Part #9 Tuhan Jangan Kau Cabut Dulu Bunga Bunga Indah Ini

Oleh: Bagus, Republik-SLE

Kaki Di Pangkuan

Lawan paham maksud gerakan ini, lalu melompat ke belakang. Penyelamatan diri lawan sudah diperhitungkan oleh Ryu dan dia melompat melewati kepala penyerang. Sepersekian detik berikutnya dua pukulan Ryu mengenai punggung si pemilik pedang. Satu kepalan dan satunya lagi telapak tangan yang terbuka.

Belum lagi Ryu sempat menarik nafas kembali, beberapa pisau terbang menyerangnya dari depan. Ryu melakukan beberapa kali salto sebelum akhirnya menyelinap di balik salah satu pohon.

Dia berfikir untuk mengeluarkan semua penyerangnya ke tempat terbuka. Sambil melakukan beberapa serangan, pemilik dada yang tergores oleh pedang ini berlari ke arah tanah yang hanya ditumbuhi oleh ilalang yang dia lewati tadi.

Para penyerang mengejarnya dan melingkari Ryu. Sesuai dugaannya, penyerang berjumlah enam orang. Dua orang berpedang, dua orang bersenjata pisau terbang, dan dua orang lagi bertangan kosong.

Ryu membaca kekuatan lawan. Menurutnya yang paling bahaya adalah yang bersenjata pisau terbang. Dia memilih melumpuhkan dua orang ini dulu.

Selagi dia berfikir memilih target, sepasang pedang menyerang bagai gunting. Ryu meloncat-loncat menghindar sambil berusaha mencari peluang menyerang pemilik pisau terbang.

Lawan membaca gerakan Ryu, dan dua pisau terbang menyusul guntingan dua pedang, lalu diikuti dua penyerang tangan kosong. Ryu gelagapan. Dia tidak menduga serangan-serangan ini saling mengisi dan saling melindungi.

Ryu hanya bisa mengelak dan menangkis tanpa ada ruang membalas. Semakin lama serangan enam orang ini semakin ganas. Betisnya terluka kena serempetan salah satu pisau terbang. Ketika dia terjatuh dalam posisi telungkup sempurna, Ryu melihat bahwa kelemahan mereka adalah mata kaki ke bawah. Ketika dia dapat kesempatan, dua totokan pada telapak kaki penyerang dia sarangkan, dan satu kibasan kaki kanannya telak menghentikan gerakan pemilik pedang.

Ryu merasakan dingin pada tengkuknya dan segera tahu bahwa pedang salah seorang lawan menghantan tengkuknya. Untung saja di saat bersamaan dia bisa melakukan tendangan bagai penari balet. Pedang terpental ke udara dan Ryu melompat meraih pedang tersebut.

Belum sempat tangannya meraih pedang yang masih di udara, dua tendangan mengarah ke tubuh Ryu. Satu ke arah tenggorokan dan satu lagi jantungnya. Ryu memilih melindungi tenggorokan dan menangkis tendangan ke jantungnya.

Rupanya serangan ini adalah pengalihan. Serangan sebenarnya adalah pisau terbang dari sisi kiri dan tebasan pedang sejajar pinggangnya. Ryu menangkap kaki yang menyerang lehernya dan berbalik menggunakan si pemilik kaki yang di tangannya sebagai tameng.

“Stop! “

Sebuah komando menghentikan serangan-serangan itu. Semua penyerang berhenti lalu menghilang di antara ilalang.

Ryu kebingungan. Apa sebenarnya terjadi? Siapa para penyerangnya dan apa maksud mereka? Lalu apakah si pemberi komando adalah pemimpin mereka?

Ryu kembali ke tempat di mana awal dia di serang. Mengambil motor, menghidupkan kembali, dan motor itu memusnahkan kesunyian gelap hutan.

Di sebuah bukit yang lapang, Ryu menghentikan motornya. Dengan beberapa lompatan dia berdiri di samping seseorang yang sudah lama menunggu dirinya.

“Kamu terlambat bro.”

Agus, laki-laki gempal dan lebih pendek dari Ryu itu langsung berkomentar.

“Aku dicegat oleh enam orang bro. Mereka sepertinya satu tim yang solid dan terlatih.”

Agus hanya memperlihatkan muka datar dan tanpa ekspresi.

