Lima Tradisi Hilang dari Muhammadiyah

Opini oleh Nurbani Yusuf 

mengulas pembangunan persyarikatan membentuk tradisi baru tapi meniadakan tradisi lama.

Saya pernah ditanya dari mana antum belajar Muhammadiyah? Dari buku, atau  guru al Islam ke-Muhamadiyahan dua semeter pada jam terakhir ataukah pada guru-guru bersanad?

Atau sekadar kebetulan ada kecocokan satu dua amalan lantas masuk karena sama-sama nggak suka tahlilan atau gak baca ushali waktu shalat.

Tradisi Muhammadiyah memang sedang dibangun dan berproses dinamis. Pembangunan, menurut Prof Malik Fadjar, selalu bermakna ganda. Pertama, mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Kedua, meniadakan sesuatu yang seharusnya ada menjadi tiada.

Artinya, segala sesuatu sedang menuju bentuk pun dengan Muhammadiyah yang kita gagas adalah ikhtiar menuju sempurna bukan titik akhir. Jadi semua sedang berproses entah hingga kapan.

Muhammadiyah punya era dan setiap era pasti berbeda. Salah satu tugas kita semua adalah menjaga kontinuitas atau kesinambungan, menjaga spirit tetap terjaga, meski dalam ragam dan bentuk. Menjaga kesinambungan itu diwariskan berupa tradisi.

Inilah 5 Tradisi Itu

Lantas apa yang ’hilang’ dari Muhammadiyah? Setidaknya ini lima tradisi hilang dari Muhammadiyah sebagai implikasi pembangunan dan dinamisasi.

Pertama, tarekat. Mungkin ini musuh besar yang dianggap sebagai  sumber bid’ah, tahayul dan khurafat. Tarekat adalah sasaran amuk gerakan purifikasi. Jargon kembali kepada al-Quran dan as-Sunah sesungguhnya adalah sebentuk perlawanan secara substantif terhadap tarekat dan segala varian yang menyertai. Suluk dan wirid adalah sesuatu yang tabu.

Filsafat, adalah sasaran kedua. Ilmu kalam yang banyak bersandar pada filsafat Yunani dianggap sumber petaka setelah tarekat. Para filosof dianggap sebagai pintu gerbang masuknya berbagai pikiran liberal, zindiq dan mengotori iman.

Pikiran filsafat ditolak dengan keras dan agaknya sebagian malah ada yang pasang pagar betis agar barisan failasuf tidak leluasa masuk.

Ketiga, pergeseran tradisi pesantren. Keulamaan Muhammadiyah tidak lahir dari pesantren tapi dari Universitas. Arus utama pemikiran pun berubah bahkan pola pikir, tradisi, perilaku dan keadaban tak ada sangkut paut dengan tradisi pesantren yang dianggap jumud kolot atau tradisional.

Sebaliknya demokratisasi dan egalitarian menjadi sesuatu yang sangat dominan di Muhammadiyah dalam tradisi mencari ilmu. Tak ada tradisi nyantri dan berguru. Sebab semua dianggap setara tidak ada kelas sosial dan sebab strata keagamaan berbasis ilmu.

Keempat, musik. Bagi sebagian besar warga Persyarikatan musik adalah haram karena dianggap melalaikan sehingga setiap acara seremoni atau pengajian kering tanpa kehadiran musik.

Kelima, politik. Sering dijadikan biang konflik dan sumber perpecahan sehingga ditabukan bahkan setiap anggota dan pimpinan dilarang berpolitik. Jika melanggar menerima risiko diwakafkan.  Bahasa halus untuk dipecat. Stigma bahwa politik itu kotor sangat kental terasa.

Ke depan, pimpinan Muhammadiyah belum terlihat akan ada perubahan pemikiran untuk merehabilitasi tasawuf, filsafat dan tradisi nyantri. Bahkan cenderung dirawat atau didiamkan (tawaqquf) mungkin untuk menghindari konflik paradigma yang lebih luas. Meski dalam beberapa kasus tetap ada benang merah bahwa di antara para ulama Muhammadiyah ada di antara ketiganya itu meski tidak secara par excelent hadir ditampakkan. Wallahu taala a’lam. (*)