Tuhan Jangan Kau Cabut Dulu Bunga-Bunga Indah Ini

Oleh : Bagus, – Republik SLE

“Ok kawan-kawan, kalian jangan takut corona, tapi taklukkan dia. Perkuat imun tubuh, dengan jangan lupa berdoa selalu.

” Assalamualaikum om… “
“Waalaikumsalam… Masuk! “

Dua orang anak laki-laki ada di depan pintu. Kucel, pucat, berkeringat, dan saling bergandengan tangan.

Aku hentikan siaran langsung fb-ku, dan segera mendekati kedua anak tersebut. Dengan lembut aku pegang pundak mereka dan menggiring mereka untuk duduk di salah satu meja cafe-ku.

“Duduk sini ya, jangan takut. “

Setelah mereka duduk, aku segera mengambilkan dua gelas air putih. Ketika menunggu gelas penny, aku melihat ke mereka dan tersenyum. Sang kakak meraih tangan sang adik dan menggenggamnya. Aku terharu melihat ini, tanpa tahu maksudnya.

Setelah gelas-gelas tersebut penuh, aku letakkan di nampan yg terbaik yang kami punya, dan memberikan pada mereka.

“Terimakasih om. “

Mereka tersenyum, tapi aku melihat, itu senyum yang hampir sirna.

“Ayo diminum, jangan dilihat saja. “

Aku tawarkan ketika mereka hanya melihatnya saja. Sang kakak meraih gelas,tangannya gemetaran, dan segera mengarahkan ke mulut adiknya. Sang adik membuka mulut lalu meminum air tersebut. Sambil minum, mata sang adik melihat ke arahku. Aku tidak tahu artinya.

Setelah air dalam gelas tinggal setengah, sang adik menolak untuk minum lagi, dan sang kakak meminum sisanya hingga habis.

“Terimakasih om”

Aku mengangguk, dan tersenyum. Ketika mereka sudah nyaman, aku membuka pembicaraan.

“Anak-anak hebat di depan om, siapa ya namanya? “

“Nama saya Jago om, dan adik saya namanya Tegar” Lagi-lagi senyum yang hampir sirna keluar dari bibir pucat itu.

“Umur saya 7 tahun dan adik Tegar 5 tahun” Tanpa diminta dia menjelaskan umur mereka.

“Rumahnya di mana? ” Tanyaku.

“Di dekat jembatan kualo om”

“Ke sini tadi naik apa? “

“Jalan kaki om”

Aku mengernyitkan dahi.

“Om, om ada piring kotor tidak om? Biar kami cuci. Atau om mau beli sesuatu ke warung? Kalau ada nanti om catat, biar kami yang belanja. “

Aku terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba ini.

“Saya sudah bisa nyuci piring om” Sang adik memandang aku penuh harap.

“Kenapa?” Tanpa sengaja aku melontarkan pertanyaan yang kemudian aku sesali.

“Kami mau nyari kerja om… ” Jago menjawab dengan mantap!

“What!” Aku tertegun!

Deg! Sesuatu yang sangat keras menghantam lubuk hatiku. Seketika mataku berkaca-kaca. Segera aku alihkan pandangan.

Pikiranku berjalan cepat, mereka pucat, gemetaran, kaki dengan sendal jepit yang sangat berdebu.

Apa yang aku miliki saat ini? Aku bergegas melihat stok makanan untuk jualan. Hanya ada mie instan.

“Om lapar nih, om masak dulu ya.”

“Ada yang bisa saya bantu om? ” Sang kakak langsung bangkit dan berjalan ke arahku.

“Tidak usah, kalian duduk saja. Kalian hari ini tamu istimewa om. Om akan masak yang istimewa buat kalian.”

Keduanya saling berpandangan.

“Tapi kami tidak punya uang om. Kami ke sini mau cari kerja.”

