Part VII : Tuhan Jangan Kau Cabut Dulu Bunga-bunga Indah Ini

Karya : Bagus, Republik SLE

Penunggang Kegelapan

Malam ketika kabur setelah ditampar dengan sangat keras oleh ayahnya, setelah menjemput tulang Ucok di bandara, dan menginstruksikan Agung, driver taksi on line menuju Seluma, ke bengkel Ucok, Tegar berencana untuk tinggal beberapa hari ke depan selama ‘pelariannya’, di bengkel sang paman.

Mobil berjalan dengan kecepatan normal. Agung dan Ucok bicara tentang automotive, klop, mereka punya minat yang sama.

Di sela obrolan seru mereka, sekali-kali mereka melirik Tegar yang sama sekali tidak menghiraukan mereka. Kadang-kadang Agung atau Ucok mengajak untuk ngobrol, tapi tidak di tanggapi sama sekali.

Anak ini masuk pada dunianya sendiri. Wajah tujuhbelasannya yang tampan itu gelap. Sama gelapnya dengan langit yang mengiringi perjalanan mereka. Mata bening itu kadang sendu, kadang memancarkan amarah. Jika pada situasi seperti ini, gerahamnya mengeras, sambil meninju pahanya sendiri, atau sandaran jok di depannya. Tegar bergulat dengan jiwanya.

Ucok khawatir dengan pergulatan batin ini, tapi untuk saat ini dia biarkan saja dulu. Anak ini sedang mengalami guncangan dan dalam emosi yang lagi tinggi. Nanti, kalau sudah sampai bengkel, dia akan mencari tahu masalahnya.

Tidak memakan waktu sejam, mereka sudah sampai tujuan. Bengkel sekaligus studio kerja tempat Ucok mengaplikasikan ide-ide liarnya terhadap komposisi warna pada media semua kendaraan, baik motor atau mobil.

Agung mengarahkan kendaraannya memasuki halaman. Setelah berhenti, Tegar langsung turun. Dia lupa akan tasnya. Ucok yang melihat ini geleng-geleng kepala dan meraih tas tersebut. Tas Tegar yang berat diambil oleh Agung dan membawa ke teras rumah yang ada di belakang bengkel. Ucok mendahului Agung sambil menenteng tasnya sendiri.

Begitu sampai rumah, Tegar mengelilingi rumah. Dia memperhatikan jalan menuju atap. Di samping dapur, ada tembok yang bisa menghubungkan dia ke tempat yang ingin dia tuju. Menaiki tembok tersebut, lalu melangkah, di tempat yang menurutnya cook, dia berhenti dan langsung berbaring. Menengadah langit yang gelap dan lembab.

Matanya tajam memandang awan kelabu dan pekat jauh di atas sana. Dia ingin menembus gelap itu dan menerka-nerka apa yang ada di balik kegelapan tersebut. Dia hela nafas dan membuangnya dengan marah.

Pikirannya menggambarkan kisah-kisah hidupnya pada gumpalan-gumpalan awan yang menutupi pandangannya. Ada senyum sangat manis dan menenangkan dari ayahnya ketika meminta dia dan abangnya untuk mengambil satu pak sosis untuk masing-masing. Ada dekapan hangat dari ayahnya ketika mereka kedinginan karena hujan yang merembes dari atap ‘rumah’ mereka yang bocor di mana-mana, dan Tegar merasa terlindungi oleh dekapan itu.

Tulang dari tubuh ayahnya yang tinggi tubuhnya tak sampai 165 cm itu dia rasakan kokoh dan kuat ketika menggendongnya menembus hujan badai yang disertai guruh dan petir pada malam petaka sekaligus titik balik dari kehidupan dia dan abangnya.

Bayangan-bayangan yang ada dalam pikirannya tentang amarah sang ayah yang menghawatirkan dia dan abangnya menyerupai orang kesurupan pun dia gambarkan pada awan hitam di atas pandangannya itu.

“Ah, ayah.. . Parah.. . . ” Bisiknya sambil tersenyum dan menutup matanya. Dia ingin meresapi setiap detik kenangan itu.

