek, bang…. ” Jawab Tegar masih dari balik bantal.
“Kamu harus tanggung jawab dek, gara-gara kamu ayah seperti itu…! “
Suara Jago mulai meninggi. Dia mulai menyalahkan adiknya.
“Kok gara-gara aku bang?!” Tegar mulai tersinggung. Dia bangkit dan berdiri menghadap kakaknya.
“Iya, karena tingkah kamu yang kanak-kanak itu membuat Claire tidak tahan dan memutuskan ayah! ” Balas Jago tidak kalah kerasnya dengan suara Tegar.
“Dasar ayah saja yang genit! Tidak sadar kalau sudah tua!”
Hampir saja Jago tersulut emosi. Tangannya sudah di udara mau menampar adiknya. Tapi kemudian dia menurunkan tangannya tersebut.
“Dek, ayah belum pernah menikah. Selama kita bersamanya, seluruh waktu, perhatian, dan cintanya hanya untuk kita. Claire terlupakan olehnya sejak ada kita di sisinya. Padahal mereka sudah pacaran jauh sebelum kita ada di lingkungan ayah. Dia sudah mengorbankan banyak hal untuk kita dek… ”
Suara Jago melemah. Dia tidak mungkin memukul adiknya, selain memang dia terlalu sayang, ayah mereka juga melarang agar jangan sampai memukul.
“Abang harus menjaga adek ya. Kalau dia nakal, jangan dipukul. Nasehati saja…. ” Tiba-tiba suara ayah kandung mereka terngiang di telinga Tegar.
Kalimat yang belasan tahun lalu diucapkan kala mereka memancing bersama, sebelum sang ayah pamit mau mencari kerja.
Ah….sesaat dia merenung. Kembali rasa rindunya pada adik perempuan dan ayah kandungnya menggayuti hatinya. Sikapnya menjadi murung seketika.
“Apa kabar mereka?” Bisik hatinya.
Jago lalu meninggalkan kamar Tegar dengan lesu. Sementara Tegar, langsung menghempaskan kembali tubuhnya ke tempat tidur dengan posisi menelungkup.
“Aaaarrrggghhh!!! Teriaknya pada kasur. Ucapan abangnya tadi mengenai tepat di hatinya. Dia merasa bersalah.
Tiba-tiba dia ingin memeluk ayahnya. Lalu dia segera bangkit mencari ayahnya di kamar. Ketika pintu di buka, ternyata tidak ada. Dia kemudian mencari ke depan, kalau-kalau ayahnya ada di antara para tamu. Juga tidak ada. Mau menanyakan pada karyawan, mereka lagi sibuk menyiapkan pesanan para tamu.
Kemudian dia menemui abangnya di kamar. Kakaknya sedang berbaring menatap langit-langit.
” Ayah di mana bang? ” Tanyanya sambil berdiri di pintu.
Jago memandang adiknya sesaat lalu menjawab lemah.
“Di pantai…! “
Tegar kemudian menuju pintu belakang, membukanya, keluar tanpa menutup kembali.
Berlari-lari kecil dia mencari ayahnya di pantai. Dia menemukan yang dia cari sedang menekuri laut.
“Ayah…. ” Suara Tegar hati-hati. Dia takut mengejutkan ayahnya.
“Hmmm…. ” Laki-laki itu mendehem.
Perlahan dia mendekat ayahnya. Sekitar dua langkah lagi, dia berhenti.
“Boleh adek memeluk ayah? “
Antara berani dan tidak Tegar mengucapkan kalimat itu. Dia ingin meminta maaf pada ayahnya.
Tanpa mengalihkan pandangannya, Ryu membentang sebelah tangannya, tanda bahwa Tegar boleh memeluk dirinya.
Tegar lalu memeluk sang ayah dari belakang. Memeluk dengan kuat.
Sudah lama dia atau sang ayah tidak melakukan ini lagi. Ya, sejak ulang tahunnya lebih dari sebulan lalu.
Ryu lalu melingkari tangannya di bahu sang anak.
“Sini, duduk samping ayah… ”
Tegar mengikuti pinta ayahnya. Dia duduk di samping sang ayah. Duduk dengan sikap sempurna. Tulang punggung tebak lurus, wajah memandang lurus jauh ke garis horizon laut di depan sana. Tangan dilipat di dada, persis seperti yang dilakukan oleh ayah.
