Dimana Kaum “Rebahan” Ditengah Isu Kerakyatan?

Penulis Elfahmi Lubis

Oleh : Elfahmi Lubis

Dimana posisi kaum “rebahan” atau kaum “mager” yang didominasi kelompok muda seperti mahasiswa ditengah isu-isu kebangsaan. Terutama berkaitan dengan isu non populis seperti kenaikan harga BBM, melonjaknya harga Sembako, korupsi, serta berbagai kebijakan pemerintah yang berdampak langsung kepada masyarakat. Pertanyaan krusial ini muncul ditengah menurunnya sikap kritis dan progresivitas mahasiswa sebagai kekuatan moral dan kelompok penekan (pressure group).

Ketika harapan rakyat pada otoritas resmi negara seperti DPR/DPRD yang berdasarkan mandat konstitusi sebagai wakil rakyat mandul, maka sebenarnya harapan besar itu digantungkan kepada kaum muda seperti mahasiswa. Soalnya, mahasiswa dianggap kelompok dari sebuah ekosistem yang masih sangat murni, non kepentingan, obyektif, dan imparsial. Kekuatan inilah yang menggerakkan idealisme mahasiswa untuk bisa secara jernih dan sensitif, untuk berada di garda terdepan memperjuangkan apa yang menjadi kegelisahan rakyat di akar rumput (grass root).

Menariknya, pasca reformasi terjadi perubahan paradigma pergerakan mahasiswa, baik struktural maupun kultural. Perbedaan persepsi, karakteristik, kebiasaan, nilai, pola pikir, dan budaya semakin meneguhkan bahwa kaum “rebahan” menjadi sangat elitis dan menjauh dari cyrcle (lingkaran) gerakan mahasiswa yang progresif dan revolusioner.

Keberadaan kelompok mahasiswa yang kritis dan progresif (sering disebut aktivis) mulai tergerus, dan populasi kelompok mahasiswa “rebahan” atau “mager” semakin dominan dan menguat. Santai, narsis, instan, mengerjakan sesuatu tanpa keringat, dan ingin terdidik tetapi tidak juga lulus kuliah, merupakan streotife yang digambarkan pada kaum ini. Kondisi ini jelas berdampak pada tumpulnya daya kritis dan dalam stadium lanjut akan menjadikan kampus tidak lebih sekedar “penjaga malam” yang hanya sibuk melindungi kepentingan diri sendiri dari pihak lain dan tidak mau peduli serta semakin menjauh dari denyut rintihan rakyat.

Memang kaum “rebahan” dan “mager” tidak lahir dalam gejolak ekonomi, politik, dan sosial. Tetapi kondisi ini bukan sebagain alasan pembenar untuk menjadi kaum yang close minded dan tidak kritis. Menurut Manheim, kelompok generasi merupakan sebuah konstruksi sosial, yang di dalamnya terdapat sekelompok orang dengan kesamaan umur dan pengalaman historis. Mereka ini sekelompok individu yang dipengaruhi oleh kejadian-kejadian bersejarah dan fenomena budaya pada fase kehidupan mereka. Kaum “rebahan” dapat dikatakan sebagai subkultur berdasarkan usia. Sebagai sebuah subkultur tentu generasi ini memiliki identitas kolektif yang berbeda dari budaya dominan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan dalam surveinya bahwa penduduk Indonesia didominasi oleh generasi Z dan generasi milenial. Generasi Z adalah penduduk yang lahir pada kurun tahun 1997-2012 dan generasi milenial lahir pada kurun tahun 1981-1996. Survei yang digelar oleh BPS sepanjang Februari-September 2020 didapati jumlah generasi Z mencapai 75,49 juta jiwa (27,94%). Mereka tumbuh di tengah kemajuan teknologi maka tak bisa dijauhkan dengan teknologi khususnya gadget.

Istilah “kaum rebahan” mulai muncul sejak aksi demo para mahasiswa pada September 2019 lalu dan menjadi bahan perbincangan hingga saat ini. Istilah tersebut merujuk pada orang-orang yang lebih memilih untuk bersantai dan berbaring di kasur daripada mengisi waktunya dengan hal yang positif dan produktif. Saya sendiri kurang setuju dengan stereotipe ini karena perbedaannya lebih pada persoalan orientasi dan nilai yang dianut, bukan pada konteks kehilangan nilai idealisme pada isu-isu populis. **