Part V : Tuhan Jangan Kau Cabut Dulu Bunga-bunga Indah Ini

Retak

“Tante itu bagaimana sih? Bikin kopi saja tidak bisa, bikin kopi ayah itu tidak seperti itu! Awas, biar aku saja yang bikin kopi ayah!”

Sambil mengambil alih gelas kopi yang sudah di kasih gula, dan kopi dengan kasar. Sama kasarnya dengan Nada kalimatnya. Lalu menuangkan isinya ke tempat sampah.

“Makanya ajarkan dong… Biar tante bisa… ” Suara dan nada yang sangat lembut.

“Tidak usah! Tante pulang saja!”
Jelas-jelas Tegar mengusir perempuan yang beberapa hari ini rutin menemui ayahnya.

Saat lain….
“Tante, ayah itu suka pedas, kenapa dibawakan makanan manis seperti ini?”

Sambutan kasar yang diterima oleh perempuan yang membawa makanan dan makanan itu dicegat oleh Tegar di pintu begitu melihat wanita itu datang.

“Ooo, tau aku, biar ayah tidak makan kan? Biar ayah sakit kan?! ” Sambil membuang makanan ke tempat sampah.

“Tegar… Makanan itu ayah yang pesan… ” Suara lelaki yang belakangan hobi mandi dan betdandan itu terdengar berusaha lembut dan sabar.

Tegar reflek melihat ayahnya dan kemudian memandang si wanita dengan pandangan kebencian, kemudian berlalu ke kamar.

Dan di waktu yang lain lagi…. Saat makan malam. Tegar meletakkan kursi nya di antara ayahnya dan Claire. Gadis Australia yang sudah lama tinggal di Jogja.

Jago yang duduk di Sisi lain, dan ayahnya berusaha sabar. Sedangkan Claire menjadi kikuk, lalu menunduk. Gadis ini menarik nafas yang dalam lalu berusaha tersenyum.

“Ok, tidak apa-apa. Tegar mau makan apa? Nanti tante ambilkan!”

Claire lalu mengambil piring dan mengisi dengan nasi, lalu diserahkan pada Tegar.

Tranggg…! Piring yang berisi nasi terhempas ke dinding di belakang Jago. Kalau saja Jago tidak menghindar, maka akan mengenai wajahnya. Tegar menepis dengan sangat kuat piring berisi nasi yang diserahkan oleh Claire.

Sesaat semua terdiam! Lalu, PLAK!!!
Tangan ayahnya menampar wajah Tegar! Tegar kaget lalu memandang ayahnya. Mata laki-laki yang menamparnya berkilat menahan amarah! Tegar bangkit dengan kasar lalu setengah berlari masuk kamar.

Claire terpaku sejenak. Menunduk menahan tangis. Beban berat menghantam hatinya. Tapi dia tidak bisa menahannya lalu sesenggukan. Sambil menunduk dia berusaha menahan tangis itu hanya sebatas sesenggukan saja.

Ayah bangkit dari kursinya lalu pindah ke kursi yang tadi diduduki oleh Tegar, meraih tangan gadis itu

“I’m so sorry bab… ” Kemudian mengecup lembut tangan gadis itu.
Claire masih sesenggukan.

Tangan ayah meraih dagu indah milik gadis itu, lalu mengangkatnya.

“Please, look at me bab… “

Perlahan gadis 32 tahun itu mengangkat wajahnya dan berusaha tersenyum.

“I’m ok… ” Samar-samar suara itu keluar.

“Please, maafkan anak saya… ” Suara yang penuh harap!

“Sudah saya maafkan” Suara itu terdengar mantap.

“Terimakasih… ” Tangan yang masih memegang tangan milik Claire lalu mengecup dan mengelus tangan lembut sang gadis. Dengan mata yang sangat memohon dan senyum yang penuh penyesalan itu membuat hati gadis bule itu berdegup kencang.

Jago yang masih berada di kursinya menyaksikan semua adegan ini. Dia kikuk lalu bangkit.

