Part VI :Tuhan Jangan Kau Cabut Dulu Bunga-bunga Indah Ini

Bendera Setengah Tiang.

“Bang… !” Teriakan panjang, keras dan panik Tegar mengejutkan semua orang siang ini. Para karyawan yang sedang menyiapkan menu pesanan tamu ada yang sampai memecahkan gelas. Empat orang tamu yang lagi menikmati kopi ada yang tersedak.

Jago, yang dimaksud oleh teriakan tersebut, terkejut bukan alang kepalang. Lalu langsung menuju lokasi suara, kamar ayah.

Di kamar, Tegar sedang memeluk ayah mereka dengan cemas. Jago terkejut melihat ayah mereka bersandar di samping tempat tidur dengan terkulai lemas.

“Ayah kenapa dek?”

“Gak tau bang, tiba-tiba aja ayah begini.”

“Ayo bantu abang angkat ayah ke tempat tidur.”

Mereka langsung mengangkat ayah ke tempat tidur. Membaringkan lalu menyelimuti.

Jago memeriksa kondisi sang ayah. Tidak lama kemudian dia terlihat tenang.

“Kita bawa ayah ke rumah sakit saja bang…. ” Tegar masih sangat cemas.

“Tidak usah, ayah akan baik-baik saja.” Jawab Jago dengan tenang.

“Abang bagaimana sih? Ayah lemas seperti itu abang tidak mau bawa ke rumah sakit?” Tegar mulai emosi.

“Ayah tidak apa-apa. Percaya abang.” Jago berusaha meyakinkan adiknya yang temperamen ini.

“Abang, ayah tiba-tiba lemas, pasti sakit. Ayo lah bang, kita bawa ke rumah sakit saja.”

Tegar sangat cemas dengan kondisi ayah mereka.

“Sudah, jangan berisik. Ayah akan sakit kalau kamu tambah cerewet. Sekarang kamu pijit kaki ayah.”

Walau dengan berat hati, Tegar mengikuti perintah kakaknya. Dia akui kalau abangnya selalu bisa bersikap tenang dalam menghadapi banyak hal, dan biasanya abangnya selalu benar.

Tapi kali ini masalahnya tidak sepele. Ini soal ayah mereka. Laki-laki yang sangat mencintai dan menyayangi dan siap melakukan apapun untuk mereka. Begitupun mereka pada sang ayah.

Tegar berusaha mengingat, selama mereka diselamatkan dari air bah dulu, hingga kini, dia belum pernah melihat laki-laki yang dipijat sekarang ini sakit. Belum pernah sama sekali. Tegar menghawatirkan kata orang-orang, kalau orang jarang sakit, pas sakit akan parah dan lama. Tegar semakin cemas.

“Ayo lah bang, kita bawa ke rumah sakit. Nanti kalau ayah kenapa-napa bagaimana?”

Jago yang masih memijit kening ayahnya malah tersenyum.

“Ayah tidak apa-apa dek.. . ” Jago menekankan tekanan khusus pada kata ‘dek’.. .menunjukkan kalau dia mulai kesal dengan kecemasan adiknya.

“Ayo, kita keluar saja. Ayah tambah lemas kalau adek semakin cerewet. Biar ayah istirahat dulu.”

Jago menarik tangan adiknya. Dan sang adik mengikuti dengan terpaksa.

“Kepada seluruh kedutaan Republik SLE, diharapkan untuk mengibarkan bendera SLE setengah tiang selama tiga hari ke depan, di ruang kedutaan masing-masing. Keterangan selanjutnya akan menyusul.”

Tertanda Jago.

Pesan tersebut telah menghebohkan seluruh cabang cafe. Berbagai pertanyaan masuk tidak ada yang dijawab. Jago belum berani menjawab sebelum ada perintah langsung dari sang ayah untuk menjawab.

Pengumuman di atas adalah pesan dari ayah, dan Jago hanya meneruskan ke sepuluh cabang yang ada.

Ada panggilan video dari cabang Bogor tapi dibiarkan saja oleh Jago. Sekali, dua kali, tiga kali, hingga berkali-kali. Jago belum berani mengangkat.

Jago membawa HP tersebut ke kamar ayah. Ketika pintu kamar di buka, ayah menangis. Air matanya dibiarkan mengalir jatuh ke bantal. Mata sangar itu sekarang terpejam.

Setelah menutup pintu, ragu-ragu dia mendekati ayahnya.

“Ada apa yah? Kenapa ayah menangis?”

Jago duduk di samping sang ayah. Tangannya menggenggam tangan ayah. Dan laki-laki yang sedang menangis itu malah bangkit dan memeluk Jago. Di pundak anaknya dia menangis sesenggukan. Dengan ragu Tegar mengusap kepala ayahnya, dan mengabaikan ketidaksopanan. Dia ingin menenangkan ayahnya.