Jago mengucapkan kalimat ini sambil tertunduk. Tegar-pun begitu.
Melihat ini, aku merasa bersalah. Tanpa sadar aku telah menjatuhkan harga diri mereka. Aku harus mengubah suasana ini.

“Ok, abang Jago bantu om iris bawang dan adek Tegar bantu om buka mie.”

Seketika wajah mereka cerah dan gerakan mereka gesit.

Ah… anak-anak hebat. Siapakah orang tua yang telah menanamkan ini pada mereka?

“Ayah kalian kerja apa? ” Tanyaku di sela-sela ‘kesibukan’ kami.

“Ayah sudah seminggu pergi cari kerja om. Tapi belum pulang.”

Tegar menjawab sambil berusaha membuka mie instan.

“Ibu kalian di mana? “

“Ibu meninggal pas melahirkan adek kami di rumah sakit. Adek kami sekarang sama ayah. Kata ayah, ibu meninggal karena kehabisan darah. Rumah sakit kehabisan darah dan ayah tidak punya uang untuk bayar darah.”

Kali ini Jago yang menjawab dengan nada datar. Tangannya cekatan mengiris bawang.

Aku mengernyitkan dahi.

“Sekarang kalian tinggal sama siapa?”

“Berdua saja om.”

Hampir saja aku menumpahkan air rebusan mie karena terkejut. Berbagai pikiran dan banyak pertanyaan muncul tiba-tiba di kepalaku. Tapi aku tidak akan menanyakan itu pada mereka.

Aku akan memasak mie yang terbaik yang kami punya. Selama proses masak-memasak ini, Jago memperhatikan setiap detilnya. Sementara Tegar membereskan meja dapur, dan bersih!

Ketika mie hampir masak, Jago menyiapkan wadah, tiga mangkok yang memang selama ini menjadi wadah sajian mie sudah ada di dekatku. Sekali lagi aku mengernyitkan dahi.

Mie sudah siap dalam mangkok, aku lalu memberi sentuhan akhir dengan hiasan seperti biasa aku sajikan untuk tamu. ‘Tamu’-ku kali ini juga istimewa dan mereka pantas mendapatkan pelayanan terbaik.

Aku ajak mereka duduk di meja favorit pelanggan kami. Ketika makan, aku menarik kesimpulan tentang mereka. Jago orangnya tenang, berusaha mandiri, penyayang, dan pelindung adiknya, sementara Tegar seorang yang periang, cekatan, inisiatif, dan juga penyayang.

Di sela-sela obrolan usai makan, tiba-tiba Jago mengingatkan aku tentang catatan belanja warung.

“Om, buatlah catatan belanja om, biar kami yang beli. Nanti om tunjukkan tempat warungnya.”

Tegar berdiri mengambil pena dan secarik kertas di meja kasir, dan menyerahkan pada kakaknya.

“Om yang bilang, biar abang yang catat. Tulisan abang bagus om.”

“Benar kah?” Aku merespon dengan masygul.

Sesaat kemudian aku mendiktekan barang-barang yang akan dibeli di warung.

“Ada lagi om?” Tanya Jago.
“Sudah semuanya?” Aku balik bertanya.

Jago membaca ulang hasil catatannya. Dan tidak ada yang tertinggal.

Lagi-lagi aku mengagumi mereka.

Segera aku bangkit dan mengambil sejumlah uang yang tertera dalam belanjaan, dan melebihi sedikit, mengantisipasi jika ada kenaikan harga, dan menyerahkannya pada Jago.

“Warung di mana om?” Tanya Jago.

“Itu…” Aku menunjuk mall yang persis di seberang cafe.

Jago dan Tegar saling berpandangan. Ada ragu dan takut dari mata mereka.

“Ayo, om temani… ” Aku bangkit dan meraih tangan mereka.

Ragu-ragu dan bingung mereka bangkit dan mengikuti. Sepanjang perjalanan menuju mall aku menggandeng tangan mereka. Melangkah dengan riang. Keduanya juga akhirnya melangkah dengan riang.