“Ayah, tante, maaf, saya ke belakang dulu mau melihat Tegar …. “

“Oh… Eh,… Iya… Iya… “

Jawab ayahnya gagap. Dia lupa kalau ada anak bujangnya masih ada di situ.

“Harusnya makan malam ini indah, tapi karena anakku semuanya berantakan. Kita makan malam di luar ya…. “

Ah, lembut sekali suara laki-laki yang sudah melewati usia empat puluh tahun itu.

“Tidak usah bab, tolong antarkan saya pulang ke hotel saja.”

“Ok, tapi kita harus makan malam dulu ya? “

“Tapi ada syaratnya.” Jawab Claire.

“Apa?” Tatapan mata lelaki ini sangat romantis.

“Besok pagi, kita ke Gunung Bungkuk.”

Ayah Jago dan Tegar itu berfikir sejenak, lalu tersenyum.

“Ok, kebetulan sudah lama tidak melihat kebun kopi di sana.”

“Tapi anak-anak harus ikut.” Usul Claire.

“Anak-anak tidak bisa ikut. Jago ada tugas kuliah, sementara Tegar ada pelajaran penting di sekolahnya….”

Sebenarnya dalam hati adalah sang ayah tidak mau dua anak itu ikut karena akan mengganggu saat-saat berdua dengan gadis ini.

Claire merenung sejenak sambil memandang wajah mesra laki-laki yang telah membuat dia jatuh cinta pertama kalinya di usia empat belas tahun.

Ketika itu, Claire dan kedua orang tuanya liburan ke Bali, dan laki-laki ini menjadi guide keluarga mereka. Dengan wajah menyerupai wajah orang-orang Jepang, dan penampilan yang sedikit amburadul, kulit merah terbakar matahari, senyum yang menurutnya selalu menggoda hatinya untuk selalu bergetar, membuat dia selalu merindukan lelaki ini, bahkan ketika mereka sudah kembali ke Australia.

Dan cintanya semakin bersemi dan tumbuh indah ketika laki-laki yang sudah berumur 30 tahun itu menyambanginya ke Australia. Dan sejak saat itu cinta mereka dipupuk.

Tapi sayang, ketika si ‘Jepang’ itu pulang ke Indonesia, cinta mereka terhempas.

Claire seperti kehilangan cahaya hidupnya, dan dia ingin mengejar cahaya kehidupannya itu. Begitu tamat kuliah dia meninggalkan negerinya. Tujuannya adalah Bali. Tapi sayang, dia hanya mendapat cerita, kalau Ryu, telah menuju Jogja.

Selama lebih dari 15 tahun dia bolak balik Indonesia-Autralia, mengubek-ubek kota-kota yang dia anggap akan ditinggali oleh laki-laki yang telah dan masih menyandera hatinya, hingga dia membuat perusahaan agen perjalanan di pusat kota Jogja.

Dan usahanya itu telah mempertemukan mereka kembali. Ryu, laki-laki ‘liar’ itu datang ke perusahaannya untuk melakukan satu paket perjalanan berikut video.

Dan video ulang tahun Tegar adalah hasil kerja dirinya.

“Halo miss…! ” Ryu, nama ayah Jago dan Tegar ini mengibas-ngibaskan tangannya di depan mata Claire.

“Are you ok baby? “

Claire tersenyum manis.

Semua adegan itu disaksikan oleh Tegar. yang bersandar di dinding salah satu ruangan. Dan Remaja yang baru seminggu merayakan ulang tahun ke tujuh belas ini semakin panas hatinya.

Gara-gara bule ini, dia dipukul ayahnya dengan sangat keras. Selama ini, semarah-marahnya sang ayah, tapi belum pernah sekalipun ayahnya tersebut mendaratkan tangannya pada tubuh nya ataupun abangnya. Paling-paling hanya mencak-mencak kesurupan.

Malam ini, pertama kalinya dia merasakan pukulan tangan ayahnya. Dia kesakitan. Bukan pukulan itu yang membuat dia sakit. Tapi kehadiran Claire di antara mereka.