“Ayah belum rela bang, ayah belum rela.. . . ”

Suara ayah. Sekarang dia tidak lagi sesenggukan, tapi menangis layaknya anak kecil. Jago bingung. Apa sebenarnya yang ayahnya belum rela.

“Dang… Huhuhu.. . . Dang.. . .. Haaa.. .. aaaa.. . .. ”

Tangisnya semakin keras, hingga ke kamar Tegar. Tegar yang masih cemas, kaget mendengar tangisan itu, lalu segera menuju kamar ayahnya. Dia bingung melihat ayahnya menangis.

“Ayah kenapa bang.. . ?!”

Jago mengisyaratkan untuk diam, dan Tegar mengerti. Segera dia mendekat.

“Dang… . Maafkan kami yang belum bisa berbuat apa-apa untuk Dang.. . . Haaaa.. . ..aaaa… . Dang.. . . “

Jika melihat situasi saat Ryu menangis, orang tidak akan mengira bagaimana tingkah dan sikapnya jika marah. Kadang mencak-mencak jika marah pada anak-anaknya, kadang dingin tanpa ekspresi saat memberi komando, entah pada siapa, dan sekarang air mata dan ingusnya membasahi baj di Bahu Jago, yang bukan anak biologisnya. Kenyataan yang menimbulkan ironi.

Setelah puas menangis, laki-laki ini lalu berbaring kembali. Dia miringkan tubuhnya menghadap dinding.

“Tinggalkan ayah sendirian.. . .” Perintahnya kepada kedua anaknya. Antara terdengar dan tidak.

Dua pemuda ini tanpa ada bantahan langsung beranjak keluar.

Sepeninggal kedua anaknya, Ryu memeluk guling. Tangannya membuka kembali pesan yang dia terima dari Thomas, anak muda yang memberikan kabar duka cita ini. Ryu masih berharap kalau berita ini tidaklah nyata. Tapi status-status yang ada di Fb, memenuhi beranda adalah ungkapan-ungkapan duka cita atas kepergian laki-laki kharismatik yang merupakan salah seorang seniman besar di provinsi Bengkulu ini.

Semua orang yang mengenal beliau menuliskan bagaimana berharganya pria yang masa sehatnya bertubuh tinggi besar dan tampan itu. Tapi penyumbatan pada saluran hati itu telah melenyapkan itu.

BACA JUGA:  Part #15 Tuhan Jangan Kau Cabut Dulu Bunga-Bunga Indah Ini

Ryu terbayang pelukan terakhir yang dia berikan pada almarhum, saat mengantar ke bandara. Saat itu, tubuh yang telah menjadi sangat kurus akan menjalani perawatan ke ibu kota.

“Dang harus semangat ya. Dang harus kuat dan sembuh…!”

Bisik Ryu sambil memeluk pundak yang lemah itu.

“Terimakasih pres.. . ” Lalu mata mereka beradu pandang. Masing-masing hampir saja mengeluarkan air.

Sesaat kemudian mereka melakukan salam khas Republik SLE. Dua tinju saling beradu. Itulah salam terakhir mereka sebelum kursi roda itu didorong oleh Al Hidayah menuju ruang tunggu bandara. Diikuti oleh doa kesembuhan dari para sahabat-sahabat terdekat dan keluarga yang melepaskan kepergian itu.

Mengingat itu air mata Ryu mengurai kembali. Perlahan Ryu mengambil HP yang ada di atas meja. Membuka album dan memilih beberapa foto. Dengan lemas dia kirim ke FB dan dijadikan status.

“Selamat jalan Jagoan, jasamu tidak akan kami lupakan. Semoga Kau menjadi salah seorang Kekasih ALLAH dan ditempatkan pada tempat terbaik di sisiNYA, aamiin.. . “

Tapi lama tulisan itu hanya tertulis saja. Hatinya sangat tidak rela. Sejujurnya, Ryu masih tidak mau mempercayai kenyataan kalau salah seorang aktor, dan presenter tv itu telah meninggal. Hatinya masih sangat berat untuk menerima itu.

Akhirnya dengan uraian air mata yang semakin deras, diiringi sesenggukan yang semakin kuat, Ryu menekan ‘kirim’. Sesaat kemudian, status itu muncul di halaman FB nya dan langsung mendapat tanggapan dan komentar.

“Maafkan aku Dang, bukan aku tak ingin mengantarmu ke peristirahatan terakhirnu. Kau tahukan Dang alasannya?”

Bisik Ryu sambil mengusap salah satu foto mereka.