Laut tenang. Ada kerlip lampu kapal di tengah sana. Di atas, langit cerah. Beberapa gugusan zodiak terlihat jelas. Angin sepoi.
“Ayah, maafkan adek… ” Diucapkan tanpa mengubah posisi duduk.
“Iya… ” Jawab ayahnya singkat.
“Apa kabar tante Claire, yah?”
“Baik.. ” Juga jawaban singkat setelah dia berdehem dan menarik nafas panjang.
Tegar merasa tersiksa dengan jawaban-jawaban pendek ini. Lebih baik ayahnya mencak-mencak seperti orang gila dari pada seperti ini.
Tapi tidak mungkin, ayahnya melakukan kegilaan itu, jika beliau dalam kekhawatiran terhadap dia dan abangnya.
“Dek, adek lihat kapal di tengah itu? “
Ayahnya memecahkan kebekuan di antara mereka.
“Iya yah. Adek lihat… “
“Dalam sebuah kapal, harus ada keserasian antara nahkoda dan awaknya. Tidak boleh ada yang lebih mementingkan dirinya. Jika ada badai, nahkoda harus memikirkan keselamatan awak dan penumpangnya terlebih dahulu. Dan jika ada penumpang baru, tapi ternyata penumpang tersebut akan mengacaukan isi kapal, lebih baik penumpang tersebut diturunkan saja.”
Ryu menyampaikan kalimat-kalimat itu dengan tenang. Setenang hatinya setelah mengeluarkan kalimat barusan.
“Adek tidak mengerti, ayah… “
Ryu memandang sesaat Tegar yang masih memandang laut lepas.
“Nanti kau akan mengerti, nak…!”
Lalu dia mengusap rambut anaknya.
“Ayo kita lomba, siapa yang paling dulu sampai ke cafe! “
Ryu lalu bangkit menunggu Tegar berdiri. Sebelum sempat remaja itu berdiri sempurna, Ryu berlari lebih dulu.
“Ayah curang!” Tegar langsung menyusul ayahnya yang sudah menjauh.
Begitu sampai pintu, Ryu langsung masuk. Disusul oleh anaknya.
“Tutup pintunya, dek…! “
Ketika Tegar menutup pintu, Ryu melangkah ngos-ngosan melewati kamar Jago. Keningnya berkerut melihat jagoannya hanya memandang langit-langit kamar. Tidak biasanya pemuda ini bersikap demikian. Ryu langsung masuk dan berbaring di samping Jago.
Sang ayah yang berusaha jadi ayah yang baik bagi kedua anak-anaknya ini meniru sikap Jago. Tegar juga ikut berbaring di sisi yang lain. Tubuh anak ini basah oleh keringat.
Salah seorang karyawan melihat ini, sempat tersenyum, sebelum akhirnya menunduk sedih. Entah apa yang ada dalam pikirannya hingga membuat dia bersedih.
Lama tidak ada yang bersuara. Ryu masih menata nafasnya yang masih ngos-ngosan, sementara Tegar sudah merasa lega karena sudah minta maaf pada ayahnya.
Tegar tahu abangnya lagi merasa sedih, menurutnya abangnya sedih karena sikapnya tadi. Dia langsung memeluk abangnya.
“Maafkan yang tadi ya, bang… ” Bisik Tegar di samping abangnya.
Walau sedikit terganggu oleh tubuh yang berkeringat adiknya, Jago sama sekali tidak mengubah posisinya. Juga tidak bereaksi terhadap permintaan maaf adiknya.
Karena tidak ada reaksi kakaknya, Tegar kembali berbaring menghadap langit-langit kamar, meniru dua laki-laki dewasa ini, setidaknya ini pendapat Tegar.
Lama tidak ada suara di antara mereka. Dari ruang depan cafe terdengar lagu Celine Dion yang dijadikan soundtrack film Titanic.
“Near… Far… Wherever you are, my heart will does go on now… “
Hingga mereka tertidur, tidak ada satupun yang membuka obrolan.
Hari ini suasana cafe sudah mulai kembali seperti dulu. Tapi itu tidak berlangsung lama. Jago yang tenang, mulai merasa ayahnya memiliki masalah. Tapi dia tidak tahu masalah apa itu.
Beberapa kali ayahnya keluar, dan kembali dengan wajah yang kelelahan. Walau sang ayah berusaha menutupi dengan selalu ceria, tapi ceria itu dirasakan oleh Jago dipaksakan.