Sesampai di pintu masuk mall, kami mengikuti prosedur mengantisipasi corona yang telah menguasai dunia. Cuci tangan, penyemprotan dan mengecek suhu tubuh. Awalnya kedua anak ini bingung dan takut, tapi setelah melihat aku, malah mereka berebutan untuk yang lebih dulu.

“Ya udah, adek saja dulu.” Jago memberikan tempat untuk adiknya lebih dulu. Aku dan satpam mall tersenyum.

Ketika akan masuk ke dalam mall, keduanya memegang tanganku. Ada yang berdenyut di hatiku. Kembali kami melangkah riang. Aku menuntun mereka memasuki tempat yang menjual sembako.

“Abang ambil keranjang yang ada rodanya ya, untuk tempat belanjaan kita nanti.” Aku menunjuk pada susunan keranjang di depan pintu masuk. Dengan ragu Jago mengambil satu.

“Adek juga ya om… ” Mata bening Tegar melihatku penuh harap.
Aku mengangguk.

Setelah masuk, mereka terpana memandang yang ada di depan mereka. Tegar menarik tangan Jago untuk mulai melangkah. Aku berikan kebebasan mereka untuk menjelajah gang demi gang. Ada perasaan riang dan terharu melihat langkah mereka, dan celoteh kanak-kanak mereka. Aku merasa mataku berkaca-kaca. Ah, Aku jadi melow….

Setelah puas mereka keliling dan bahan-bahan yang ada dalam catatan lengkap, aku mengajak mereka ke kasir. Tapi aku hentikan langkahku, karena mendengar suara Jago yang mengajak adiknya melangkah.

“Ayo dek… “
“Adek cuma mau lihat sebentar bang…. “
“Ayo lah…”

Aku menoleh ke belakang dan memperhatikan keduanya. Kami bertemu pandang. Mereka tertunduk dan pelan-pelan melangkah. Aku menghampiri dan melihat apa yang menjadi perhatian Tegar. Oh Tuhan…. Tegar cuma mau melihat sosis?

“Tegar, Jago, sini…!” Aku mengangguk sambil tersenyum. Isyarat pada mereka untuk kembali.

Dengan ragu keduanya berjalan kembali ke box sosis. Aku menggeser penutup box tersebut.

“Ambil saja. Abang satu, adek satu.”

Lama mereka memandang mataku. Aku kembali mengangguk dan tersenyum.

“Iya, ambil saja!” Aku menegaskan.

Keduanya sibuk memilih. Aku perhatikan keranjang masing-masing. Yang berat-berat seperti minyak goreng, susu, gula dan lain-lain dalam keranjang Jago, dan yang ringan-ringan seperti mie instan, teh kotak, dan lain-lain dalam keranjang Tegar. Pastilah Jago yang mengatur semua itu.

Sebelum ke kasir, aku memberikan sejumlah uang seharga dua pack sosis pada Tegar. Aku ingin menanamkan rasa bahwa dia membeli sosis tersebut, bukan dikasih.

“Nanti sosisnya adek yang bayar ya…? ” Lagi-lagi mata bening itu memandangku dan aku tidak tahu maknanya.

Di kasir, tidak ada antrian. Sepertinya cuma kami pengunjung mall saat ini. Sama petugasnya saya minta untuk memisahkan nota transaksi untuk sosis. Sebelum mengangguk, dia memandangku dan pada Jago juga Tegar. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran sang kasir dan aku tidak peduli itu,

Ketika sudah dihitung, aku melihat saat anak-anak itu membayar. Ada senyum bangga di bibir, air muka dan wajah mereka.

Ah…. Dunia memang tidak adil pada mereka.

Malam ini hujan badai disertai petir dan guntur yang saling berebut untuk memperlihatkan keberadaan mereka.