Membayang kembali saat angin kencang berhembus. Dengan tubuh tanpa baju mereka berdua bersila di atas jogging track. Di hadapan keduanya ada dua gelas kopi andalan cafe mereka.

Oh ya, jauh sebelum mereka duduk di sini, Dang Leman telah di angkat menjadi Wakil Presiden Republik SLE dengan acara sederhana yang khidmat, pada suatu malam di bulan ramadhan. Berbarengan dengan diresmikannya Dimas, Isat, Danang, dan kawan-kawan sebagai generasi ke tiga Republik SLE, sesaat sebelum sahur bersama.

Diterpa angin kencang, dua lak-laki dewasa ini mengeluarkan isi hati terdalam mereka.

‘Kau tahu pres? Saat ini saya merasa menjadi laki-laki yang gagal. Gagal mempertahankan rumah tangga saya. Sedangkan bagi saya, saya ingin menjadikan rumah tangga saya sebagai tempat yang ideal untuk tumbuh kembang anak-anak saya.. . Hingga saat ini, saya masih tetap ingin mempertahankan rumah tangga saya, tapi.. . Ah sudahlah, Tuhan telah menentukan lain. Tinggal bagaimana menata hari-hari ke depan agar anak-anak saya tidak hancur.. . “

Laki-laki yang rambut panjangnya berkibar-kibar dihembus kencangnya angin tersebut menghela nafas dalam-dalam, lalu menghirup kopi di depannya. Tak lama kemudian dia meraih rokok, dan berusaha menyalakannya.

Ryu tidak ada tanggapan. Dan memang kalimat-kalimat tersebut tidak ingin ditanggapi. Diucapkan hanya untuk melepaskan beban berat yang menghimpit dada.

Lama keduanya terdiam. Memandang laut gelap. Suara ombak yang keras menemani mereka dalam dinginnya malam berangin kencang Pantai Panjang.

“Dang, tahukah dang, kalau beberapa tahun belakangan ini saya paling takut dengan berita kematian dan pernikahan?”

Sesaat keduanya berpandangan lalu ,menatap kembali laut yang gelap.

“Saya tidak tahu apakah ini kutukan atau kebetulan.” Lanjut Ryu di antara hisapan rokoknya.

“Setiap gadis yang akan saya ajak menikah selalu berakhir dengan kematian. Paling lama mereka menemui ajal tiga hari setelah saya sampaikan keinginannya saya. Dan, penyebab kematian mereka sama, kecelakaan. Ada yang tertabrak kendaraan atau menabrak kendaraan lain. Malah ada yang jatuh dari jembatan.”

Kalimat-kalimat di atas di sampaikan dengan nada yang penuh kesedihan.

“Dua bulan lalu, ‘korban’ ke lima jadi ‘tumbal’ dari keinginan saya untuk menikah. Dia ditabrak oleh kendaraan yang remnya blong, ketika baru saja keluar dari rumahnya. Dang ingat waktu saya meninggalkan cafe pada dang selama seminggu? Tujuan saya ke Jambi waktu itu adalah ingin melihat perempuan yang saya jadikan istri, untuk terakhir kalinya. Sejak saat itu saya semakin takut dengan kabar pernikahan dan kematian, dang.. . !”

Ada beban berat dalam kalimat itu. Ryu tidak berharap tanggapan dari kalimatnya, dan Dang Leman tahu itu. Ada kelegaan di hati Ryu setelah mengeluarkan beban di hatinya paling dalam.

Entah sudah jam berapa, saat angin semakin kencang berhembus, saat tubuh mereka yang tak berbaju itu sudah merasakan dingin, mereka lalu kembali ke cafe, dengan harapan waktu akan berbaik kepada mereka di masa depan.

Selama tiga hari berturut-turut Ryu hanya berbaring lemas di tempat tidur. Tidak ada tenaganya untuk melakukan apapun. Bahkan untuk makanpun dia harus disuap dan dipaksakan oleh anak-anaknya.

“Dang, kita adalah laki-laki sunyi di antara keramaian, kita adalah laki-laki yang lelah dalam semangat,”

Jari-jari lemah Ryu kembali mengusap wajah mereka dalam foto ditangannya yang basah oleh air mata.

Ryu bangkit tanpa semangat. Dia mencari-cari file film Gading karya sutradara Sofian Rafflesia. Dia ingin menonton film yang salah satu pemerannya adalah Dang Leman. Dia ingin menonton film itu hingga puas. Hingga dia sendiri tidak tahu lagi alasan mengapa dia ingin menonton film tersebut.

Catatan : Banyak cinta yang dia persembahkan untuk Republik SLE

Part : 1 2 3 4 5 6