“Ayah baik-baik saja kan?”
Jago tidak bisa menahan penasarannya saat dia melihat sang ayah pulang dengan tangan lebam karena terkilir, pada suatu malam.
Sang ayah hanya menjawab dengan senyum yang mengembang. Lalu masuk kamar dan mengunci pintunya. Hal ini semakin menimbulkan kecurigaan sang anak.
Malam ini Ryu mau pergi lagi. Tapi Jago berusaha mencegahnya.
“Ayah, adek belum pulang dari kemaren… “
“Lah, kan adek nginap sama mamas di Kampung Bali… Kemarenkan sudah pamit sama kita.”
‘Mamas’ adalah panggilan kesayangan keluarga besar terhadap anak bibinya yang paling bungsu. Di dalam keluarga besar mereka selalu ditanamkan panggilan kesayangan pada setiap anggota keluarga, termasuk pada yang lebih muda. Abang, mamas, donga, dang, ayuk, atau mbak pada yang lebih tua, dan adek pada yang lebih muda Jangan pernah ada yang salah dalam penyebutan diri, hukumannya sangat berat! Diomeli oleh semua yang mendengarkan hingga badan gatal-gatal….hehe
Dan, hingga saat ini kadang Jago ataupun Tegar masih tersenyum geli, ayah mereka memiliki panggilan yang sangat imut, “Buyung”! Begitu juga kalau ayah mereka menyebut dirinya sendiri jika berada di dekat bibi-bibinya, atau keluarga besar lainnya yang lebih tua.
Tanpa menghiraukan reaksi si anak, Ryu langsung menuju motornya, lalu meninggalkan Jago yang semakin khawatir.
Sebenarnya, Jago ingin menghubungi Tegar supaya bisa menggantikan dia menjaga cafe, dia ingin memata-matai sang ayah. Tapi urung dia lakukan, selain takut adiknya ini mengacaukan segalanya, dia juga takut si ayah akan marah besar jika ketahuan dia memata-matai sang ayah.
Di tengah kekhawatirannya, Jago menyapa dan menyalami dan mencium tangan tamu-tamu yang baru saja datang.
” Apa kabar om? Ke mana saja, kok lama gak datang?” Inilah kekhasan cafe, sekaligus kekuatan mereka. Menganggap semua tamu adalah keluarga yang sudah lama tidak bertemu.
“Biasa, lagi banyak kesibukan ke luar kota… ” Jawab salah seorang tamu, yang merupakan atasan dari teman-teman yang bersamanya.
Ketika mereka di cafe ini, tidak ada perbedaan yang jelas antara atasan ataupun bawahan. Semua membaur dengan sangat akrab.
“Ayahmu mau pergi ke mana tuh?” Tanya pak Cipto, sang atasan tersebut.
“Gak tau om, mungkin ada urusan di luar.” Jawab Tegar sambil mengantar rombongan ini ke meja favorite mereka.
Selanjutnya Tegar menemani mereka, sebelum tamu yang lain datang.
Malam sudah menuju jam dua pagi. Ryu belum juga pulang. Jago yang khawatir terhadap ayahnya semakin khawatir. Dia kembali menghubungi nomor sang ayah, tapi nomor yang dituju tidak aktif. Bahkan pesan yang dia kirim dua jam yang lalu masih conteng satu.
Jago kembali mau menghubungi nomor ayahnya, tapi samar-samar dia mendengar suara motor si ayah dari jauh. Jago langsung keluar dan menunggu orang yang dikhawatirkan itu di pinggir jalan.
Ryu melihat anaknya menunggu di pinggir jalan lalu menghentikan motornya.
“Ayo naik!”
Jago ingin marah pada ayahnya, tapi ditahan. Dia mengikuti perintah ayahnya.
Dalam hati, Ryu mencari-cari alasan apa yang akan dia sampaikan pada si jagoan di hatinya ini. Kalau ada orang tua yang saat ini takut dengan pertanyaan-pertanyaan anaknya, Ryu adalah orang tua tersebut.
Sesampai di cafe, Ryu langsung melangkah masuk begitu saja. Sengaja dia lakukan itu untuk menghambat langkah Jago. Dalam pikirannya anaknya tersebut akan mengurus kendaraannya, baru menyusul dirinya. Kesempatan itu akan dia gunakan untuk ‘bersembunyi’ dari sang anak sambil membereskan yang tidak beres di tubuhnya.
