Permufakatan Jahat Pemerintah Demi ‘Sang Putra Mahkota’

Oleh: Asma Nadia Harahap

Lagi dan lagi, kita disuguhkan dengan permainan politik yang jahat, tanpa moral dan etika. Ini terlihat dari manuver Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merevisi Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terkait ambang batas usia pencalonan kepala daerah, tepat sehari setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024 dikeluarkan.

Sebelumnya, pada tanggal 29 Mei 2024, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang menetapkan bahwa calon gubernur dan wakil gubernur harus berusia minimal 30 tahun saat dilantik. Namun, pada Selasa, 20 Agustus 2024, MK mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa seseorang dapat mencalonkan diri di Pilkada jika telah berusia 30 tahun saat penetapan calon. Alih-alih mematuhi putusan MK, DPR justru merevisi UU Pilkada mengikuti ambang batas usia yang ditetapkan oleh MA. Langkah ini memicu gelombang protes dari berbagai kalangan karena dianggap sebagai upaya untuk memuluskan jalan bagi “Sang Putra Mahkota”, Kaesang Pangarep, dalam Pilkada 2024.

Tidak tanpa alasan. Pertama, MK dikenal sebagai “Penjaga Konstitusi” dan “Penafsir Terakhir Konstitusi”. Menurut Pasal 24C UUD 1945, MK memiliki wewenang untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, dan putusannya bersifat final serta mengikat. Ini berarti tidak boleh ada interpretasi lain terhadap norma-norma yang termuat dalam UUD. Sementara itu, MA, berdasarkan Pasal 24A, berwenang menguji peraturan perundang-undangan terhadap UU. Memang, jika dilihat dari pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011, putusan MA dan MK diatur dalam Pasal 8. Namun, jika kita menggunakan logika hukum, keputusan DPR RI ini merupakan bentuk cacat berpikir yang tidak mempertimbangkan aspek hukum. DPR RI secara terang-terangan mengabaikan putusan MK, yang berarti secara tidak langsung melawan konstitusi sebagai hukum tertinggi di Indonesia.

Kedua, DPR RI yang memilih mengikuti putusan MA dalam revisi UU Pilkada menunjukkan cacat logika. DPR RI melupakan bahwa UU Pilkada tersebut masih bisa diuji kembali di MK karena prosedur yang digunakan adalah pengujian peraturan perundang-undangan terhadap UUD, yang masih terbuka untuk dilakukan. Secara logis, jelas DPR RI telah melakukan kesalahan berpikir yang sangat mendasar.

Ketiga, ini mencerminkan kehancuran kedaulatan rakyat dan kematian demokrasi di negara hukum. Pasal 1 UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Namun, hari ini kita menyaksikan adanya permufakatan jahat yang meruntuhkan kedaulatan rakyat, mengacak-acak konstitusi, dan mematikan demokrasi. Mana prinsip “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”? Apakah prinsip ini hanya akan menjadi angan-angan yang terkikis oleh waktu, atau hilang ditelan ambisi politik demi “Sang Putra Mahkota”? Untuk memuluskan jalan “Sang Putra Mahkota”, permufakatan jahat dilakukan oleh Koalisi Indonesia Maju Plus di DPR RI, sehingga tidak heran mayoritas fraksi mendukung keputusan ini.

Miris. Peristiwa ini menunjukkan betapa buruknya ambisi kekuasaan untuk melanggengkan dinasti politik. Tidak ada sikap lain yang harus kita ambil selain melawan. Rezim saat ini tidak berbeda dengan rezim Soeharto. Korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin menjadi-jadi. Dinasti kekuasaan semakin memuncak. Sudah seharusnya, hari ini kita perlu melakukan gebrakan yang masif. Jika rezim saat ini tak ada bedanya dengan rezim Orde Baru, maka reformasi jilid II adalah sebuah keniscayaan.

Penulis Adalah: , Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB)

Posting Terkait

Jangan Lewatkan