Walau terpejam, bayangan-bayangan dalam pikirannya terpantul di pelupuk matanya. Terutama saat ayahnya memeluk dirinya dengan wajah lucu menggoda dalam usaha membujuk dirinya yang lagi sangat marah dan kecewa dI hari ulang tahunnya, dan dia balas dengan pukulan-pukulan pada wajah, bahu, dan punggung ayah tercinta dan tersayang tersebut. Kembali senyum yang sangat bahagia menghias malam gelap ini.

PLAK!!! Suara pukulan pada wajahnya menhenyakkan kesadarannya. Dia merasakan sakit tiba-tiba. Wajahnya menoleh ke kiri dan kanan. Seolah pukulan itu nyata di wajahnya saat ini, dan Tegar meraba pipi kirinya, yang saat makan malam tadi tampar oleh ayahnya.

Wajah yang tadi diselimuti kebahagiaan berubah dengan sangat cepat. Ada amarah yang sangat besar!

“Claire, iya, Claire!” Ucapnya dengan dendam mendalam!

Kedatangan gadis Australia itu beberapa hari ini telah mengubah segalanya. Claire telah menyiram minyak amarah di hati Tegar dan memantik minyak itu menjadi api amarah yang berkobar-kobar semakin membesar setiap hari.

Claire telah memonopoli hari-hari ayahnya, hingga Tegar merasa ayahnya tidak ada waktu lagi bagi dirinya dan abangnya, walaupun selama ini mereka juga sering ditinggalkan oleh sang ayah berhari-hari. Tapi konteks dari dua hal itu berbeda.

Memikirkan itu, hati Tegar bergelora. Dia pandang gelapnya awan dengan tajam. Dia membayangkan dirinya melompati awan, berdiri gagah di atasnya dan mengendalikan pergerakan awan tersebut.

‘Penguasaan’ awan gelap itu terganggu oleh getar HP di saku celananya. Agak malas dia mengambil benda tersebut, lalu melihat layarnya. Rupanya sang tulang menelponnya. Dia sambut lalu menjawab telpon tersebut.

“Di atas atap! ” Singkat dan padat. Lalu mematikan HP tersebut.

“Bah, belum sempat awak bicara, sudah di tutup.” Ucok yang dari tadi sudah bolak-balik ke dapur, kamar, ke teras, ke bengkel mencari-cari Tegar, hanya geleng-geleng kepala dengan kelakuan ‘ponakannya’.

Dengan susah payah Ucok berhasil memanjat tembok dan berusaha mencapai atap. Baru saja satu kakinya menginjak atap, ditahan oleh kalimat Tegar.

“Tulang, tulang lihat awan gelap itu? Adek ingin menjadi penunggangnya.”

Kalimat itu tenang dan sangat dingin. Sesaat Ucok meresapi kalimat itu, lalu bergidik.

“Bah, bahasamu tinggi kali. Tak paham la tulang.. . ” Sekedar mengurangi rasa dingin di hatinya.

Ketika dia ingin menaikkan satu kakinya lagi, kembali kalimat Tegar menghentikan keinginannya.

“Tulang, kopi buatan tulang enak, tolong bikin kopi untuk adek ya.”

Ucok bengong, tidak percaya ini terjadi pada dirinya. Dia merasa ini kekejaman luar biasa malam ini.

“Bah, kau ini, tak kau lihat tulang tua laki-laki ini susah payah naik ke sini.. ..”

Dia mau melanjutkan lagi kalimat ketidakpercayaannya, tapi ketika dia melihat senyum manis memohon remaja ini, hatinya luluh juga.

“Iyalah, kau tunggu saja di sini. Tulang buatkan untuk kau kopi paling enak di bengkel sini.. . “

Dengan susah payah juga dia turun. Sampai di bawah dan melangkah menuju dapur, dia menggerutu lagi.

“Untung kau ganteng. Kalau kau jelek, sudah aku kasih kau ke nyamuk-nyamuk, biar kau dikeroyoknyapun! “

Belum sempat kalimat itu terucap sempurna, Tegar merengkuh penggangnya dengan kedua tangan lalu mengangkat tubuh langsing dan berisi tersebut.

“Hayo…tulang, ngomong apa tadi.. .hayooo… Sekarang adek sudah kuat lo.. . ”

Tubuh yang mengangkatnya itu membawa dirinya sambil berlari, dengan tawa riang.