Tapi perkiraannya meleset, Jago sudah menghalangi niatnya untuk masuk kamar.
“Kita harus bicara ayah…!”
Ryu serba salah. Dia berusaha menutupi ketidakberesan di wajahnya dengan menutup kaca helm. Dalam hati dia menyesal kenapa tidak membereskan ‘ketidakberesan’ di wajahnya sebelum dia pulang.
“Sebentar, ayah mau ke kamar mandi dulu. Ayah kebelet pipis.”
Jago mengikutinya ke kamar mandi. Menungguinya sambil memperhatikan setiap gerakannya. Ryu semakin tidak berkutik.
Sikap seperti inilah yang dia takutkan terhadap Jago. Kalau ada sesuatu yang mengusik ketenangannya, maka dia akan kejar itu sampai dia menemukan persoalannya.
Ryu akhirnya menyerah. Dengan rasa bersalah dia membalikkan badan, melepaskan helm, lalu duduk di pinggir tempat tidur. Dia siap dihakimi oleh anaknya.
Jago, ketika melihat wajah ayahnya lebam, bukannya iba, malah semakin memancing amarahnya terhadap ayahnya.
Dengan wajah tanpa melihat si ayah, tegak lurus sambil bersedekap, dia berujar dingin.
‘Apa saja yang ayah lakukan di luar Sana?!”
Ryu serba salah, tidak tahu harus bagaimana menyikapi anaknya yang satu ini. Sikapnya yang beginilah membuat dia dan Tegar takut ‘berurusan’ dengan sosok satu ini.
“Mmm… Tadi ayah… Mmm… Ayah jatuh dari motor…!” Cuma itu yang dia temukan alasan.
Dalam hati dia berucap, anak TK saja tidak percaya alasannya, apa lagi Jago, tapi kemudian dia lega, karena tidak lama kemudian Jago pergi meninggalkannya.
“Besok pagi saya mau bicara sama anda…!”
Kalau dalam suasana berbeda, dia akan menghukum Jago karena kata ‘saya’ dan ‘anda’ itu. Namun, dia memaklumi, kalau anaknya tersebut lagi sangat serius.
Jago lalu meninggalkan ayahnya, sebelum dia menutup pintu dia meninggalkan kalimat yang mengusik pikiran laki-laki yang wajahnya bengap tersebut.
“Bersihkan wajah ayah, abang malas melihat ayah malam ini. Jangan lupa mandi. Air panas sudah abang siapkan…. “
Begitu Jago keluar dan menutup pintu, Ryu langsung meloncat dan mengunci pintu tersebut, lalu mengambil HP dan mengatifkan gawai tersebut, dan menghubungi seseorang.
Panggilan tersambung, dan langsung diangkat. Ryu langsung menyampaikan maksud nya.
“Bro, malam ini nginap di sini saja bro, bantu aku.”
“Bantu apa?” Jawab orang tersebut.
“Besok pagi aku mau disidang oleh anakku…!”
Orang yang jauh di sana tersebut malah tertawa.
“Ayolah bro… ” Ryu mengiba.
“Okelah, tapi aku mandi dulu. Setengah jam lagi sampai ke cafe.”
“Siap bro. Terimakasih ya.”
Dengan riang Ryu menutup telpon dan segera ke kamar mandi. Air panas yang sudah disediakan oleh Jago untuk dirinya sudah mendingin. Wajah yang lebam dikompres dengan air hangat tersebut, untuk mengurangi efek lebam, selain untuk mengurangi resiko infeksi jika ada luka.
Setengah jam kemudian terdengar suara mobil masuk ke halaman cafe. Ryu yang sedang berpakaian memanggil Jago agar membuka pintu untuk orang yang dia telpon tadi.
“Bang, ada teman ayah di depan. Tolong buka pintunya.”
Sebenarnya, permintaan tersebut untuk memastikan apakah Jago sudah tidur atau belum.
Dari kamarnya, Jago segera mengikuti perintah ayahnya. Walaupun dalam hati dia berpikir, siapa teman ayahnya yang datang jam segini.
Jago menyusul tamu ayahnya, dan membukakan pintu untuk orang tersebut. Menyalami dan mencium tangan, dan selanjutnya mempersilahkan sosok yang gempal, agak gemuk, dan sedikit lebih rendah dari ayahnya itu untuk duduk.
