Wapres Gibran Turunkan Ego, Minta Maaf ke Rakyat, Gubernur Helmi Naikan Ego Kekuasaan?

Oleh: Vox Populi Vox Dei

Di tengah gejolak sosial yang melanda Bengkulu akibat kenaikan Opsen Pajak Kendaraan Bermotor dan krisis kelangkaan BBM, publik dikejutkan oleh gestur yang langka yang sangat sulit terlihat dilakukan oleh Pejabat Daerah: Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka turun langsung menemui mahasiswa pendemo dan secara terbuka menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat termasuk kepada mereka yang mengantre panjang di SPBU, kelelahan, frustrasi, dan semakin terjepit oleh kebijakan.

Permintaan maaf itu sederhana, tetapi maknanya dalam: Wapres Gibran menurunkan ego kekuasaan, dan meletakkan empati di atas otoritas.

Lalu, di mana sosok pemimpin Bengkulu?

Di Saat Rakyat Menderita, Gubernur Justru Meninggikan Ego

Sementara Wapres RI Gibran yang bukan pejabat daerah Bengkulu menunjukkan rasa tanggung jawab moral kepada rakyat, Gubernur Bengkulu Helmi Hasan justru absen dari panggung keprihatinan rakyat. Tak ada permintaan maaf. Tak ada klarifikasi langsung. Tak ada kehadiran empatik di tengah rakyat yang berpanas-panasan mengantri BBM, atau yang geram karena tak sanggup lagi membayar pajak kendaraan.

Dalam bahasa filsafat, ini disebut kekosongan etik dalam kekuasaan. Kekuasaan kehilangan ruh ketika seorang pemimpin lebih sibuk mempertahankan ego daripada merasakan sakit yang dirasakan rakyatnya sendiri.

Turunnya Ego Kekuasaan dari Jakarta, Tingginya Ego Kekuasaan di Daerah

Apa yang ditunjukkan Gibran adalah kepemimpinan yang matang, mampu menurunkan kepala dan menanggalkan simbol kuasa demi kepercayaan rakyat. Bahkan saat beliau tak berkewenangan langsung atas distribusi BBM di Bengkulu, beliau tetap menunjukkan tanggung jawab moral:
“Maafkan kami.”

Sebaliknya, Gubernur Helmi Hasan justru membangun benteng ego yang tebal, seolah-olah kritik adalah ancaman, bukan cermin. Padahal, ia adalah sosok yang paling dekat dan paling bertanggung jawab atas penderitaan warga di provinsinya sendiri.

Kepemimpinan Sejati Bukan Tentang Pangkat, Tapi Tentang Nurani

Rakyat tidak butuh pemimpin yang tak pernah salah. Rakyat hanya butuh pemimpin yang berani mengakui jika kebijakannya menyakitkan, berani meminta maaf jika rakyat menderita. Wapres Gibran menunjukkan itu: kuasa bisa hadir dengan rendah hati, bukan penuh gengsi.

Gubernur Helmi Hasan, sayangnya, memperlihatkan hal sebaliknya: diam di atas penderitaan rakyat, mengambil jarak menghindar kritikan rakyat adalah bentuk arogansi kekuasaan.

Catatan Penting:

Ketika Wakil Presiden yang jauh dari dapur rakyat Bengkulu saja sanggup berkata “Maaf,” maka rakyat Bengkulu pun layak bertanya:
“Apa sebenarnya yang lebih dekat ke hati Gubernur: rakyat atau kursi kekuasaan?”

Sebab dalam politik, yang akan selalu diingat rakyat bukan berapa banyak jabatan, tetapi seberapa rendah hati seorang pemimpin saat rakyatnya mengantri BBM dan menjerit karena pajak.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan