Bengkulu, Word Pers Indonesia – Penegakan hukum terkait perambahan kawasan hutan di Provinsi Bengkulu kembali menjadi sorotan publik. Aktivis lingkungan menilai aparat penegak hukum terkesan tebang pilih, karena masyarakat kecil sering dijerat hukum, sementara perusahaan besar justru bebas menggarap kawasan hutan negara tanpa sanksi.
Kondisi ini disorot keras oleh Dedi Mulyadi, aktivis sekaligus Ketua Gerakan Rakyat Bela Tanah Adat (GARBETA). Ia menuding aparat penegak hukum tidak adil dan tutup mata terhadap pelanggaran yang dilakukan perusahaan besar di sektor perkebunan sawit.
“Masyarakat Dihukum, Perusahaan Dibiarkan”
Dalam wawancaranya dengan wartawan, Dedi menyoroti kasus di register 71, Desa Lubuk Bayau, Kecamatan Padang Jaya, Kabupaten Bengkulu Utara, yang menurutnya telah dikuasai oleh PT Sandabi Indah Lestari (PT SIL) selama bertahun-tahun tanpa izin sah.
“Saya sangat kecewa dengan aparat penegak hukum. Puluhan tahun kawasan hutan negara dikelola menjadi perkebunan sawit oleh PT Sandabi Indah Lestari tanpa izin, tapi tidak ada tindakan tegas sama sekali,” tegas Dedi Mulyadi, Selasa (8/10/2025).
Menurutnya, kawasan yang dulu berstatus Hutan Produksi Terbatas (HPT) berubah menjadi Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) sekitar tahun 2013. Namun sejak itu, lahan tersebut dikuasai dan digarap oleh perusahaan sawit besar, berbatasan langsung dengan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT SIL.
Laporan dan Aksi Tak Diindahkan
GARBETA, kata Dedi, telah menempuh berbagai langkah hukum dan administratif sejak 2024, termasuk melapor ke berbagai instansi:
- Surat resmi ke Gubernur Bengkulu dan aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur pada Mei 2024.
- Rapat koordinasi di Pemkab Bengkulu Utara bersama Polres, Kejari, dan dinas terkait pada Juni 2024.
- Aksi di Kantor BPN Bengkulu Utara dan pengaduan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Agustus 2024.
- Audiensi di Ditjen Gakkum KLHK pada 14 Agustus 2024.
- Pertemuan lanjutan di Kementerian Kehutanan pada 24 Januari 2025.
Namun, semua langkah tersebut tak kunjung menghasilkan tindakan konkret dari aparat penegak hukum.
“Apa yang dilakukan PT Sandabi Indah Lestari ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Tapi sampai hari ini tidak ada kepastian hukum. Aparat seolah pura-pura tidak tahu,” ujar Dedi dengan nada kecewa.
Bertentangan dengan Nawacita Presiden Prabowo
Dedi juga menyinggung bahwa kelalaian aparat ini bertentangan dengan semangat “Nawacita” Presiden Prabowo Subianto, yang menekankan penegakan hukum tegas terhadap perusak lingkungan dan pelaku perambahan kawasan hutan.
Ia bahkan mengingatkan adanya Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang seharusnya menjadi landasan bagi penegakan hukum atas aktivitas ilegal di kawasan hutan.
“Kalau presiden sudah tegas keluarkan Perpres 5 Tahun 2025, tapi aparat di daerah malah diam, berarti ada yang salah. Jangan hukum cuma tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas,” ucapnya dengan nada meninggi.
Laporkan ke Kejati Bengkulu: “Jangan Jadikan Seperti Bola di Lapangan Hijau”
Dedi menegaskan pihaknya telah melaporkan dugaan pelanggaran hukum PT Sandabi Indah Lestari ke Kejaksaan Tinggi Bengkulu pada Juni 2025.
Namun hingga kini, laporan tersebut belum menunjukkan progres nyata.
“Kami minta Kejati Bengkulu serius tangani laporan kami. Jangan jadikan seperti bola di tengah lapangan hijau yang ditendang ke sana kemari. Ini ujian bagi supremasi hukum di mata rakyat,” kata Dedi dengan tegas.
Ia juga menyayangkan bahwa dari 23 perusahaan yang masuk dalam daftar Satgas Penertiban Kawasan Hutan, justru PT Sandabi Indah Lestari tidak termasuk di dalamnya.
“Ini jelas janggal. Indikasi ada permainan antara oknum petugas kehutanan dengan aparat penegak hukum yang diduga membekingi,” tuding Dedi menutup wawancara.
Reporter: Alfridho Ade Permana
Editor: Agus.A