Kritik Keras Yusril: DPR Harus Diisi Negarawan, Bukan Selebriti atau Dinasti Kekuasaan

Jakarta, Word Pers Indonesia – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, melontarkan kritik keras terhadap kualitas parlemen Indonesia. Ia menilai DPR RI saat ini terlalu banyak diisi figur dari jalur oligarki, dinasti politik, hingga selebriti, bukan sosok negarawan yang memahami tugas legislasi.

“Sulit berharap DPR yang berkualitas dengan sistem pemilu sekarang. Banyak anggota DPR ditempatkan di komisi tanpa paham substansinya, bahkan ada yang enggan belajar,” tegas Yusril dalam wawancara di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, Kamis (11/9/2025).

Menurut Yusril, sistem pemilu saat ini masih sarat praktik transaksional. Seleksi calon legislatif lebih didasarkan pada uang dan popularitas, bukan kapasitas maupun integritas. Kondisi ini, lanjutnya, memberi ruang besar bagi oligarki dan politik dinasti untuk menguasai parlemen.

“Kalau bukan istri bupati, anak gubernur, ya kerabat pejabat. Banyak juga yang dibiayai oligarki dengan tujuan jelas: mengamankan kepentingan kelompoknya,” kata Yusril menambahkan.

Mengutip riset lembaga independen, Yusril menyebut 99 persen anggota DPR merupakan produk oligarki politik. Fenomena ini, katanya, menggerus integritas parlemen dan mempersempit ruang partisipasi rakyat.

Yusril mendorong pemerintah bersama DPR segera merevisi Undang-Undang Pemilu dan UU Partai Politik. Ia menekankan pentingnya meritokrasi dalam sistem rekrutmen politik.

“Partai politik harus demokratis, transparan, dan bebas dari oligarki. Seleksi caleg jangan hanya soal uang atau popularitas, tapi rekam jejak dan kapasitas yang terukur,” ujarnya.

Ia juga mengusulkan standar minimal pendidikan sarjana untuk calon anggota DPR, serta rekrutmen internal partai yang lebih profesional.

Untuk menekan praktik politik uang, Yusril bahkan membuka opsi agar pendanaan partai politik dibiayai penuh oleh negara dengan pengawasan ketat dari BPK dan KPK.

“Kalau partai dibiayai negara, caleg tidak lagi harus keluar miliaran rupiah. Praktik ‘balik modal’ bisa dicegah sejak awal,” jelasnya.

Meski menyadari gagasan ini berpotensi mendapat resistensi, Yusril menilai momentum reformasi harus datang dari eksekutif.

“Kalau inisiatifnya dari DPR, sulit berjalan. Tapi kalau presiden tegas memimpin, reformasi politik bisa jadi warisan besar untuk bangsa,” tegas Yusril.

Ia juga mengaitkan desakan reformasi dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen.
“Ini langkah awal membuka sistem yang lebih inklusif. Demokrasi kita harus memberi ruang partisipasi rakyat seluas-luasnya,” tutup Yusril.(*)

Editor: Anasril

Posting Terkait

Jangan Lewatkan