Perjalanan ke-2 Air Terjun Curug Sembilan : Tebing Tinggi dan Batu Berlumut
Masih ingat dengan perjalanan pertama kami ke air terjun Curug Sembilan yang gagal?
Tanggal 17 Juli 2021 lalu saya bersama tim youtube ‘Bung Koni’ dan Instagram ‘knowing_bengkulu’ mengadakan perjalanan ulang menuju lokasi air terjun tersebut.
BACA JUGA: AIR TERJUN CURUG SEMBILAN ” BANGSADH”
Kali ini, berbekal pengalaman pertama, kami meninggalkan kota Bengkulu pada jam 07.00 wib dalam udara pagi Sabtu yang cerah.
Perjalanan hingga ke base camp Curup Sembilan yang ada di desa Tanah Hitam sesuai dengan perencanaan. Setelah menempuh perjalanan selama 2,5 jam kami istirahat sejenak sambil menikmati kopi asli dari alam Tanah Hitam.
Kopi robusta tapi dengan kandungan dan aroma asam yang lebih tinggi dari robusta umumnya. Termasuk juga kadar pahit ketika diminum.
Setelah mengisi daftar tamu dan bercengkerama dengan saudara Leo sebagai pengurus base camp kami berangkat saat jarum jam menunjukkan angka 10.00 wib.
Akbar yang masih berumur 15 tahun sebagai pemandu kami hari itu, telah lama menunggu di pos kamling yang ada di ujung desa. Pribadi yang cekatan, sopan, informatif, siap menolong dan mau belajar.
Roda mobil melewati jalan berbatu yang membahayakan kendaraan oleh bebatuan besar yang menonjol masih kami lalui hingga ke ujung jalan dan memakan waktu sekitar 20 menit.
Supir memarkirkan mobil di tempat yang telah disediakan oleh instansi terkait kabupaten Bengkulu Utara sebagai fasilitas bagi wisatawan.
Tepat jam 11 kami mulai menapaki jalan untuk masuk wilayah hutan lindung. Gambaran jalan yang di tempuh silahkan baca ‘Air Terjun Curug Sembilan Bangsadh! ‘
Perjalanan normal 2 jam hingga pondok terakhir dapat kami capai hanya dengan 1 jam 40 menit.
Hal ini berbekal pengalaman pertama dan kami tidak lagi melakukan pengambilan gambar sebagai materi video.
Di ‘anjung’ (pondok kebun bahasa suku Serawai) yang juga berfungsi sebagai pos terakhir, kami Istirahat, makan dan sholat zuhur.
Pukul 3 sore seluruh anggota tim ditambah oleh bapak pemilik pondok mulai melangkah untuk menuju target, yaitu air terjun Curug Sembilan yang puncaknya sudah terlihat.
Awalnya perjalanan santai dengan medan jalan setapak yang datar. Tidak lama kemudian mulai masuk hutan. Nah, baru saja masuk hutan, langkah langsung disambut oleh jalan yang menurun dengan tingkat kemiringan hampir 45 derajat. Jalan yang sempit dan berbatu. Struktur tanah berpasir, banyak akar sebagai pijakan dan pegangan merupakan keuntungan di medan ini.
Kondisi jalan seperti di atas sekitar 50 meter. Berikutnya sedikit melandai. Cukup untuk menenangkan kekhawatiran ketika menuruni tebing baru saja dilewati.
Tidak lama kemudian, bersiaplah menuruni tebing yang lebih berbahaya dari tebing pertama sepanjang langkah kita akan menginjak tanah berpasir yang dialiri air hingga 15 menit ke depan.
Pesan saya, perhatikan betul langkah-langkah dan tempat pijakan. Kalau tidak, tubuh akan meluncur cepat sebelum tersangkut pada akar di ujung tebing.
Jika dua tebing ini sudah ditaklukkan, maka jalan berikutnya tidak lagi terlalu membahayakan.
Apabila sudah melewati sungai dangkal, jernih dan berbatu, siapkan lagi mental untuk jalan yang mendaki dan menurun. Masih tetap dengan jalan setapak, kadang dihadang oleh kayu yang roboh dan telah ditumbuhi lumut tebal.
Bebatuan besar yang permukaannya juga sudah ditumbuhi lumut sering juga ditemui pada jalur ini.
Intinya, satu jam perjalanan setelah dari tempat istirahat terakhir tadi tidak ada yabg menyenangkan bagi pengunjung yang belum terbiasa dengan wisata hutan.