“Awas, nanti kita jatuh dek.. . “

“Baru segini, keciiiillll.. . . ” Tegar semakin keras tertawa.

“Awas ya, Tulang balas kau nanti.. . “

Tawa mereka menyibak kabut malam gelap berdendam ini.

Matahari sepenggalah lebih menyengat dari biasanya. Ucok sedang memeriksa kelengkapan kompresor sebelum digunakan.

Tegar baru saja keluar. Sudah mandi dan ganti pakaian, lalu mendekati sang tulang, ketika melewati deretan-deretan bonsai di antara bengkel dan rumah, dia tertarik dengan salah satu bonsai kelapa.

“Sudah berapa tahun ini Tulang?”

Ucok berhenti dan memperhatikan yang dimaksud oleh Tegar.

“Tiga tahun!” Jawabnya singkat.

Tegar berjongkok dan memperhatikan lebih detail tanaman tersebut.

“Bagus ini Tulang. Tidak seperti punya nya ayah. Jelek, kurus, dan banyak bintik-bintiknya.”

Hampir saja Ucok tertawa kelepasan. Kalimat polos Tegar bisa saja mengarahkan persepsi ke hal-hal lain, untung saja temanya adalah bonsai.

“Iya, ayahmu itu sebenarnya tidak hobi bertanam. Hobinya itu kelayapan ke mana-mana. Masuk keluar hutan, naik turun gunung, nyebrang sungai, nyebrang laut.. . “

Tegar tidak memperhatikan kalimat pamannya. Karena dia sudah tahu itu. Dan dia tidak ingin membicarakan hobi ayahnya.

“Tapi dia sekarang sedang betah di cafe tuh. Dan keluarnya pas cafe sudah tutup. Pulang kembali sekitar jam satu lebih.”

Entah apa maksudnya menyampaikan hal itu pada Ucok. Suaranya terdengar kesal.

“Ke mana?” Ucok mencoba menanggapi. Memancing.

“Ngantar Claire pulang ke hotel!”

Nada suara Tegar semakin kesal. Pancingan Ucok hampir di makan oleh ikannya.

“Bah, siapa pula itu Claire?” Ucok penasaran dengan pemilik nama tersebut. Rasa-rasanya dia pernah mendengar nama itu.

“Itu, tante-tante ganjen dari Australia. Sejak seminggu ini tiap hari ke cafe. Menggoda ayah.. . !”

“Trus, ayahmu tergoda?”

“Ayah juga ganjen! Gak sadar kalau sudah tua!!”

Hampir saja Ucok terkekeh!

“Trus, abangmu?”

“Sama kayak ayah, ganjen! Abang senang kalau tante-tante itu dekat ayah.. . !”

Sambil membersihkan kompresor, Ucok mencoba mencari-cari sebab keberadaan Tegar di sini saat ini. Kesimpulan yang dia dapat sementara ini, Tegar cemburu dan merasa terabaikan.

‘Adek kenapa kabur?”

Seketika tubuh Tegar menegang. Wajahnya dingin dengan geraham mengatup kuat. Matanya tajam memandang Ucok. Ucok tertegun!
Mata itu adalah mata Ryu jika sedang menyimpan amarah. Sesaat dia merasa dirinya menyusut! Dia berusha sekuat tenaga mengembalikan nyalinya yang sesaat berada entah di mana.

Bukan karena dia takut dengan pandangan itu, tapi dia takut dengan jiwa yang sedang menyimpan amarah itu. Ucok paham apa yang bakal terjadi selanjutnya. Salah sedikit saja menyikapinya, maka akan fatal akibatnya di kemudian hari.

Ucok berusaha menguasai dirinya dan mengembalikan emosi Tegar.

“Dek, kita ke sawah yuk. Sawah habis panen. Banyak belut di situ.”

Ucok berhasil. Perlahan wajah yang kaku dan dingin itu mulai merona. Ketika wajah Tegar sudah kembali pada ketampanan dan kesegaran seorang remajanya, dia tersenyum bersemangat.

“Ayo tulang. Kita berangkat sekarang!”

“Ayo, tapi bantu dulu Tulang beres-beres bengkel… . “

“Yah… Tulang, bilang aja kalau nyuruh adek beres-beres bengkel.. “

Tegar pura-pura kesal. Ucok malah terkekeh.

“Mudah kalinya kau dibujuk, sama kayak a.. . ” Hampir saja dia kelepasan kata.

BACA JUGA:  Sebab dan Resiko jadi Wanita Gratisan (Sebuah Renungan)

“Sama kayak siapa tulang?!” Seketika wajah Tegar menegang kembali.

Ucok gelagapan mencari-cari alasan yang masuk akal.

“Sama kayak anak Tulang yang di Medan sana, iya kayak anak tulang kau itu, mudah dibujuk.”

Lalu dia terkekeh walaupun dia sendiri itu merasakan tawa yang terpaksa.

“Ayo cepat kerjanya, semakin cepat selesai, semakin cepat kita perang lumpurnya.”

“Tulang, sawahnya tidak ada lintahkan?”

“Sama persis ayahnya. Takut lintah.. .” Bisik hati ucok. Dia tersenyum geli.

“Aih, takut lintah kau rupanya.”

“Nggak kok, cuma geli aja!”

Alasan yang sama ketika ditanyakan pada ayahnya. Tapi berbanding terbalik dengan kenyataan saat ketemu pacet di hutan. Laki-laki itu berbalik, lalu berlarian sambil melompat-lompat. Wajahnya pucat. Tubuhnya lemas. Pandangannya mengiba. Ucok terkekeh panjang menyaksikan semuanya. Saat itu dia berpikir, gampang sekali menaklukkan ‘abang’nya tersebut. Cukup dengan pacet atau lintah… !

Ucok kembali terkekeh. Saat ini Tegar sangat tidak suka mendengar Ucok tertawa.

Ketika Tegar keluar dari kamar mandi, hidungnya menangkap aroma wangi yang menggugah seleranya. Tubuhnya masih terlilit handuk, dia menghampiri sumber aroma tersebut. Di dapur Ucok masih sibuk dengan panggangan berisi belut hasil bermain lumpur siang tadi.

“Masih banyak, ya tulang?”

“Masih. Sana pakai baju dulu. Nanti melorot handuk kau, sial pula Tulang nanti.. . ” Diikuti oleh ciri khasnya, terkekeh.

“Takutnya nanti Tulang malah nafsu, ngeliat punya adek” Kali ini Tegar yang terkekeh sambil berlari ke kamar.

“Nafsu dibakar sama kayak belut-belut ini.. . ” Ucok membalas candaan anak angkat saudara angkatnya ini. Selanjutnya dia sibuk dengan panggangan belut kembali.

Di kamar, setelah berpakaian, Tegar mengambil HP yang tergeletak di atas meja lalu berbaring di atas tempat tidur dengan posisi kaki menginjak lantai. Lalu mengaktifkan benda yang dia matikan setelah menjawab telpon Ucok di atas atap tadi malam.

Sambil menunggu benda dalam genggamannya aktif, matanya memperhatikan kamar yang dia tempati saat ini. Ruang 3 x 3 meter ini baru saja di bangun.

“Khusus tulang bangun kalau kau atau abangmu ke sini.”

Tulangnya menjelaskan ketika mengantarkan Tegar ke kamar.

HP di tangannya bergetar terus. Ketika di lihat banyak sekali laporan panggilan, baik dari ayahnya ataupun dari Jago. Kemudian mengecek wa. Sama saja. Dia abaikan pesan dari ayahnya, dan hanya membuka pesan dari abangnya. Rata-rata menanyakan keberadaannya.

Tegar membuka pesan suara abangnya.

“Adek di mana? Ayah kesurupan terus sejak sore.”

Tegar melihat laporan jam pesan masuk dan memperhatikan sudut kiri HP di tangannya. Lima belas menit yang lalu, ucapnya dalam hati.
Di wajah, mata dan bibinya mengguratkan kepuasan. Dia merasa telah menang telak dalam ronde pertama ini terhadap laki-laki ganjen tersebut. Dia tersenyum puas.

Pesan suara berikutnya dibuka lagi.

“Dek, cepat pulang, abang tidak sanggup melihat ayah cemas begini.”

Tiba-tiba dia rindu abangnya. Siapa yang akan melindungi dia dari amukan laki-laki tua yang jadi gila itu kalau lagi kalap?