Hampir saja di antara kami ada yang jadi korban, kalau saja tidak ada yang menghentikan. Ryu tidak ingin mengatakan kalau pihak lawan yang akan jadi korban. Takut Agus akan berfikir yang bukan-bukan.

Tapi sebenarnya Ryu mau memancing informasi tentang pasukan penyerangnya.

Agus tahu itu. Lalu dia menjawab.

“Mereka adalah tim baru. Dan kamu bro, semestinya bisa mengatasi mereka lebih cepat dari yang tadi.”

Ryu bingung. Dia kesulitan menemukan kelemahan ‘tim baru’ ini.

“Oh, iya, kecepatan dan instingmu mulai meningkat lagi.” Lanjut Agus. Rekan berlatih sekaligus pelatih olah raga bela diri, sejak mereka masih kelas 1 sekolah menengah.

“Ayo kita pulang. Aku tidak bisa lagi menyelamatkanmu dari persidangan Jago. Tapi sebelum itu kamu bersihkan dulu tubuh Dan pakaianmu, supaya dia tidak curiga.”

Jago sedang menerima pembayaran tamu terakhir ketika dia melihat motor ayahnya masuk parkiran. Hampir saja dia pasang muka ‘perang’. Tapi ketika dia lihat ayahnya berpakaian rapi, malah dia tersenyum lucu.

‘Ayah habis kencan rupanya… ” Dia menertawai kekhawatirannya yang berlebihan malam ini.

Pagi ini Ryu duduk di tempat favoritenya kalau pagi. Sambil memainkan rokok di tangannya, dia mengecek satu per satu pesan di wa, sambil menunggu kopi.

Tidak lama kemudian, kopi pun datang. Jago meletakkan kopi di depan sang ayah. Kemudian duduk di depan laki-laki yang beberapa hari ini tidak sempat mencukur jenggot ataupun kumis. Jago meneliti wajah itu.

Ryu sedikit ciut. Pastilah si sulung ini akan mengadilinya, setelah kemaren sempat tertunda. Perlahan tangannya meraih gelas dan menyeruput kopi panas di dalamnya. Lalu mencari-cari korek gas untuk menghidupkan rokok di tangannya.

“Ayah…. ” Jago yang memperhatikan setiap gerakannya orang tuanya, menegur sang ayahnya, karena dia melihat gerakan-gerakan si ayah berlebihan.

“Hmmm…?” Sekedar menenangkan diri dari kata pembuka anaknya.

“Masalah wajah ayah, Dan kebiasaan baru ayah… ” Jago langsung pada persoalan.

Ryu mendadak panas dingin. Dia berusaha tenang dengan menyeruput kopi dan menghisap rokoknya.

“Adek kapan pulang…?” Entah dari mana datangnya ide ini, yang pasti, dia tahu pertanyaan ini tidak akan mengubah keadaan. Mungkin sekedar mengulur waktu.

“Ayah jangan mengalihkan persoalan…!” Jawab jago tegas.

Lama keduanya terdiam. Lalu Ryu bangkit dan berdiri di belakang Jago. Kedua tangannya memegang pundak bidang anaknya. Memijat-mijat sambil berusaha mencari kalimat yang pas.

“Bang, saat ini ayah tidak bisa menjawab. Tapi ayah janji, bila saatnya nanti tiba, ayah akan menceritakan semuanya pada abang.”

Lalu dia meremas sedikit lebih kuat bahu si anak. Kode untuk jangan melanjutkan lagi obrolan yang menyiksa ini.

Walau tersirat ketidakpuasan di wajahnya, tapi sekarang kepalanya lebih segar dan ringan. Pijatan ayahnya tadi sedikit membuat dia nyaman.

“Abang cabut uban ayah ya… ” Sejenak kemudian.

Sang ayah tersenyum senang. Anaknya sudah tidak lagi mempermasalahkan tentang lebam-lebam di tubuhnya.

“Tidak boleh, Nanti adek marah, uban ayah adalah hak preoregatif adek… Hehe… ” Jawab sang ayah sambil tertawa riang.

Jago tersenyum kecut dan menggaruk kepalanya. Hmmm… Dia melihat kuku ayahnya sudah panjang. Dia bangkit mencari pemotong kuku. Tidak lama kemudian dia kembali dengan benda tersebut di tangan, dan segera memotong kuku ayahnya. Sang ayah menikmati perhatian calon penggantinya mengurus usaha mereka nanti. Jika saatnya sudah tiba.