Di sela-sela obrolan dengan tamu, aku teringat dengan dua orang ‘karyawan’ ku. Bagaimana kondisi mereka di suasana seperti sekarang? Sudah tidurkah, atau malah mereka tidak bisa tidur karena ketakutan? Sudah pulangkah ayah mereka? Aku gelisah.

“Ada apa bang?” Tanya salah seorang tamu.

“Ah tidak apa-apa. Cuma abang khawatir dengan ‘karyawan’ baru abang.”

“Karyawan jangan dimanja bang, nanti mereka ngelunjak!”

“Ini beda, abang yakin setelah ketemu mereka, kalian akan malu.”

Tiga orang tamuku saling berpandangan. Mereka pasti bingung, pasti mereka menebak-nebak sosok ‘karyawan-karyawan’ ku tersebut.

“Abang titip cafe sama kalian. Abang mau melihat ‘karyawan-karyawan’ abang dulu.”

“Jangan lama-lama bang.” Salah seorang menjawab.

*siap! Paling lama satu jam. Nanti kalau kalian mau pulang, pulang saja. Seperti biasa.”

Maksudnya seperti biasa adalah jangan khawatir tentang soal pembayaran. Boleh pergi begitu saja atau letakkan uang pembayaran di bawah alas gelas mereka.

Aku berlari menembus hujan, dan membuka pintu mobil. Dengan terburu-buru Aku meninggalkan parkiran dan memacu mobil dengan kecepatan melewati normal, menuju arah rumah Jago dan Tegar.

Ketika mengantar mereka pulang tadi sore, aku sempat memperhatikan kondisi rumah mereka. Sebenarnya bukan rumah, hanya pondok sawah yang sudah tidak kayak lagi ditinggali dan berada di pinggir sungai.

Atap bocor di mana-mana, tidak Ada listrik, hanya mengandalkan lampu minyak, dan dinding yang sudah banyak bolong. Pondok tersebut di bagi dua ruangan. Ruang depan dan kamar. Tidak ada dapur. Kegiatan masak-memasak dilakukan di bawah pondok menggunakan kayu bakar. Tidak ada tanaman di sawah. Menurut Jago, ayahnya tidak ada modal buat menanam padi.

Aku semakin cepat memacu mobilku di jalan yang gelap. Untungnya himbauan untuk social distancing saat ini membuat jalanan sepi.

Duar! Suara guntur. Lalu disambut oleh cahaya petir yang menyambar bumi disertai suara yang mengguncang jantung. Aku terkejut dan hampir saja lepas kendali setir yang aku pegang.

Aku berhenti sejenak. Mengatur nafas. Setelah tenang aku kembali menjalankan mobil. Semakin lama semakin cepat. Naluriku menyuruhku untuk segera sampai tujuan.

Di depan gang menuju pondok Jago dan Tegar, aku menghentikan mobil, mematikan mesin, mencari senter, lalu buru-buru keluar. Diterpa hujan yang sangat lebat, disertai oleh suara guntur dan kilat yang bersahutan, setengah berlari aku menyusuri pematang yang licin Sekali-kali aku tergelincir. Aku tidak menghawatirkan itu. Aku harus segera tahu kondisi Jago dan adiknya.

Sampai di depan pondok, masih belum menaiki tangga, aku memanggil Jago dan Tegar.

“Jago, Tegar! “
Dan aku ulangi lagi ketika sudah di depan pintu.

“Jago, Tegar!”

“Ayah…” Suara Tegar dari dalam

“Bukan, itu om bos! ” Suara Jago.

Dari lantai bilah bambu yang ada di bawah telapak kaki, aku merasakan mereka buru-buru bangkit. Beberapa detik kemudian pintu pondok dibuka. Dengan cahaya senter aku menyinari wajah mereka dan tubuh mereka. Mereka basah! Aku arahkan cahaya senter ke dalam, air merembes dari atap yang bocor sama derasnya dengan hujan di luar. Aku tertegun.

