“Politik Konten Pencitraan di Era Opsen Pajak dan Krisis BBM”
Oleh: Vox Populi Vox Dei
Ada yang menarik dari geliat media sosial belakangan ini. Dua nama gubernur kerap mencuat dalam sorotan warganet: Dedi Mulyadi, dan sang peniru yang masih belum lulus ujian rakyat—Helmi Hasan.
Keduanya sama-sama hadir di dunia maya. Sama-sama membuat konten. Tapi sayangnya, hanya satu yang turun ke tanah, satunya lagi sibuk melayang di langit citra.
Dedi Mulyadi, dikenal publik sebagai “Gubernur Konten”, mendatangi langsung rumah-rumah reyot, berinteraksi dengan nenek renta, mendengar keluhan rakyat kecil—tanpa naskah, tanpa cue card. Boleh jadi kamera selalu ikut, tapi setelah kamera mati, bantuannya tetap sampai. Konten menjadi jalan, bukan tujuan.
Lain cerita di Bengkulu. Gubernur Helmi Hasan tampaknya sedang sibuk meniru KDM, lengkap dengan gaya baju putih, ekspresi welas asih, dan narasi “membantu rakyat”. Tapi ketika kritik datang dari rakyat—soal opsen pajak mencekik, krisis BBM, atau kebijakan populis yang tak menyentuh akar persoalan—Helmi Hasan seolah alergi. Alih-alih mendengar, ia menyebutnya itu caci maki dan sumpah serapah. Alih-alih hadir, ia menyuruh bawahan.
Jika ada penghargaan untuk pujian, ia pasti akan tampil di depan kamera dengan senyum setengah dewa. Tapi jika ada keluhan rakyat, ia kabur ke balik panggung, bikin konten kelu kesah tapi bergaya arogan, menyisakan baliho dan juru bicara.
Kata “maaf” seolah tabu, seolah kekuasaan anti koreksi. Seolah jabatan gubernur adalah mahkota, bukan amanah.
Ia pernah mengaku terinspirasi dari KDM. Tapi nyatanya, Helmi Hasan cuma meniru kulitnya: gaya kontennya, senyum depan kamera, sapaan di video pendek.
Sementara isi kepemimpinan—kerendahan hati, keberanian mendengar kritik, kesanggupan menanggung kesalahan—masih jauh panggang dari api.
KDM dikritik, ia tetap turun. Helmi Hasan dikritik mahasiswa dan rakyat, ia tersinggung curhat ke pejabat bawahanya. KDM blusukan ke desa, Helmi Hasan sibuk bersolek di media perkuat konten pencitraan. Bahkan ketika rakyat turun ke jalan, Gubernur Bengkulu ini malah menyebut mereka tidak sopan. Kritikan rakyat dan mahasiswa diframing sebagai caci maki dan sumpah serapah.
Pertanyaannya sederhana: kalau benar ingin meniru KDM, kenapa cuma gaya yang diambil? Kenapa tidak ikut juga turun menyapa rakyat? Atau minimal, berani bilang “Saya minta maaf.”
Tapi ya, di jagat pencitraan, mungkin kata “maaf” tidak cocok dengan pencitraan.