“Ayah, kenapa ayah dan tante Claire putus?”

Pertanyaan Jago di sela-sela kegiatannya memotong kuku sempat membuat ayahnya mengernyitkan dahi.

“Kami tidak putus bang, cuma memberi jeda waktu saja, dua hingga tiga tahun ke depan.”

Jawab ayah sambil memperhatikan wajah Jago yang serius saat memotong kukunya. Jago lalu memperhatikan wajah ayahnya. Dia tidak mengerti maksud kalimat ayahnya tersebut. Tidak lama kemudian Ryu melanjutkan.

“Saat ini adek belum bisa menerima kehadiran Claire di antara kita. Dia belum siap kurangnya perhatian ayah kepadanya. Nanti, dua atau tiga tahun lagi, saat dia sudah dewasa seperti abang, dia akan memahami ayah. Makanya Claire dan ayah menunda dulu pernikahan itu.”

Jago menghentikan memotong kuku ayah, dan menyelami mata laki-laki yang kelihatan tenang dalam mengeluarkan kalimat itu. Jago yakin ayahnya bersungguh-sungguh.

“Ayah, ayah selalu mengutamakan perasaan kami… ” Bisiknya dalam hati lalu menunduk. Menghindari agar ayahnya agar sang ayah tidak melihat matanya yang berkaca-berkaca. Kembali tangannya merapikan kuku tangan ayah yang dia hormati.

Andai saja umurnya masih seperti Tegar, ingin dia memeluk ayahnya dengan erat. Tapi Saat ini, di usianya hampir 20 tahun, sudah ada rasa canggung di hatinya.

“Bagaimana dengan abang, sudah punya pacar?”

Pertanyaan tiba-tiba ayahnya ini membuat Jago gelagapan beberapa detik, tapi detik berikutnya dia kembali menguasai diri.

“Belum, yah… ” Jawabnya singkat.

“Kenapa?” Ryu memandang wajah Jago sambil tersenyum. Dia menunggu alasan anaknya.

“Belum mau, yah…..Mau fokus kuliah dan belajar menguasai usaha kita dulu.”

Jago menjawab sambil meraih kaki si ayah, lalu meletakkan di pangkuannya. Membersihkan pasir yang menempel, lalu memotong kuku yang sama panjangnya dengan kuku tangan.

Siapa yang tidak iri dengan kemesraan ayah dan anak ini?

“Ayah, ajarkan abang tentang kehidupan ini…!”

Walau diucapkan sambil menunduk dan memotong kuku kakinya, Ryu mendengar sangat jelas kalimat itu dari mulut tegar. Dia mengerutkan dahinya dan merenung sesaat. Permintaan ini sangat serius. Ryu butuh waktu beberapa saat untuk menanggapi kalimat anaknya.

“Nak, kehidupanlah yang akan mengajarkanmu kelak. Dia akan jadi guru dan pengingat terbaik untukmu.” Ryu membuka ‘pengajarannya’.

Jago mendengarkan sambil tetap memotong kuku kaki ayahnya.

“Berusahalah untuk selalu jadi pemberi, nak, karena itu akan memuliakan dirimu di mata Tuhan.. Tuhan akan mengembalikan pemberianmu jauh lebih banyak lagi. Jika kau menberi, lupakan dan jangan pernah mengingatnya kembali, karena itu akan menenangkan dirimu.. Tapi sekecil apapun pemberian orang terhadapmu, ingatlah sepanjang hidupmu, dan berusahalah untuk membalasnya.”

Jago menyimak setiap kata ayahnya dan meresapi ke dalam sanubarinya.

Pemotongan kuku kaki yang di atas pangkuannya selesai, lalu meraih kaki ayahnya yang sebelah lagi. Meletakkan di atas pangkuan, menbersihkan pasir-pasir yang melekat, lalu kembali memotong kuku kaki guru kehidupannya ini. Dia menunggu materi pembelajaran berikutnya.

“Bang, setiap orang yang abang temui adalah orang-orang hebat, siapapun itu, karena setiap mereka memiliki apa yang abang tidak miliki. Jadilah pendengar yang baik pembicaraan mereka, karena banyak yang akan abang dapatkan, jika abang ambil sebagai bahan pembelajaran. Lah, kok brenti?”

Ryu menegur Jago yang sesaat melupakan apa yang harus dia kerjakan. Dia terlalu khusuk mendengarkan kalimat-kalimat ayahnya. Ketika ayahnya menegur, dia tersadar kembali.