Tegar segera masuk kamar dan mengunci dari dalam. Mengambil tas sekolahnya, mengeluarkan isi tas tersebut, lalu mengisinya dengan beberapa setel pakaian.

Perlahan Tegar membuka jendela kamar lalu keluar menuju rombongan driver taksi online yang biasa nongkrong di cafe mereka. Mendekati driver yang sering mengantar dirinya kalau bepergian.

“Bang tolong antar aku ke bandara.”

“Sekarang?” Agung si driver kebingungan.

Tanpa menjawab Tegar langsung menuju mobil dan memasukinya ketika kunci pintunya di buka.

Setelah Agung masuk, Tegar meminta dia untuk menghubungi para driver yang biasa nongkrong di situ, agar jangan memberitahu tentang dirinya kepada ayahnya, abangnya, ataupun ke karyawan-karyawan.

Mobil yang membawa tegar perlahan meninggalkan parkiran.

Tegar menghubungi seseorang dan langsung di angkat oleh yang dihubungi.

“Tulang di mana sekarang?”

“Bah, macam ayahnya pula anak ini. Tak pakai salam lagi” Omel si penerima telpon.

“Tulang di Bengkulu sekarang. Masih di bandara. Baru saja mendarat.”

“Tulang pulang saja ke Medan malam ini.” Entah apa maksud kalimat ini.

“Alamak, awak baru mendaratpun, diusir pulang…. “

“Tulang tunggu saja di gerbang bandara. Adek temui sekarang.”

“Bah, sudah diboleh nya kau bawa kereta oleh ayahmu?”

“Pokoknya adek temui sekarang. Tulang tunggu di gerbang. Lima belas menit sampai.”

Selama dalam perjalanan si supir dan penumpang saling diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Agung yang biasa jadi supir anak ini, menerka-nerka apa yang sedang terjadi antara anak ini dan ayahnya, sementara Tegar, memikirkan Ayahnya dan Claire. Ada amarah tergambar di wajah yang berkumis tipis itu.

BACA JUGA:  Cerpen: Si Miskin Dundai

Mendekati gerbang bandara, Tegar meminta Agung untuk memelankan kendaraan. Ketika dia melihat sosok Ucok, si “tulang”nya, dia meminta berhenti dan menurunkan kaca.

” Tulang, sini..! ” Tegar membuka pintu untuk sang paman.

“Jalan bang! Kita ke Seluma. Ke bengkel tulang.”

“Siap bos! ” Jawab Agung sambil menjalankan kendaraannya.

“Bah, kau ini, sama kayak ayahmu, asal perintah…iyalah, tulang ikut saja apa kata kau…!” Sesaat sunyi lalu Tegar bersuara.

“Tulang, malam ini dan beberapa hari ke depan adek mau nginap di bengkel tulang.”

Ucok memperhatikan anak yang duduk di sampingnya. Lalu merangkul pundak anak itu.

“Hey, ada apa rupanya? Marah sama siapa? Atau ribut sama ayahmu?”

Ketika tulangnya menyebut kata ‘ayah’, Tegar langsung melepaskan rangkulan laki-laki itu. Kemudian menggeser duduknya merapat ke sisi lain dinding mobil.

Ucok melihat raut wajah Tegar dan memperhatikan tas sekolah yang penuh, tapi bukan oleh buku-buku. Dalam hati dia menduga. Tegar kabur dari ayahnya.

Setelah makan malam berdua saja dengan Claire, setelah mengantar wanita itu pulang ke hotel, ayah Jago dan Tegar yang bernama Ryu tersebut pulang ke cafe. Dan ternyata sudah tutup, dan semua karyawan sudah pulang.

Laki-laki yang sekarang tampil rapi ini lalu memeriksa kamar anak-anaknya. Pertama kamar Jago. Dia melihat Jago lagi memeriksa pembukuan cafe. Dia mendekati.

