Alkisah : Kutukan bagi Pengotor dan Perusak Hutan dan Asal Mula Bunga Rafflesia

Alkisah : Kutukan bagi Pengotor dan Perusak Hutan dan Asal Mula Bunga Rafflesia

Oleh : Bagus SLE

Tersebutlah pada suatu ketika di suatu masa pada satu tempat di negeri yang bernama Likau Tebo hiduplah para Diwo yang berasal dari Kahyangan menjaga hutan yang berada di sepanjang Bukit Barisan dalam wilayah tersebut.

Pada masa itu hutan sangat terjaga sehingga membuat dunia manusia merasa aman tinggal di sepanjang sungai yang mata airnya berasal dari celah-celah bebatuan yang ada di dalam hutan, dan mendapatkan banyak Sumber makanan dari ‘imbo’ yang ada di sekitar mereka.

Ketua para Diwo penjaga hutan wilayah itu memiliki seorang anak perempuan yang sangat cantik dan memiliki perangai elok. Anak tersebut di beri nama Cindar.

Karena keelokan paras dan tingkah lakunya maka banyaklah yang menginginkan Cindar menjadi istri mereka. Baik dari dunia para Diwo, jin ataupun manusia.

Sayangnya, si putri jelita tersebut tidak tertarik hingga pada suatu waktu ketika dia sedang bermain dalam hutan kekuasaan ayahnya dan ditemani oleh si belang seekor harimau jantan yang masih muda dan perkasa sebagai pengawalnya, dia bertemu dengan seorang pemuda dari bangsa manusia yang sedang mencari umbut rotan untuk obat ibunya yang sedang sakit.

Pemuda yang hidup berdua dengan ibunya yang telah lama mengalami kebutaan dalam sebuah pondok di pinggir hutan.

Sejak memandang pertama kali, Cindar telah jatuh cinta pada pemuda tersebut. Mulai saat itu putri itu sering diam-diam mengintai anak yatim itu dari celah-celah ranting atau dari atas dahan pohon besar.

Siang malam selalu terbayang wajah dan bentuk tubuh juga gerak-gerik anak manusi itu. Acap kali terlihat tuan putri yang suka menenun itu senyum-senyum sendiri terutama sebelum tidur.

Sayang sudah tujuh hari sang pemuda tidak terlihat di hutan. Membuat pemilik kulit putih dan bibir indah merah delima itu merindu.

Suatu pagi ketika matahari bersinar sangat cerah dan menembuskan cahaya di sela-sela dedaunan, terlihat seorang gadis berjalan sendirian dalam hutan.

Dia berhenti di sebuah pemandian yang berbentuk air terjun kecil.
Air terjun ini adalah tempat sang pemuda mandi. Kali ini dia tidak tahan lagi ingin bertemu langsung dengan pujaan hati yang belum diketahui nama itu.

“Aku harus tahu namanya…. ” Tekad hati Cindar sejak sebelum tidur tadi malam.

Menurut pengintaiannya selama ini, setiap hari dan saat yang sama pangeran hatinya itu akan mandi. Setelah mandi selalu membawa air dalam beberapa bambu yang dipikul dengan bahu kekarnya.

Benar saja, belum lagi sepenanak nasi menunggu, yang ditunggu telah datang. Membawa beberapa gerigik di pikulan dan beberapa helai pakaian yang akan di cuci.

Begitu menuruni tebing, kaki pemuda itu tertahan. Matanya melihat seorang gadis duduk di atas batu. Kaki indahnya memainkan air.

“Ehem… ” Pemuda berdehem ketika sang gadis tidak mengetahui kehadirannya.

Sejujurnya gadis itu pura-pura tidak melihat dan seolah-olah terkejut.

Saat gadis menoleh, mata mereka bertemu. Keduanya saling terpesona. Walau berawal dari kikuk, akhirnya mereka saling akrab dan jatuh cinta.

Bagi keduanya hutan yang indah semakin indah. Bunga-bunga hutan menjadikan hijau dedaunan semakin berwarna.

Tapi sayang cinta dan kasih sayang mereka akhirnya diketahui oleh para Diwo dan membuat sang ayah tidak setuju. Berbagai bujukan dan nasehat tidak mempan bagi hati yang di landa asmara.

Bagi alam Kahyangan bahwa alam manusia adalah dunia yang tidak bisa dipercaya. Tidak boleh seorang Diwo yang boleh jatuh cinta pada makhluk dunia para pendosa itu. Bagi yang melanggar akan dihukum berat. Diasingkan dari Kahyangan.

Bagi Cindar yang sedang dibudak oleh cinta itu merasa bahwa Bingin, nama pemuda itu, adalah segalanya. Tidak perduli dengan nama baik sang ayah dan dia siap dicabut nasibnya sebagai Dewi negeri langit.