“Bang, jika abang melakukan sesuatu, lakukan dengan terbaik, dan kalaupun akhirnya hasil tidak sesuai dengan yang diharapkan, yakinlah, itulah yang terbaik yang Tuhan inginkan terhadap abang. Karena Tuhan tidak pernah salah dengan ketentuannya. Suatu saat abang akan mensyukuri itu. Kalau tidak hari ini, esok, atau minggu depan, atau bulan depan, atau bahkan tahun depan… “

Ryu menyeruput kopinya yang sudah dingin, dan menyalakan kembali api rokok yang di tangannya. Ketika memberikan ‘materi kuliah kehidupan’ yang diminta oleh Jago tadi, dia lupa menikmati kopi buatan si anak dan menghisap rokok di tangannya.

“Oh, ya, bang, sebagai penutup kali ini, anggaplah semua orang itu baik, terlepas apapun maksud mereka. Kecuali pada dua golongan. Politisi dan pengacara. Sebab hampir semua dari dua golongan ini sudah tidak tahu lagi apakah yang mereka ucapkan itu kebenaran atau bukan…. “

Jago memandang wajahnya, mencari kebenaran dari kalimat-kalimat baru saja dia dengar.

Angin sepoi yang berhembus dari laut membuat dua orang ini nyaman. Lama keduanya terdiam. Menikmati pikiran masing-masing.

“Ayah, setelah adek ujian sekolah nanti, dan abang libur panjang kuliah, bolehkah kami mencari adek kami dan ayah kandung kami?”

Walaupun kalimat itu diucapkan dengan sangat hati-hati, tapi telah membuat udara nyaman ini tidak sampai ke paru-paru Ryu. Dia gelagapan berusaha bernafas. Segera dia bangkit dan melangkah tergopoh-gopoh menuju kamar. Setelah menutup pintu, langsung berbaring. Tubuhnya lemas selemas-lemasnya. Dadanya terasa sangat berat, Dia merasa Jago telah menghantam dadanya dan mencekik lehernya dengan kuat.

Ryu pernah terseret arus ketika dia menyelam di kedalaman sepuluh meter laut. Arus itu menyeret tubuhnya dengan kuat, membuat dia sangat cemar. Dia berusaha menyelamatkan’ diri dari arus tersebut. Tapi sia-sia. Kecemasannya telah membuat dia menghambur-hamburkan oksigen yang tinggal sedikit lagi dalam tabung di punggungnya itu hingga cepat habis. Ryu megap-megap. Di ujung hidupnya dia sudah pasrah pada jalan akhir takdirnya.

Pada detik-detik terakhir kesadarannya, dia merasakan satu pusaran memutar-mutar tubuhnya ke atas lalu melambungkan dirinya melewati permukaan air, dan kemudian dia terhempas kembali pada permukaan air. Entah bagaimana, dia tidak tahu, perlengkapan selamnya terlepas darinya. Mulut Ryu kembali megap-megap, mengumpulkan sebanyak-banyaknyo oksigen ke paru-parunya.

Tapi kali ini dia kekurangan oksigen pada tempat yang oksigennya berlimpah.

Dada, perut dan bagian tubuhnyapun sudah seringkali kena hantaman lawan, tapi sakitnya didak sesakit ini. Sakitnyapun hanya sebatas tempat yang kena pukulan, bahkan dia bisa membalas lebih dahsyat dari yang dia alami.

Dan sakitnya kali ini jauh di lubuk hatinya dan tidak bisa tersentuh. Ryupun tak bisa membalas pada penyebab sakitnya ini.

Bagaimana kehilangan orang-orang yang dia cintaipun sudah terlalu sering, malah bisa dikatakan sudah biasa, tapi untuk saat ini, dia sudah merasakan sakitnya kehilangan sebelum kehilangan itu terjadi.

Di luar, Jago masih terpaku oleh reaksi ayahnya. Pemuda yang hampir dua puluh tahun ini merasa bersalah. Dia tahu ayahnya tidak akan mengizinkan mereka mencari ayah kandung dan adik perempuannya. Tapi desakan dari dasar hatinya selalu mendesak dia untuk melakukan itu.

Dalam duduk diamnya Jago lelah, lalu meletakkan kepalanya di atas meja, beralaskan kedua lengannya.

Next part #10