“Om mau minum apa? Kopi atau teh?” Jago menanyakan ketika teman ayahnya itu duduk.
“Bikin kopi saja bang, sekalian yang ayah. Kalau masih ada Grade A+…!”
Sahut ayahnya dari depan pintu kamar. Lalu langsung duduk di depan tamunya.
Jago meraih teko tempat fermentasi kopi premium cafe mereka, menuangkan ke panci khusus tempat memanaskan kopi tersebut lalu menghidupkan kompor. Tidak lama kemudian dua poci wine kopi khas cafe mereka tersaji.
Dengan rencana ‘licik’nya pagi ini Ryu selamat dari ‘persidangan’ si sulungnya. Dalam hati dia tertawa. Tidak henti-henti si ayah ‘licik’ ini mengucapkan terimakasih pada Agus, si bro-nya, sang penyelamat.
Malam ini, Ryu, si ayah yang ‘imut’ itu jadi ayah yang ‘nakal’. Diam-diam dan mengendap-endap.
Dia pergi meninggalkan cafe, setelah sebelumnya dia ‘mendisain’ agar Jago menjadi sibuk.
Si ayah ‘nakal’ mendorong motornya agak jauh dari cafe, supaya ketika distarter nanti tidak terdengar oleh Jago yang sedang menemani tamu. Setelah motor hidup, Ryu mengetik pesan untuk Jago. Isinya memberitahu kalau dia pergi karena ada urusan penting bersama si bro Agus. Pulang nanti lewat tengah malam. Setelah dikirim, HP dimatikan dan langsung tancap gas.
Di pinggir hutan tepi kota, Ryu mengarahkan motornya memasuki jalan setapak menuju tengah hutan. Belum lagi dia masuk hutan, dia merasakan sesuatu dari belakang dengan sangat cepat menuju kepalanya. Dia segera menunduk. Belum sempat mengangkat kepala, instingnya menangkap gerakan banyak benda tajam terbang ke arahnya dari segala arah. Ada sedikit ruang menghindar di atas kepalanya. Reflek dengan satu loncatan dan satu gerakan salto ke depan dia menghindar dari serangan gelap ini.
Belum lagi dia sempat menginjak tanah, ada kilau sabetan pedang memotong gerakannya. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri dari tebasan itu adalah melemparkan diri ke belakang.
Duk, punggungnya kena hantaman yang sangat keras. Sesaat dia terhuyung, tapi pukulan lain menyusul dari samping kiri dan kanan. Tidak ada waktu lagi untuk menghindar. Dua tangannya menangkis serangan dari kiri dan kanan, sementara punggungnya bergetar hebat. Satu tendangan lagi mengenai punggungnya.
Otaknya berfikir cepat dengan situasi ini. Dia memperkirakan jumlah orang yang menyerangnya setidaknya ada lima orang. Dalam gelap hutan dia tidak bisa melihat dengan jelas, apalagi banyak tempat bisa digunakan sebagai tempat persembunyian. Ryu menghitung setiap detik perbedaan serangan yang datang dan menganalisanya.
Lompatan sangat tinggi dilakukannya lalu turun dengan satu tendangan lurus ke depan. Satu sasaran telah dapat di serang.
Dengan menggunakan sedikit tempat untuk menahan berat badan ya, Ryu kembali melompat ke belakang, lalu turun menukik dengan telapak tangan akan mencengkeram, tapi tiba-tiba berubah terbuka dan, hugh! Suara seseorang menahan nafas. Ryu menyusulkan kembali dengan satu, dua, tiga, dan empat pukulan yang sama, sasaran yang sama dan takaran tekanan yang sama.
Ryu merasakan ada muncratan darah mengenai mukanya. Baru saja dia menjejak tanah, kembali tebasan pedang dari belakang, dan satu tendangan menyusul tebasan tersebut. Ryu melompat ke samping, tapi ujung pedang itu mengenai baju yang menempel di dadanya. Perih. Ryu tergores.
Tidak ada waktu untuk merasakan perih itu, karena pedang itu kembali terayun dan ingin memotong tubuhnya.
Ryu lalu melakukan gerakan setengah kayang lalu memutar tubuhnya satu lingkaran.mengikuti arah tebasan pedang. Dua tujuan dari gerakan ini, pertama menghindari tebasan pedang, kedua adalah pinggang si penyerang.
Next part #9