Satu sisi dia ingin pulang. Dia tidak tega melihat abangnya harus menyaksikan kemarahan ayahnya, atau malah jadi pelampiasan ayahnya.

Tapi ketika mengingat sikap ayahnya tadi malam terhadap dirinya dan Claire, seketika iba dan rindu itu sirna.

Tegar langsung mematikan kembali HP tersebut. Bibir yang kemerahan itu tersenyum puas mengingat isi pesan-pesan dari abangnya. Tidak lama kemudian dia menguap. Entah terlalu lelah bermain lumpur di sawah tadi, atau karena senang, Tegar tertidur dalam posisi seperti awal dia berbaring.

“Dek, ayo makan.. . !” Ucok membuka pintu yang tidak terkunci dan melongok ke dalam.

“Bah, sudah tidurpun.. .. “

Melihat posisi tidur Tegar dengan kaki menjuntai, Ucok masuk ke kamar lalu mengangkat kedua kaki itu ke atas tempat tidur dan mengatur posisi tidur Tegar agar nyaman.

“Berat juga badanmu ya.. . ”

Setelah selesai, dia menyelimuti tubuh Tegar. Dan segera keluar. Sebelum menutup pintu, Ucok memperhatikan kembali tubuh muda yang tertidur pulas itu.

Ucok kembali ke ruang makan dan membereskan kembali makanan yang sudah di tata di atas meja makan. Walau lapar, tapi dia menunda untuk makan. Dia ingin Tegar lebih dulu menikmati hasil tangkapan mereka. Tepatnya sih tangkapan Ucok sendiri. Karena Tegar juga sama seperti ayahnya, takut sama belut, pacet juga ulat.

Kadang Ucok juga tidak habis pikir, bagaimana orang yang takut dengan pacet dan ulat, tapi senang dengan hutan dan lumpur sawah?

“Bukan takut, Cok, tapi geli!” Selalu itu jawaban setiap kali di tanya. Sama dengan jawaban Tegar tadi sore.

Ucok menyeduh kopi, dan segera membawa ke teras. Baru saja dia ingin menyalakan api rokok, sebuah mobil masuk dengan cepat dan hampir saja menyerempet tiang teras bengkel dan segera berhenti. Lampu mobil tersebut menyilaukan mata Ucok.

Mobil berhenti, lampu dan mesin dimatikan, lalu pintu dibuka dengan kasar. Begitu supirnya turun, pintu ditutup, juga dengan kasar.

“Mana anakku, cok!”

Belum lagi Ucok sadar penuh dengan apa yang terjadi, muncul laki-laki yang seharian ini ada dalam pikirannya, dengan wajah cemas. Laki-laki itu langsung mau masuk.

“Bah, berisik kali nya kau bang. Pelankan suaramu. Ponakanku baru saja tidur. Nanti dia terbangun.”

Ucok langsung bangkit dan menghalangi di pintu. Sesaat Ryu terdiam dan mengatur nada suaranya.

“Dia anakku, Cok, kok kamu yang berkuasa?”

“Bang, tapi ini rumahku” Timpal Ucok sambil terkekeh.

“Hentikan tawamu, Cok, jijik aku dengarnya.”

Ucap Ryu kesal. Kemudian dia duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Ucok.

Ucok memandang pahlawannya ini. Lalu memandang kopi di atas meja. Dia merasa ada yang aneh. Biasanya abangnya ini akan langsung menyeruput kopinya. Bukan karena laki-laki itu tidak sopan, tapi itu adalah caranya semakin mengakrabkan diri. Awal-awal Ucok merasa kurang nyaman, tapi semakin lama semakin terbiasa, dan malah merasa ada sedikit rasa penasaran jika Ryu bersikap seperti sekarang.

Lama Ucok memperhatikan wajah orang yang lebih memikirkan orang lain dari pada dirinya ini. Wajah itu teramat susah. Kelihatan kalau dia sudah tua. Ucok terkekeh dalam hati ketika melihat wajah itu.

“Apa kabar Claire, bang?” Ucok membuka obrolan.

Ryu hanya melirik Ucok. Lalu dia merentangkan kaki dan tubuhnya yang lelah. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan-lahan.

“Itulah yang membuat aku susah, Cok. Tegar belum bisa terima.”

