Realokasi Anggaran dan Keberpihakan Pada Manusia

Covid-19 mengharuskan pemerintah melakukan realokasi anggaran dan perencanaan program, tidak terkecuali Kementerian Agama. Skala prioritas disusun ulang agar anggaran bisa dioptimalkan membantu pencegahan penyebaran Covid-19.

Hal sama dilakukan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagaman Islam (Diktis). Program bantuan penelitian yang rutin diadakan misalnya, tahun ini ditiadakan. Anggarannya dialokasikan untuk program kemanusiaan, penanganan Covid-19.

Kenapa demi kemanusiaan, semua dana Bantuan Operasional Perguruaun Tinggi Negeri (BOPTN) untuk penelitian harus dihemat tahun 2020? Jawabannya sederhana, karena Kementerian Agama masih menjadi bagian tak terpisahkan dari kebijakan Presiden RI dalam penanganan dan pencegahan wabah pagebluk COVID-19. Jadi, wilayahnya kementerian, bukan sekadar direktorat jenderal pendidikan Islam, apalagi hanya sub direktorat penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Realokasi anggaran penelitian ini tidak hanya terjadi di Ditjen Pendidikan Islam, tetapi juga di satuan kerja (satker) pada kampus/perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN). 

Kenapa harus mengedepankan aspek kemanusiaan? Sekurangnya ada lima hal mendasar yang harus dijaga bersama dalam menjalani kehidupan. Kelimanya telah disepakati para cerdik pandai di dunia Islam, baik ahli fikih hukum Islam, spiritual (tasawuf) ataupun filosofi. Kelimanya adalah hifdh ad-din (menjaga agama), hifdh an-nafs (menjaga jiwa), hifdh al-‘aql (menjaga otak, akal, pikiran), hifdh an-nasl (menjaga keturunan, keluarga), dan hifdh al-mal (menjaga harta). Kelima hal ini sering disebut pula maqashid asy-syari’ah (tujuan adanya hukum Islam). Ujung dari maqashid ini adalah maslahah (kebaikan) untuk manusia. Hal itu sesuai dengan kaidah lain, tasharraful imam ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah (kebijakan seorang pemimpin pada rakyatnya, harus diorientasian pada kemaslahatan rakyatnya). Aspek maslahah inilah yang diambil oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dalam menentukan skala prioritas realokasi anggaran, termasuk melakukan penghematan dana penelitian. 

Kini, sudah memasuki bulan kedua untuk Work From Home (WFH), bekerja dari rumah. WFH ini disusul juga School From Home (SFH), sekolah/kuliah dari rumah, dan terakhir, Beribadah dari Rumah (BDH). Kebijakan Stay at Home (tinggal di rumah) ini sudah menjadi kedaruratan nasional melalui Kementerian Kesehatan. Semuanya itu dalam rangka menjaga keselamatan manusia, rakyat, bangsa Indonesia, mulai dari orang tua, remaja, anak-anak, lelaki maupun perempuan. 

BACA JUGA:  Melawan Congkaknya Dunia

Bahkan, belakangan sebagian wilayah kota/kabupaten sudah melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB ini “serupa” dengan lockdown di beberapa negara selain Indonesia. PSBB ini awalnya, juga dari social distancing (jaga jarak sosial) atau physical distancing (jaga jarak fisik). Penyebaran COVID-19 ini ternyata tidak cukup hanya menjaga jarak seperti itu, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial atau homo homini socius, selain juga homo homini lupus (serigala bagi sesama manusianya).

Berangkat dari kecenderungan manusia yang mempunyai dua sisi aspek itu, sebagai teman manusia lainnya atau serigala bagi manusia lainnya, kebijakan Diktis tentu saja memilih manusia sebagai teman manusia lainnya. Kita harus empati, bukan sekadar simpati. Empati dibutuhkan bukan hanya pada psikis tetapi juga sosial. Betapa mungkin seorang dosen melakukan penelitian, sementara saudaranya, keluarganya, tetangganya, misalnya sedang menjalani karantina, isolasi, karena ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pengawasan) dan OTG (orang tanpa gejala). OTG ini, orang tidak bergejala dan potensi memiliki risiko tertular dari orang positif COVID-19. Apakah kita tega, sebagai manusia biasa melihat saudaranya seperti itu, tetapi tetap “menghabiskan” dana penelitian, yang sesungguhnya tidak berkaitan (langsung) dengan penanganan atau pencegahan COVID-19 ini? Dimana rasa kemanusiaan kita? Sebagai orang beriman, kemana aspek keimanan kita atas rukun iman kepada Allah Swt, dst. hingga takdir? 

Tentu saja, kita setidaknya, berempati untuk mengikhlaskan dana bantuan penelitian untuk saudara sesama bangsa yang terdampak COVID-19, apalagi sudah PDP. Semoga dengan mengikhlaskan dana bantuan itu untuk kemanusiaan, kita semua terjaga agama, akal, jiwa, dan keturunan kita. Harta kita juga menjadi berkah. Tidak pada tempatnya, dosen PTKI, ngotot mempertahankan dana bantuan penelitian untuk tahun 2020. Jika kita sehat, insya Allah kita dapat melakukan penelitian lagi di tahun-tahun mendatang. 

Bangsa ini, melalui instruksi Presiden RI, telah memanggil kita untuk berkontribusi menyelamatkan jiwa manusia Indonesia. Saatnya kita berjuang, jihad yang sesungguhnya untuk kemanusiaan. Wallahul musta’an.

*Makhrus El-Mawa, pegawai Ditjen Pendidikan Islam