Peran Cawan Sirih Puyang Dalam Menyelamatkan Hutan

Bungei Sekedei, adalah sebutan lokal untuk Bunga Rafflesia. Kata Bungei Sekedei dapat diartikan Bunga Cawan Sirih dan pemiliknya adalah ‘Puyang’ atau ‘Nenek’.

Sedangkan Cawan Sirih adalah sebuah simbol tingginya adat khususnya bagi adat suku yang berada di daerah pegunungan Bengkulu dalam hal ini adalah Suku Rejang dan merupakan lambang adat yang harus ada di setiap pertemuan dan acara adat

‘Puyang’ atau ‘Nenek’ dipakai sebagai kata pengganti untuk menyebut harimau. Dalam kepercayaan umumnya masyarakat dalam wilayah Bengkulu, jika mau menyebut kata ‘harimau’ haruslah disebut dengan kata pengganti tersebut agar terhindar dari kemarahan yang bisa menyebabkan diserang bahkan hingga dibunuh oleh sang penunggu hutan di sekitar mereka

Di dalam peradaban suku Rejang, Bungei Sekedei atau Cawan Sirih Puyang , dahulunya sangat di segani oleh masyarakat suku yang mendiami wilayah pegunungan ini dan telah berperan banyak dalam menyelamatkan dan menjaga kelestarian hutan, yang di dalamnya banyak tumbuh berbagai kebutuhan masyarakat di sekitar hutan tersebut.

Pada masa itu, masyarakat suku Rejang sangat meyakini Bungei Sekedei adalah sebuah Sekedei (cawan sirih) yang di miliki oleh ‘puyang’ atau ‘nenek’ penjaga hutan mereka. Jika masyarakat yang pergi berburu atau masuk hutan, akan berusaha menghindari untuk masuk ataupun melewati habitat tumbuhnya Bungei Sekedei (bunga yang akhirnya dinamakan Bunga Rafflesia Arnoldi oleh gubernur Inggris yang sedang melakukan ekspedisi ke tanah Rejang) karena mereka mempercayai di sekitar bunga tersebut pasti ada sosok harimau atau puyang/nenek hutan menjaga cawan sirih tersebut.

Suku pegunungan sangat bergantung pada hutan, karena kebutuhan pokok sehari hari mereka seperti umbi-umbian, buah-buahan, sayur mayur, hingga kebutuhan pelengkap lebih banyak berasal dari isi hutan, seperti tikar daun pandan, rotan, yang digunakan untuk sebagai alas tempat duduk atau tidur. Selain itu juga kebutuhan dalam membuat perlindungan seperti rumah, pun bahan kayu di ambil dari hutan. Jika ada yang sakit, obatnyapun di ambil dari hutan.

Perkembangan zaman dan keserakahan segelintir orang dan kelompok yang hedon telah menyingkirkan peran Bungei Sekedei atau Cawan Sirih Puyang/Nenek. Dulu, saat nenek moyang yang berfikir jauh ke depan terhadap peran hutan bagi kehidupan, saat masih patuh pada aturan adat dan kepercayaan lokal, sangatlah banyak habitat bunga langka yang menjadi identitas provinsi Bengkulu ini, sampai-sampai bunga ini tumbuh di daerah perkebunan. Meskipun bunga ini tumbuh dalam perkebunan, masyarakat tidak akan mengganggu bunga yang memiliki lima kelopak sempurna ini, apalagi bermaksud untuk menghancurkannya, sebab mereka meyakini bunga yg tumbuh itu di jaga oleh Puyang/Nenek dan mereka juga tak ingin mengambil resiko akan kemarahan sang puyang hutan tersebut.

Waktu demi waktu telah melunturkan cerita tentang Bungei Sekedei dan akibatnya mulai juga mengurangi luas wilayah tumbuhnya Bunga Rafflesia di daerah suku pegunungan (suku Rejang). Namun sebagian di antara generasi ini, masih tersimpan cerita betapa di segani bunga ini, Bunga Sekedei si Cawan Sirih Puyang/Nenek.

Sumber Ibnu Rafflesia, tokoh pemuda Bengkulu Tengah.