“Bagaimana perkembangannya, bang? ” Tanyanya sambil memperhatikan angka-angka di buku yang dikerjakan oleh Jago.

“Bulan ini ada penurunan hingga 20 persen, yah…!” Jawab pemuda sembilan belas tahun ini.

“Kamu harus membuat program untuk bulan depan. Survey para pesaing kita.”

“Baik ayah… “

Lalu keluar sambil menutup pintu dan mendekati pintu kamar Tegar. Ketika akan dibuka, dia mengernyitkan dahi.

“Tumben pintunya di kunci. Pasti masih marah.” Pikirnya.

“Dek, ayah boleh tidur sama adek malam ini? Ayah mau minta maaf.”

Biasanya kata-kata ini sangat mumpuni untuk membujuk sang anak jika merajuk.

Kalimat itu diucapkan dengan nada menyesal sambil mengetuk pintu kamar anaknya. Tapi tidak Ada jawaban dari dalam. Ketika dia ingin mengetuk kembali, HP di tangannya berbunyi. Dia melihat ke layar. Ada pesan masuk dari Claire, lalu menuju kamarnya sendiri.

Di kamar dia membuka pesan tersebut.

“Night honey, sleep well. Jangan lupa jemput aku jam enam.”

Dengan riang jempolnya menari-nari mengetik huruf-huruf pada keyboard.

“Ok beib, bangunkan aku sebelum itu.”

Satu jam lewat beberapa menit, Ayah dan Claire memasuki desa Raja Besi, desa terakhir sebelum wilayah Gunung Bungkuk. Berhenti di depan rumah yang masih mempertahankan bentuk tradisionalnya, membuka pintu pagar dan menggiring motor ke bawah rumah, lalu memarkirkan di tempat yang biasa dia letakkan benda tersebut. Berjalan menuju tangga rumah, membuka pintu beranda yang tidak terkunci, lalu meletakkan helm pada tempat yang biasa dia letakkan. Claire mengikuti dari belakang. Laki-laki ini lalu memeriksa pintu menuju ruang tamu. Terkunci.

“Mereka tidak ada. Kita langsung saja ke kebun.” Kalimat pemberitahuan sekaligus perintah.

Butuh waktu hampir tiga jam berjalan kaki menuju tempat tujuan. Naik turun bukit, kadang jalan berbatu dan berlumpur. Kadang menyisiri pinggir tebing yang curam.

Di jalan yang mendatar mereka kadang saling kejar-kejaran. Dan ini menarik perhatian orang-orang yang mereka temui, atau yang kebetulan melihat mereka.

Hebatnya, Claire tidak memperlihatkan wajah kelelahan. Malah semakin segar. Beda dengan Ryu, nafasnya masih saja tersengal-sengal, walaupun dia sudah sering melewati jalan ini. Maklum saja, laki-laki ini adalah perokok berat.

Pada tempat yang berpemandangan indah, atau yang menarik, mereka berhenti menikmati pemandangan tersebut, sambil istirahat sejenak, dan menikmati makanan yang mereka bawa. Setelah selesai, mereka melanjutkan perjalanan, tidak lupa menyimpan sampah pada kantong tas mereka.

Udara gunung yang sejuk, dan pemandangan yang indah telah menyertai perjalanan sejoli yang kasmaran ini. Dan kedatangan mereka disambut dengan sangat baik oleh penjaga kebun.

Di bawah batang yang rimbun, di tepi sungai, mereka duduk bersisian. Dan kopi yang dibuatkan oleh istri penjaga kebun mereka bawa dan diletakkan di sisi mereka. Sepertinya mereka ingin memancing.

“Bab…., ” Di tengah canda mereka sambil menunggu ikan memakan umpan pancing, Claire ingin bicara serius.

“Go ahead honey…., “

“Tentang kita…. Baiknya kita tunda dulu rencana kita…. “

Mata Ryu memandang wajah perempuan di sampingnya, melihat sinar matanya. Ada keseriusan di situ.

“But, why…? Karena Tegarkah?”