BACA JUGA:  Bucin, Di Bawah Pohon Sawit

“Baiklah Cindar anakku. Bawalah pemuda kekasihmu itu Ke hadapan ayahmu ini. Ayah ingin menitipkan dirimu padanya.”

Cindar bahagia. Kabar bahagia ini disampaikan pada jantung hatinya. Binginpun setuju menjumpai orang tua yang malang itu.

Bingin menghadap sang kepala Diwo. Orang tua itu lama memandang tepat ke manik mata pemuda yang ada di hadapannya, lalu menunduk sedih.

“Aku titipkan anakku padamu. Dengan satu syarat.”

Suasana hening. Bingin dan Cindar menunggu syarat yang akan diajukan oleh sesepuh para Diwo itu.

“Syaratnya adalah kalian menjaga hutan ini bersih dari sisa-sisa buangan dunia manusia dan menjaga tanah agar tidak runtuh. Jika kalian tidak sanggup maka akan aku kutuk kalian akan berpisah selamanya.

Kau anak kesayanganku… ”

Mukanya memandang sedih pada Cindar dan melanjutkan kalimatnya yang menggantung.

“Kau akan menjadi bunga yang indah tapi tanpa batang dan daun. Kau akan menyendiri.”

Orang tua itu menghela nafas dalam. Ada getar tidak rela dari kalimatnya.

Selanjutnya pandangannya di arahkan pada Bingin.

“Dan kau jika tidak mampu melakukan dan mencegah bangsamu membuang sisa-sisa yang tidak mereka gunakan lagi di hutan ini dan mengambil kayu-kayu melebihi kegunaan, maka saat itu kau akan berubah jadi pohon yang sangat rindang dan memiliki akar kuat dan banyak.

Bagi bangsamu yang mengotori hutan ini, kutukanku berlaku bagi mereka!”

Kalimat amarah itu langsung disambut oleh guntur, kilat, angin kencang dan hujan yang sangat lebat. Pertanda alam menyaksikan dan menyetujui kutukan itu.

Maka keduanya memulai kehidupan baru sebagai suami istri. Hidup bahagia. Ke mana-mana selalu berdua. Sehari-hari keduanya membersihkan hutan dan menanam banyak pohon.

Pada suatu hari Bingin lalai melakukan tugasnya karena sedang asik bersenda gurau dengan istrinya, ada seorang anak manusia yang membuang ‘tedeak’ di pinggir hutan. Semakin hari semakin menumpuk hingga akhirnya merusak keindahan hutan tempat tinggal mereka.

Sampah semakin banyak. Pada suatu hari saat alam menjadi gelap, guntur menggelegar dan kilat sambung menyambung. Angin kencang berhembus. Hujan turun dengan derasnya.

Bingin dan Cindar segera sadar. Mereka sadar dengan kekhilafan mereka. Cindar menangis ingat kutukan ayahnya. Bingin sadar kelalaiannya. Mereka menyesali apa yang mereka lakukan hingga melupakan tugas dan tanggung jawab masing-masing.

Pagi menjelang subuh, hujan reda. Pasukan guntur mulai mundur. Kilat kembali pada asalnya. Anginpun menarik mundur para prajurit yang menggempur dahsyat.

Perlahan pagi menjelang dan matahari mulai bersinar. Ketika mulai meninggi, cahayanya masuk dari celah-celah dedaunan.

Di dasar hutan terlihat sekuntum bunga yang indah. Menempel pada satu pohon yang menjalar. Tanpa batang dan daun. Bunga itu adalah jelmaan dari seorang Dewi yang menemui kutukan sang ayah.

Di sampingnya duduk dengan sedih seekor harimau. Kiriman sang ayah agar menjaga anak kesayangannya.

Dalam masyarakat rejang bunga itu disebut sebagai ‘bungei sekedei’. Dan dianggap sebagai cawan sirih puyang/nenek (harimau).

Sementara berjarak sepelemparan batu tumbuh pohon yang rindang dengan akar-akar kuat dan banyak mencengkeram tanah agar tidak longsor.

Pohon itu adalah pohon beringin. Diambil dari asal nama suami yang lalai dengan kewajibannya, yaitu Bingin.

Sejak saat itu maka banyak kejadian yang menimpa orang-orang yang mengotori lingkungan di wilayah hutan Liku Sembilan bercerai dari pasangannya. Putus saat mereka pacaran ataupun bercerai kalau sudah berkeluarga. Kalaupun tidak berpisah, mereka tidak bahagia dan banyak mengalami masalah.
___________________

Keterangan dalam bahasa Rejang
Diwo : Dewa
Gerigik : Tempat membawa air dari
bambu.
Tedeak : Sampah.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan