Catatan Perjalanan Hari ke-2 Kecurangan Kades Pada Program Ekowisata Desa Imbo Telapea Kepahiang

Wisatawan dan guide Ekowisata desa Imbo Telapea. Lokasi produksi Gula Aren. Foto oleh Syamsir Usek

Oleh Bagus SLE

Pagi pertama di desa Imbo Telapea (Batu Ampar) yang masuk dalam kecamatan Merigi, kabupaten Kepahiang, disuguhi sarapan berbahan baku hasil alam desa berhawa sejuk ini. Senok (kolak) pisang dan kolangkaling dengan pemanis gula aren, kue bolu gula aren, dan segelas kopi panas yang aromanya saja sudah membuat semangat meningkat.

Jam 8.00 wib, Wisata Nira

Dari home stay masing-masing, rombongan langsung di pandu oleh ‘guide’ ke kebun milik warga. Selain kopi sebagai tanaman utama, ada juga beberapa batang pohon aren.

Aren, atau ‘Enau’ bahasa lokal (suku Rejang) masuk dalam keluarga palem-paleman. Seperti juga kelapa dan lontar, pohon enau bisa disadap untuk diambil cairan dari tangkai mayangnya. Cairan tersebutlah yang kita kenal sebagai ‘nira’.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 10 menit, wisatawan sudah sampai di kebun milik petani tujuan. Langsung disambut dengan ramah. Dengan senyum lebar dan tulus khas penduduk desa, beliau memperkenalkan diri. Beliaulah yang akan menjadi instruktur peserta pagi ini.

Selanjutnya, peserta diajak untuk melihat tahap demi tahap proses pengambilan air nira. Mulai dari memanjat tangga, mengambil wadah yang sudah berisi hasil yang sudah dipasang sore kemaren, mengiris ujung mayang dan mengganti wadah, dan cara memasang wadah pada tangkai mayang. Wadah yang baru dipasang ini akan diambil kembali sore nanti.

Setelah menyampaikan materi tersebut, wisatawan diminta untuk mencoba tahap demi tahap cara yang telah disampaikan, pada pohon aren berikutnya.

Kegiatan ini disambut dengan antusias oleh ‘mahasiswa’ atau peserta ‘pelatihan’ kilat pagi ini.

Air nira yang baru saja dipanen ini segera dibawa ke dapur produksi, untuk segera diproses.

Tidak semua nira dituang ke dalam belanga besar tempat memasak air nira hingga jadi gula. Sebagian dimasukkan ke dalam gelas lalu dibagikan ke peserta untuk diminum.

Manis, segar, dan wangi. Itulah yang dapat dikecap oleh lidah. Efek dalam tubuh adalah menyegarkan dan mengembalikan stamina.

Di dapur kecil sederhana beratap bambu, sebagian wisatawan dengan penuh perhatian memperhatikan setiap kalimat ‘guru’ ketika menjelaskan proses-proses yang dilakukan dalam memasak air nira hingga menjadi gula aren yang siap konsumsi.

Kayu bakar, suhu api, cara mengaduk, ritme adukan, tingkat kekentalan yang pas untuk naik cetakan, memasukkan dalam cetakan, alas cetakan, pengeringan, mengeluarkan dari cetakan, hingga pada penyusunan sebelum dimasukkan dalam kemasan plastik, sebelum dikirim ke toko desa, adalah mateti utama dalam wisata pagi ini.

Bagi yang belum mendapat kesempatan mendapatkan materi pelajaran, diajak untuk mencari kayu bakar yang digunakan dalam memasak air nira di seputaran kebun. Tidak susah, karena sangat banyak dahan-dahan pohon yang jatuh, ataupun batang kopi yang sudah kering.

Mendapatkan kesempatan ini, peserta wisata bagai anak paud diajak bermain. Sangat antusias!

Menarik lagi adalah mempelajari cara-cara awal proses menyadap aren, ketika mayang nira yang akan dipotong masih utuh. Dalam kondisi seperti ini, tangkai utama mayang harus dipukul-pukul dulu dari pangkal yang melekat di pohon, hingga ujung tangkai utama.

Pemukulan inipun berirama, dari yang kuat, sedang hingga pelan. Dilanjutkan dengan mengayun berulang-ulang. Proses ini bertujuan agar air nira lancar keluarnya.

Sebelum dipotong dalam jangka waktu 1 hingga 2 minggu kemudian, mayang ini harus merasakan pemukulan dan pengayunan paling tidak 2 kali lagi dengan jarak waktu 3 hari ke depan.

Sangat lama waktu panen dalam 1 tangkai mayang. Antara waktu 4 sampai 8 bulan. Dalam setiap sadapan, menghasilkan minimal 5 liter nira.

Jumlah nira 20 liter akan menghasilkan paling tidak 3,5 kg gula aren. Harga jual tingkat petani saat ini adalah Rp 17.000/kg. Hasil ini adalah hasil untuk 1 kali panen nira dari hanya 5 batang pohon nira. Dalam 1 hari panen hasil menyadap nira 2 kali, pagi dan sore.

Bertanam Enau adalah aset yang sangat menguntungkan. Tanpa perawatan yang rumit, berumur panjang dan ketika panen, menghasilkan uang setiap hari. Harga gula aren cenderung selalu naik.

Memang, Enau membutuhkan waktu mencapai 8 tahun sebelum bisa disadap.

12.00 wib – 15.00. wib. Makan Siang, Sholat dan Istirahat.

Pulang dari wisata sambil belajar menyadap nira hingga menjadi gula aren, pengunjung kembali menempuh perjalanan pulang ke home stay yang sudah disediakan.

Di rumah, setiap kelompok disuguhi menu yang berbeda-beda. Tergantung sayur dan lauk tuan rumah saat itu.

