Oleh : Gemmi Jupriadi
Penulis menuangkan opini dalam bentuk tulisan berdasarkan pengamatan politik di Kabupaten Mukomuko dalam satu dekade terakhir. Dimana, konteks pembahasan “Politik Balas Dendam” dimulai dari menjelang dan sesudah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (Teori Klasik Aristoteles). Secara umum politik adalah hal yang berkaitan penyelenggaraan Publik pemerintah dan negara. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan kebijaksanaan publik Pemerintah. Sedangkan “dendam” keinginan keras untuk membalas kejahatan dan sebagainya.
Menurut penulis “Politik balas dendam” merupakan istilah yang disandangkan oleh Publik terhadap Pemimpin “Zalim” konteksnya pasca terpilihnya dalam suatu kontestan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Menarik ulur, Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan. Kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sejak diadakan Pilkada langsung kata politik “Balas Dendam” sudah menjadi istilah umum didalam masyarakat. Tentunya kata-kata ini menjadi tantangan tersendiri kedepannya demi menjaga “wibawa” negeri ini. Kata kuncinya adalah kembali ke moral masing-masing, hingga tercipta kata sepakat “berangus Politik Balas Dendam”.
Demikian “politik balas dendam” cukup “menggelikan” tapi untuk menghilangkannya ibarat mengurai benang kusut yang terlanjur putus. Masing-masing menarik ujungnya dan masing-masing merasa benar. Justru yang terjadi semakin kusut dan tidak bisa terurai. Berdampak pada pembunuhan karakter.
Politik balas dendam dan politik balas jasa dua kalimat tidak terpisahkan. Keduanya erat kaitannya dengan istilah pertarungan kepentingan. Membuat munculnya nyinyir kalah dalam dukungan “puasa” lima tahun. Hal mengerikan apa bila hal tersebut tetap terpelihara. Meski demikian segelintir sudah ada memahami dan mulai menerapkan gaya kepemimpinan “merangkul”. Itupun tidak luput dari cibiran simpatisannya yang merasa telah berjasa menduduki si “polis maker” di kursi empuknya.
Seperti buah simalakama jika merunut “Politik Balas Dendam” ini. Ada kegerahan berkepanjangan memicu munculnya penilaian negatif terhadap Pilkada langsung. “Sebaiknya dikembalikan ke sistem sebelumnya (Dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD). Bahasa ini sudah kerap terdengar dimana-mana. Tentu penulis tidak bermaksud menyalahkan sistem pemilihan yang sekarang ini. Namun ada harapan semuanya lebih dewasa menempatkan sesuai batasan-batasannya, hingga tidak ada lagi “terzholimi” pasca Pilkada.
Ini adalah fenomena umum dan nyata menerpa para petarung kepentingan “acap” kali dialami oleh para kontraktor bahkan ASN di suatu daerah. Berbuntut pada pembunuhan “karakter” sampai-sampai karier terhambat atas adanya sumbatan dari tukang “Bisik”. Prestasi tidak lagi menjadi patokan mendudukkan seseorang dalam suatu jabatan (Siapa dekat dengan api akan hangat). Siapa yang dinilai tidak memiliki kontribusi baik finansial dan lainnya terhadap polis maker, akan terdepak. Tidak bermaksud mengatakan banyak orang potensial “terparkir” menjadi penonton selama 5 tahun hanya sekedar mengingatkan evaluasi bobot pelayanan.
Tidak berhenti sampai disitu, catatan “Buram” lainnya ditempatkannya seseorang menduduki jabatan penting tidak relevan dengan disiplin ilmunya menambah rentetan keluh kesah pelayanan publik. Riak pun bermunculan dimana-mana, bisa berujung “hujatan” berakhir dengan saling mempolisikan dengan label ujaran kebencian. Seakan ada yang salah perlu menjadi pemikiran bersama memunculkan solusi demi solusi.
Sisi lainnya pemaknaan memperjuangkan kesejahteraan rakyat sebagai kontrak politik calon polis maker sekedar “isapan jempol” konteksnya dengan warga bermata pencaharian bidang kontruksi.
Malah sudah menjadi rahasia umum masa depan kontraktor ditentukan di seputar dukung mendukung pada perhelatan Pilkada. Dukungan tidak beruntung (Kalah) dipastikan “tiarap” selama 1 periode. Padahal ada yang harus dimaknai kembali bahwa pendukung itu hanya ada saat prosesi Pilkada. Lepas dari itu harus bergandengan tangan mencapai “mahligai” kebahagian di atas rentetan pembangunan.
Itu bisa dicapai dengan melepas ego memaknai secara sempurna arti “Rakyat” meliputi secara keseluruhan masyarakat. “Pemerintah dan rakyat adalah ibarat bapak dan anak” tidak ada yang mesti dibedakan dendam politik mesti disingkirkan dalam sanubari. Tidak ada yang harus menderita saat kita menduduki “kursi panas” harus ada perlakuan sama.
Jelang tahapan Pilkada digelar kembali 2024 mendatang, penulis mengajak seluruh elemen masyarakat agar bisa memaknai politik yang sebenarnya. Mari wujudkan cita-cita pembangunan daerah, agar seluruh masyarakat merasakan dampak pembangunan oleh pemimpin berikutnya.
(Penulis merupakan pegiat media online di Kabupaten Mukomuko)