Bengkulu, word pers Indonesia – Dugaan perambahan kawasan hutan oleh perusahaan perkebunan sawit PT Sandabi Indah Lestari (PT SIL) kembali mencuat. Ironisnya, perusahaan yang disebut-sebut telah membuka ribuan hektare kawasan hutan di Kabupaten Bengkulu Utara ini tidak masuk dalam daftar rekomendasi penertiban Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).
Fakta tersebut menimbulkan tanda tanya besar dan kecurigaan publik terhadap transparansi penegakan hukum di sektor kehutanan, khususnya di Provinsi Bengkulu.
Ketua Umum Gerakan Rakyat Bela Tanah Adat (Garbeta), Dedi Mulyadi, menegaskan bahwa pihaknya telah lama memperjuangkan kasus dugaan pelanggaran hukum oleh PT SIL yang beroperasi di Register 71, Desa Lubuk Banyau, Kecamatan Padang Jaya, Bengkulu Utara, dengan luasan mencapai 750 hektare.
“Kami sudah berulang kali mengajukan laporan, mulai dari tingkat daerah hingga kementerian. Bahkan kami sudah audiensi langsung dengan Dirjen Gakkum KLHK pada 14 Agustus 2024, dan terakhir di Sekretariat Kementerian Kehutanan pada 24 Januari 2025. Dalam pertemuan itu dijelaskan tegas bahwa Kementerian tidak pernah memberikan izin kepada PT Sandabi Indah Lestari untuk membuka kawasan hutan HPK di Register 71,” ujar Dedi Mulyadi kepada wartawan, Selasa (7/10/2025).
Hukum Tumpul ke Korporasi Besar?
Berdasarkan Surat Keputusan KLHK RI Nomor SK.1217/MENLHK/STJEN/KUM.I/12/2021, PT Sandabi disebut telah melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan tanpa izin resmi di bidang kehutanan. Namun, hingga kini belum ada tindakan hukum tegas terhadap perusahaan tersebut.
“Apa yang dilakukan PT SIL jelas pelanggaran Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Tapi kenapa aparat hukum tidak bertindak? Puluhan tahun mereka membuka kawasan hutan tanpa sanksi. Ada apa dengan PT Sandabi Indah Lestari? Siapa yang membeking?” tegas Dedi dengan nada tajam.
Garbeta bahkan kembali mendatangi Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu pada Senin (15/9/2025) untuk mempertanyakan kelanjutan laporan mereka. Namun, bukannya kejelasan, yang didapat justru kebingungan.
“Kami sudah melapor sejak Juni 2025. Tapi sampai sekarang belum ada progres. Malah pihak Kejati menyarankan agar laporan kami dilimpahkan ke Polda Bengkulu, dengan alasan PT Sandabi tidak termasuk dalam daftar 23 perusahaan yang menjadi prioritas Satgas PKH,” ungkap Abdul Kadir, Divisi Humas Garbeta.
Diduga Ada Intervensi dan Manipulasi Data
Garbeta menduga kuat ada upaya sistematis untuk melindungi perusahaan tertentu agar tidak tersentuh penertiban. Salah satu indikasinya adalah verifikasi data antara pemerintah pusat dan daerah yang tidak sinkron, serta status izin administratif perusahaan yang sengaja dibuat kabur.
“Kami menduga ada intervensi politik dan lobi kuat di balik tidak masuknya PT Sandabi dalam daftar Satgas PKH. Padahal, bukti perambahan hutan sudah sangat jelas,” tegas Sandra Putra Irawan, Wakil Ketua I Garbeta.
Beberapa pengamat lingkungan menilai Satgas PKH hanya menindak perusahaan yang pelanggarannya telah “terverifikasi penuh”, sedangkan laporan yang masih dianggap perlu pendalaman cenderung dibiarkan mengendap.
Namun bagi Garbeta, alasan itu tidak masuk akal. Mereka menilai indikasi pelanggaran PT Sandabi sudah terang benderang, baik dari hasil penelusuran lapangan maupun peta kawasan hutan yang telah diterbitkan KLHK.
“Kami akan terus kawal kasus ini sampai ke pusat. Hukum tidak boleh tumpul ke korporasi besar tapi tajam ke rakyat kecil,” pungkas Dedi Mulyadi.
Reporter: Alfridho AdE Permana