Untuk hari ini, ada kecurangan yang dilakukan oleh kepala desa. Semua wisatawan, seolah-olah tidak sengaja, diarahkan ke rumah beliau. Otomatis, tanpa kuasa menolak, tamu-tamu istimewa desa Imbo Telapea ini menikmati sajian luar biasa hasil olahan istri beliau.

Rebung manis santan, labu siam dan terong bulat rebus, sambal lecet, adalah menu yang membuat semua orang makan dengan sangat lahap.

Selain menu-menu ini sangat istimewa bagi wisatawan, rasanya yang enak, udara yang sejuk, ditambah lagi gurauan-gurauan di sela-sela suapan, membuat suasana makan siang ini semakin nikmat dan berkesan.

Ibaratnya, kalau di rumah makan Padang tamu bisa minta “Tambuah view, da… ” tapi si Uda akan mendapatkan “Tambuah duo, da… “

15.00wib – 17.00 wib.
Wisata keliling Desa Imbo Telapea

Wisatawan yang menginap di pondok kebun, lokasi latihan silat Oleh Syamsir ‘Usek’

Sangat menarik ketika sepanjang perjalanan menjelajah desa menikmati senyum dan sapa ramah penduduk yang kebetulan kami temui, baik di jalan ataupun yang sedang duduk di beranda.

Sehingga penjelasan guide yang menyertai pelancong tentang situasi desa semakin menyenangkan.

Bunga-bunga khas desa yang tumbuh subur dan mekar di setiap halaman rumah, menyegarkan pandangan dan jiwa-jiwa letih milik warga kota yang sedang menuju tempat produksi rebung dan kolangkaling.

Berada di ujung desa. Beberapa karyawan produsen penyedia rebung bagi masyarakat perkotaan sedang mengemas pesanan beberapa rumah makan di berbagai lokasi strategis dalam wilayah kota Bengkulu.

Di pabrik usaha mikro milik penduduk lokal yang memanfaatkan hasil kekayaan alam desanya, kami tahu cara membuat lema (makanan khas suku Rejang). Mulai jenis rebung yang digunakan, mencacah, bahan tambahan, terakhir proses permentasi yang menjadikan bahan sambal, tumis, ataupun gulai ini menjadi istimewa dan berkelas, jika saja mendapat sentuhan seorang chef professional.

Di sudut halaman pabrik rumahan ada asap mengepul dari tungku besar. Di atas tungku bertengger kuali besar yang ditutupi plastik. Dalam wadah ini sedang direbus 20 kg bush aren, untuk menghasilkan kolangkaling yang empuk, lembut dan ada dalam banyak jenis makanan dan minuman.

Sebelum diambil biji putihnya, buah enau atau aren dimasak hingga 2 jam. Didinginkan, dibelah, lalu dicungkil menggunakan lidi yang tajam pada salah satu ujungnya.

Bahan penganan yang semakin populer di bulan ramadhan ini harus direndam terlebih dahulu untuk memudahkan melepas mata tunas pada biji, agar aman dari rasa gatal ketika dikonsumsi.

Tour wisata dilanjutkan ke habitat rafflesia yang pernah tumbuh. Kali ini, para wisatawan yang kebetulan ada dari Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) mengedukasi masyarakat. Menjelaskan bentuk batang dan daun inang tempat rafflesia tumbuh, sebagai usaha melestarikan keberadaan flora langka dan maskot bagi provinsi Bengkulu.

20.00 wib – 22.00 wib, Wisata Budaya, Pencak Silat.

Usai makan malam, rombongan melakukan perjalanan menuju pelabar (lapangan tempat latihan silat khas Rejang dan Serawai) tidak lebih dari 15 menit jalan kaki.

Lapangan berukuran 10 X 10 meter tempat adu gesit dalam membela diri dari serangan musuh, juga berfungsi sebagai halaman dan tempat menjemur kopi ini, berada di pelataran sebuah pondok kebun, yang bisa dijadikan sebagai tempat menginap bagi pengunjung.

Beberapa murid perguruan silat milik desa yang lebih populer dengan nama Batu Ampar sudah berkumpul dan menyambut dengan menyalami calon penonton atraksi mereka malam ini.

Semakin lama, penonton semakin banyak. Pendekar silat khusus pertahanan dan menaklukkan penyerang sekaligus, mulai melakukan atraksi. Beberapa kali penonton sempat menahan nafas dan terpana oleh gerakan silat kampung yang ada di depan mereka.

Di hadapan mereka, di dalam pelabar, beberapa kali lawan yang menyerang justru tidak berkutik didalam kuncian calon korbannya. Pangkal lengan, leher dan pangkal paha, dalam satu gerakan, terancam patah dan tidak bisa digerakkan. Tidak ada pilihan lain untuk melepaskan diri, selain menyerah.

Atraksi budaya ini merupakan usaha dalam melestarikan warisan yang sangat berharga dari nenek moyang mereka. Sangat layak diberikan tabik dalam mengapresiasi usaha desa agar seni budaya tidak musnah begitu saja dilindas oleh tekhnologi yang memanjakan setiap insan.

Lelah menahan emosi, diistirahatkan dengan kembali ke ‘rumah’ masing-masing. Supaya esok pagi, tubuh siap melanjutkan hal-hal seru lainnya, yang sudah menunggu.

Bersambung………………………………..

Baca Juga Terkait lainnya

Wisatawan Perdana Ekowisata Desa Imbo Telapea, Kepahiang

Dari Proses ‘Sajen’ Hingga Pertarungan Di Pelabar Silat, Catatan Perjalanan SLE

Peran Cawan Sirih Puyang dalam Menyelamatkan Hutan

Posting Terkait

Jangan Lewatkan