Tapi nikmati saja dengan mengalihkan kesusahan dengan memperhatikan setiap pohon-pohon besar dan tanaman yang ada di sepanjang jalan. Ataupun aliran sungai yang bersumber dari air terjun tujuan di sebelah kanan.
Jarak dengan perjalanan normal 1 jam kami tempuh hingga 2 jam. Karena banyak waktu kami gunakan untuk pengambilan gambar video untuk bahan konten dan istirahat
Pukul 5 sore kami sampai pada target yang dituju.Di depan sudah terlihat dan terdengar air yang bergemuruh Dua air terjun bertingkat dua dan berdampingan. Walau debit airnya berbeda, 4 air terjun ini sama-sama deras dan lumayan besar.
Lelah perjalan tadi? Entah! Lupa sama sekali oleh keindahan ciptaan penguasa alam. Memandang air terjun dan bebatuan yang ada di pelataran air yang deras jatuh di depan, kita tidak ada apa-apanya.
Hanya 4 air terjun yang terlihat. 5 lagi masih tersembunyi di atas tebing dalam hutan lebat di atas.
Sudah banyak medan bebatuan ataupun tanah yang licin. Belum pernah sekalipun saya terjatuh. Tapi lumut yang sangat tipis di atas bebatuan di Curug Sembilan ini mampu menjatuhkan saya berkali-kali bahkan hampir memecahkan dagu atau bibir.
Lumut tipis yang licin di permukaan batu saja akan membuat kita terjatuh dan tersungkur. Lalu, apa sebab kamu masih mempertahankan kesombonganmu?
Ingat, jika berencana mau ke sini, manajemen waktu harus tepat. Perlengkapan dan pakaian harus sesuai dengan kondisi alam. Sepatu untuk di air terjun ini, gunakan sepatu bot petani ataupun sepatu yang biasa dipakai oleh para penyadap karet.
Jika menggunakan sepatu treking, pastikan sepatu tersebut bisa menaklukkan lumut yang licin.
Kalau saja hari tidak mulai gelap, satu jam terlalu pendek waktu menikmati alam di air Curug Sembilan ini.
Suara burung ‘tekterew’ sebagai penanda masuk waktu maghrib mengingatkan kami untuk segera meninggalkan tempat yang sudah sangat susah dicapai.
Untung pemilik pondok juga menyertai. Jadi kami tidak terlalu was-was ketika melangkah dalam gelap di dalam hutan yang vegetasinya masih sangat rapat.
Dengan kesusahan dua kali lipat ketika berangkat dan ditambah hari sudah malam serta berbekal satu senter ditambah 4 senter hp, akhirnya kami sampai di pondok jam 8 malam.
Di halaman pondok kami disambut oleh 3 tenda yang sudah berdiri. Ada sekitar 12 orang anak kuliahan berkemah. Bersiap untuk mengunjungi air terjun Curug Sembilan ‘bangsadh’ yang sudah kami tinggalkan keesokan hari.
Mereka sampai setelah kami berangkat.
Di atas pondok, di beranda, Bung Koni langsung membuka baju dan membaringkan tubuh. Sedangkan saya langsung berganti pakaian kering. Karena pakaian yang tadi selain basah oleh air yang disebabkan jatuh berkali-kali, ditambah oleh keringat sepanjang jalan.
Jam 9 malam, hp Bung Koni berdering. Rupanya telpon dari Leo yang menanyakan keberadaan kami.
Semakin malam semakin dingin. Untungnya alam diterangi oleh sinar bulan dan bintang-bintang. Jam 10 malam, setelah menghabiskan kopi, kami memulai berjalan untuk pulang ke kota.
Bayangkanlah perjuangan kami kali ini demi air terjun Curug Sembilan. Berbekal 3 senter hp dan 1 senter kami menyusuri jalan setapak. Di beberapa tempat kami mendengar suara babi yang berlari menghindari kami, dan beberapa bagian hutan yang lembab bulu badan merinding.
Keluar hutan jam sudah menunjukkan jam 11.30. Setelah berbenah, kami masuk mobil dan kembali ke base camp. Tepat jam 12 malam kami sampai. Saudara Leo sudah menunggu kami.
Selagi saya dan Bung Koni menceritakan pengalaman perjalanan, Kiki, sang driver setiap perjalanan kami mengantar Akbar ke rumahnya.
Jam 2 pagi kami meninggalkan base camp Curug Sembilan menuju kota Bengkulu.