“Sayang…. Anak itu sangat baik, dan sangat pintar. Sama sepertimu.”

Mata biru yang teduh milik Claire mengerling pada Ryu. Ryu merasa pujian untuk diirinya itu hanya sebagai penyenang hatinya saja.

Claire meraih tangan Ryu, dan menggenggam hangat.

“Di usianya sekarang, dia sedang mencari idola baginya. Dan bagi dia, dirimu adalah idola yang sempurna. Dia belum siap berbagi dirimu pada orang lain. Tanpa kau sadari, dia mendominasi dalam merebut perhatianmu dari abangnya. Apakah kamu menyadarinya itu selama ini?

Apakah kau tidak melihat usaha kerasnya untuk menyerupaimu? Gaya berpakaian, gaya dudukmu, bahkan gaya berbicara?”

Ryu merenung sejenak lalu bertanya.

“Apakah itu akan berbahaya baginya?” Ada nada khawatir di suara itu.

“Dalam tahap yang ekstrim itu akan berbahaya, misalnya melakukan operasi plastik misalnya. Tapi Tegar belum sampai pada tahap itu. Dia hanya masih mencari-cari passion dirinya. Nanti seiring waktu, dia akan jadi Tegar yang sebagaimana dirinya. Tugas kita sekarang menjaga imajinasinya tentang dirinya agar jangan hancur.”

Ryu menyimak setiap kalimat wanita lulusan jurusan psychology ini.

“Kelakuan-kelakuan kasarnya padaku bukan karena dia tidak suka padaku, tapi karena dia cemburu. Cemburu jika kamu lebih memperhatikan aku dari pada dia.”

Ryu menyimak dengan seksama apa yang diucapkan oleh wanita yang ingin dia jadikan ibu bagi anak-anaknya. Dan dia tidak menyangka apa yang diuraikan oleh wanita tersebut.

“Tapi itu bukan alasan untuk kita menunda pernikahan kita kan? Kita akan pelan-pelan memberi pemahaman pada dia setelah kita menikah… “

Claire mengecup tangan laki-laki di sampingnya lalu meletakkan di pangkuannya.

“Justru itu adalah alasan utama aku memutuskan menunda rencana kita. Usianya saat ini adalah puncak kelabilannya. Jika kita memaksa keinginan kita, jiwanya akan terluka. Dia akan sangat kecewa padamu. Bangunan yang indah akan sosokmu dalam imajinasinya akan hancur dan juga akan menghancurkan jiwanya.

Kita menghindari kehancuran jiwanya, agar keindahan dalam dirinya tetap utuh.”

Ryu memandang mata Claire. Mencari makna kalimat terakhir. Claire tersenyum sambil melepaskan pegangannya di tangan Ryu. Kali ini Ryu yang meraih tangan itu dan menggenggamnya.

“Sayang…. Tegar walaupun bukan anak biologismu, tapi wajah dan sikapnya hampir sama denganmu. Bayangkan apa yang terjadi jika posisi dia sekarang adalah dirimu… “

Claire menatap mesra mata Ryu yang sedang memandangnya.

Ryu lalu mengalihkan pandangannya pada ujung joran pancing, lalu menyeberangi pemandangan yang ada di seberang sungai. Sesaat kemudian dia pejamkan mata. Tangannya masih memegang jemari tangan Claire.

Suara aliran air, desau angin yang lembut membelai daun, suara kicau burung mengiringi pikirannya.

“Aku akan kabur, lalu menyusun rencana untuk membunuh orang yang telah merusak hidupku, melakukan hal-hal gila untuk menunjukkan kekecewaanku… ”

Lalu dia tersentak dan terkejut sendiri dengan ucapannya. Dia memandang takut, cemas, dan khawatir pada Claire. Wanita ini justru memandang dia dengan tersenyum….

Tiba-tiba dia ingin cepat-cepat pulang. Dia belum melihat anaknya hari ini.

Bersambung…

Part 1 2 3 4 5

Komentar ditutup.