Covid-19 Suburkan Generasi Kopong di Indonesia

Oleh : Misbah Priagung Nursalim

Sejak covid-19 ditetapkan sebagai pandemi global, semua negara membuat kebijakan pencegahan. Ada negara yang menerapkan lockdown, karantina wilayah, jaga jarak sosial ataupun jaga jarak fisik. Salah satu yang menjadi imbas dari kebijakan tersebut adalah dunia pendidikan.

Menteri Pendidikan dan kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, membuat kebijakan kepada semua lembaga pendidikan untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar (KBM) jarak jauh. Perguruan tinggi banyak yang menggunakan program e-learning yang sudah diterapkan sejak lama.

Meskipun ada beberapa perguruan tinggi yang  program e-learning masih terkendala, seperti server yang tidak memadai. Bahkan ada juga yang belum melaksanakan program e-learning.

Saat situasi pandemi seperti ini, maka e-learning harus mutlak diterapkan oleh semua perguruan tinggi. Karena tidak ada KBM di kampus, itu sebabnya tahun ajaran genap ini disebut dengan semester gaib.

Berbeda dengan KBM pada tingkat bawahnya. Sekolah tingkat dasar dan tingkat menengah belum menerapkan blended learning

Untuk menyikapinya, KBM pada sekolah tingkat menengah bisa memanfaatkan media sosial. Bisa menggunakan layanan WhatsApp, Google Meet, ataupun Zoom,bahkan YouTube dan Instagram. Ada juga yang menggunakan jasa aplikasi bimbingan belajar seperti Ruang Guru. Apa pun digunakan untuk menunjang KBM.

Berbeda dengan sekolah tingkat dasar yang peserta didiknya secara usia belum memenuhi syarat untuk memiliki gawai. KBM pada sekolah tingkat dasar yang mengalami banyak kendala. Hal itu menyebabkan proses KBM pada sekolah tingkat dasar tidak efektif; terutama pada siswa yang berasal dari keluarga kelas bawah.

Karakter peserta didik di Indonesia yang cenderung dimanjakan membuatnya sulit mengikuti proses KBM jarak jauh. Selain itu, tidak semua tenaga pengajar melek teknologi sehingga tidak semua guru bisa menggunakan fasilitas media sosial. Hal itu juga yang membuat orang tua murid kerepotan.

TujuanKemendikbud melakukan pembelajaran jarak jauh, yaitu agar KBM berjalan normal di tengah pandemi. Namun yang terjadi, banyak peserta didik yang menggunakan waktu belajar dari rumah untuk bermain, nongkrong, dan kegiatan di luar rumah. 

Guru memberikan tugas untuk dikerjakan siswa tanpa memberikan pemahaman materi. Siswa diminta membaca materi melalui lembar kerja siswa yang diberikan pihak sekolah. Tidak semua siswa hobi membaca sehingga siswa hanya mengerjakan tugas saja tanpa memahami soal yang diberikan gurunya.

Hal itu pun terjadi pada siswa tingkat dasar. Orang tua siswa mengambil tugas dan menyetorkan kembali ke sekolah. Banyak siswa yang tidak tahu materi yang seharusnya dipelajari karena memang tidak hobi membaca.

Kebanyakan orang tua hanya mengawasi anaknya untuk mengerjakan tugas sekolah tanpa membantu kesulitan. Ada juga yang justru malah orang tuanya yang mengerjakan tugas sekolah.

BACA JUGA:  Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Antara Mutu dan Bisnis Pendidikan

Kebiasaan sebelumnya yang membiasakan anak untuk salin tempel tugas membuat siswa tumpul menghadapi permasalahan. Tidak banyak buku yang dibaca siswa. Proses belajar pembelajaran yang pasif sudah diterapkan secara turun-temurun di Indonesia membuat dunia pendidikan tidak mampu beradaptasi di tengah situasi pandemi seperti ini.

Pembelajaran pasif yang dimaksud, yaitu siswa mendengar, mencatat, kemudian menghafal. Hanya beberapa guru yang menuntut siswa memahami materi. Pembelajaran pasif ini lebih ke arah kejar silabus, bukan memperhatikan tujuan pembelajaran.

Saat ini, kita baru merasakan dampak negatif dari sistem pembelajaran pasif. Pemerintah, guru, siswa, dan orang tua saling direpotkan. 

KBM seharusnya menjadi wadah interaksi guru dan siswa. Situasi saat ini bukan KBM, melainkan transef tugas guru-siswa. Tidak semua orang tua membantu anaknya memahamkan materi pelajaran, melainkan membiarkan anak mengerjakan sendiri tanpa panduan orang tua. Yang lebih berbahanya lagi adalah orang tua mengerjakan tugas anaknya dengan alasan kasihan.

Jika saat ini anak usia sekolah tidak memiliki pemahaman terhadap ilmu pengetahuan, maka generasi produktif 2040 akan sangat membahayakan. Dua puluh tahun yang akan datang, Indonesia akan dipenuhi generasi kopong. Akan terjadi sebuah masa di mana generasi produktif tanpa pemahaman ilmu pengetahuan. Itu sangat berbahaya sekali.

Semoga pandemi ini segera berakhir. Setelah pandemi covid-19 ini berakhir, pemerintah melalui Kemendikbud harus mengubah pola pendidikan di Indonesia. Bukan hanya perguruan tingginya saja yang diterapkan merdeka belajar, melainkan semua jenjang pendidikan. Melalui guru-gurunya secara serius untuk diikutkan pelatihan pekerti, mental, dan karakter.

Selama ini, pemerintah menghabiskan dana triliunan untuk pelatihan guru. Bahkan ada juga jalan-jalan dengan tema shortcourse ke luar negeri. Namun yang terjadi pelatihan hanyalah pelatihan. Hasilnya, guru tidak menerapkan dalam KBM di sekolah.

Perguruan tinggi mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan tenaga pengajar yang andal. Itu sebabnya mutu pendidikan tinggi harus diawasi secara ketat. Sehingga tidak ada lagi guru yang asal guru. 

Kualitas lulusan harus diperhatikan. Tidak ada lagi mahasiswa asal lulus, tetapi harus melihat kemampuan dan keterampilan sesuai jurusannya.

Masa depan Indonesia masih bisa diselamatkan. Perekrutan ASN guru dan sertifikasi guru harus memperhatikan riwayat pendidikannya. 

Penugasan guru juga harus memperhatikan kemampuan akademiknya. Guru lulusan pendidikan bahasa harus mengajar bahasa bukan mengajar muatan lokal ataupun olahraga. Dengan cara itu, Indonesia mampu terhindar dari generasi kopong di masa yang akan datang.

Penulis adalah Dosen linguistik di Universitas Pamulang

Posting Terkait

Jangan Lewatkan