Reflek aku merangkul mereka.

“Kalian kedinginan” Gumamku.

“Iya om” Jawab Tegar merangkul leherku.

Entah apa yang menyebabkan, tanpa sadar air mataku jatuh. Untung gelap dan hujan, jadi tidak terlibat oleh kedua anak ini.

“Kita ke cafe saja ya.” Ajakku.

Aku menunggu jawaban mereka.
Setelah agak lama belum ada jawaban, aku bertanya lagi.

“Bagaimana, kita ke cafe saja ya… ” Setengah memohon.

“Tapi kami menunggu ayah kami om… ” Jawab Tegar sambil menahan isak.

Aku tertegun. Apa yang harus aku ucapkan?

“Nanti ayah akan marah kalau malam-malam kami tidak ada di sini.” Jago menjelaskan.

Aku langsung dapat ide.
“Kita tinggalkan pesan saja. Kasih tau kalau kalian di tempat kerja.”

Sengaja aku tekankan kata ‘di tempat kerja’. Menurut perkiraanku, ini akan membuat kebanggaan pada mereka. Dan itu berhasil.

“Iya om, pinjam senternya om, mau cari pena dan buku.”

Tegar melepaskan rangkulan tanganku dan membantu kakaknya mencari kertas dan pena. Setelah selesai, mereka memegang tanganku.

Tanpa berkata-kata kami menuruni tangga pondok. Langit kembali bergemuruh lalu menggelegar. Hujan deras disertai angin kencang. Aku menggendong Tegar sementara Jago yang membawa senter berjalan mendahului. Setiap ada suara guntur dan kilat, Tegar mempererat tangannya di bahuku.

Begitu sampai mobil, aku segera membuka pintunya, dan mendudukkan mereka di kursi samping supir. Mereka harus merasa aman, dan juga mengurangi rasa was-wasku.

Aku menjalankan mobil dengan kecepatan normal. Ketika hampir memasuki jembatan kualo, ada suara gemuruh dari arah hulu sungai. Aku kaget dan sontak menghentikan mobil pas di tengah-tengah jembatan. Diterangi cahaya kilat kami dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi. Air bah dengan cepat dan ganas menggulung semua yang ada di bibir sungai bahkan ‘rumah’ Jago dan Tegar.

Aku tertegun sesaat, lalu langsung tancap gas segera meninggalkan jembatan begitu menyadari apa yang terjadi.

“Bang, rumah kita bang… ” Suara Tegar antara terdengar dan tidak.

Aku melirik Jago, sekilas Aku melihat air matanya turun. Hampir saja Aku kehilangan kendali lagi ketika melewati tikungan tajam. Aku tetap menginjak pedal gas hingga tandas, bahkan ketika menuruni turunan ujung jembatan.

Air bah sudah menyentuh badan jalan, dan aku lupa akan rem. Aku harus melewati air ini. Harus! Ada suara gemuruh lagi. Kali ini suara jembatan yang ambruk dilanda air bah. Aku tidak perduli. Bagiku, Aku harus membawa dua anak ini melewati malam ini.

Duk! Sesuatu menghantam dinding bagian kiri mobil. Mobil oleng, dan sepertinya ban mobil tidak menyentuh jalan lagi. Aku panik. Air mulai merembes masuk mobil. Wajah Jago dan Tegar pucat. Kembali aku injak gas dalam-dalam. Dan, mesin mati! Oh God, aku semakin panik. Dalam hati aku berdoa, “Tuhan, jangan kau cabut dulu bunga-bunga indah ini, ya Tuhan….”

Aku rasakan mobil kami dibawa arus. Terombang-ambing lalu berputar cepat lalu diam! Jago dan Tegar saling berpelukan. Aku memejamkan mata sambil berdoa.

“Tuhan, tolong….. “

Bersambung….