Ucok menyimak kalimat itu, dan memperhatikan wajah yang lagi bicara itu dengan seksama.

“Dia selalu kasar pada Claire setiap gadis itu datang ke cafe. Puncaknya tadi malam, hingga tanpa sadar aku menamparnya.”

Reflek Ucok bangkit dan akan mencengkeram leher Ryu. Secara reflek juga Ryu menangis lalu melompat menghindar. Tapi Ucok langsung mengejar dan cengkeraman berikutnya dapat menangkap leher baju laki-laki yang mulai lamban ini.

Ucok langsung menyeret dan mendorong Ryu ke dinding bengkel. Di sini Ucok menekan leher dengan lengan yang masih mencengkeram leher kaos, dan tangan kanannya dihantamkan dengan sekuat tenaga ke perut.

Ryu mau membalas, tapi tidak punya ruang dan peluang.

“Kau sampai tampar ponakanku gara-gara wanita itu bang?! Kejam kalinya kau!”

Ucok mengatur suaranya agar tidak membangunkan Tegar. Dia tidak ingin anak itu mengetahui kejadian ini.

Mata Ucok memandang dengan amarah. Dia langsung tersulut emosi dan tidak bisa mengontol emosinya tersebut ketika mendengar ‘ponakannya’ di tampar.

Ryu langsung lemas ketika mendengar kalimat Ucok.

“Ayo pukul aku lagi, Cok. Pukul aku lebih keras! Aku salah, Cok. Aku salah.. . !” Suara ini juga di atur tidak sampai ke kamar di mana Tegar tidur.

Ryu pasrah menerima pukulan jika Ucok mau memukul kembali. Benar-benar pasrah demi menebus kesalahannya.

Ucok memandang ganas mata yang berkaca-kaca tersebut. Perlahan emosinya menurun, lalu menghempaskan tubuh Ryu ke tanah. Setelah itu dia kembali ke kursi, menghirup kopi yang belum diminum sejak tadi. Mengambil rokok, menyalakan apinya, dan menghisap dalam-dalam. Dia butuh penenang untuk menurunkan emosinya hingga titik nol. Matanya memandang kesal ke Ryu yang sekarang terduduk dengan siku bertumpu pada kedua lutut.

Ryu bangkit, perlahan melangkah menuju kursi. Ketika dia duduk, ada sedikit ekspresi meringis di wajahnya. Ada sedikit rasa sakit masih tersisa diperutnya, di posisi pukulan Ucok tadi.

Ketika dia sudah duduk dengan sempurna, dia meraih gelas kopi Ucok dan meminumnya. Mengambil rokok, menyalakan, dan menghisap dalam-dalam. Lalu perlahan menghembuskan asapnya ke udara.

“Hati-hati bang, abang sudah mulai lamban dan lemah.”

Tidak ada reaksi, tidak ada jawaban. Hanya hisapan dan hembusan asap rokok ke udara.

Bagi Ryu, tanpa diperingati oleh Ucokpun dia sudah merasakan itu. Selama ini belum pernah Ucok bisa menyerangnya, dalam kondisi dan situasi bagaimanapun.

Ucok memperhatikan punggung tangan Ryu yang memegang rokok. Ada goresan luka di situ. Segera dia bangkit dan menuju ke dalam. Mengambil antiseptic, kapas, alkohol dan perban. Ketika melewati kamar Tegar, dia membuka dan memperhatikan sosok yang lagi tidur pulas itu. Ucok lega.

Sesampai di luar dia menarik kursinya lebih dekat dengan Ryu. Sambil duduk dia meraih tangan yang berdarah itu, membersihkan dengan kapas yang sudah dibasahi dengan alcohol.

“Tentang Claire, bang. Tolong pikirkan lagi. Pikirkan tentang Tegar, dan pikirkan nasib gadis itu. Jangan sampai jadi ‘korban tumbal’ ke enam…. !”

Ucok memberikan pertimbangan pada laki-laki yang dia hormati ini, sambil membalut tangan yang lecet karena dia hempaskan ke tanah tadi.

Ryu kembali menghisap asap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan ke udara dengan keras.

Dadanya semakin sesak. Sementara udara di sekitar mereka mulai dingin.

Part : 1 2 3 4 5 6 7