Dewan Pers Ingatkan Pemerintah Tak Alergi Kritik Media, Hoaks Jadi Ancaman Serius Demokrasi

Jakarta, Word Pers Indonesia – Dewan Pers mengingatkan pemerintah dan DPR agar tidak bersikap alergi terhadap kritik yang disampaikan melalui media massa. Kritik publik yang disampaikan pers, menurut Dewan Pers, merupakan bagian dari demokrasi dan didasarkan pada data serta fakta, bukan informasi bohong.

Ketua Dewan Pers, Komarudin Hidayat, menegaskan bahwa media memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, ia juga meminta insan pers agar tetap mengedepankan profesionalitas.
“Pemerintah jangan curiga dan alergi pada kritik masyarakat lewat pers. Tapi pers juga harus proporsional, berdasarkan data dan fakta, jangan provokatif,” ujar Komarudin di Jakarta, Jumat (22/8).

Ia mengingatkan apabila media arus utama ikut menyebarkan hoaks, maka kepercayaan publik akan hilang. “Kalau media mainstream ikut sebar hoaks, cepat atau lambat pembaca akan lari ke media sosial. Itu kerugian besar, bukan hanya bagi pers tapi juga pemerintah,” katanya.

Selain itu, Komarudin juga menyoroti dominasi platform global seperti Google dalam distribusi informasi dan iklan digital. “Google jangan hanya mengambil keuntungan dari pasar Indonesia, tapi juga harus berkontribusi menekan hoaks. Kalau belanja iklan lebih diarahkan ke platform nasional, peredaran uang bisa lebih terkendali,” jelasnya.

Sementara itu, Gov Affairs & Public Policy Manager Google Indonesia, Isya Hanum Kresnadi, menegaskan komitmen Google dalam memerangi misinformasi. “Kami menggunakan teknologi untuk menyajikan informasi yang relevan dan bermanfaat. Google tidak hanya sebagai platform, tapi juga mitra pemerintah dalam mencegah disinformasi,” katanya.

Pandangan serupa disampaikan Manajer Riset BBC Media Action, Rosiana Eko, yang menilai maraknya misinformasi tak hanya mengancam demokrasi, tetapi juga berimbas pada perekonomian. “Dua pertiga responden survei kami mengaku khawatir biaya hidup naik akibat penyebaran hoaks, termasuk penipuan keuangan dan judi online,” ungkapnya.

Riset BBC Media Action pada April 2024–Maret 2025 melibatkan 5.036 responden nasional, analisis media sosial, dan wawancara mendalam. Hasilnya menunjukkan hanya 39 persen masyarakat yang percaya pada berita, sementara 9 persen menilai akses ke informasi kredibel menjadi salah satu kekhawatiran utama.

Di sisi lain, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Mediodecci Lustarini, menyebut hoaks di Indonesia sudah berada pada tahap mengkhawatirkan. “Sekitar 50 persen pengguna internet terpapar hoaks. Fenomena ini belum berubah sejak 2021, bahkan kini semakin masif dengan konten manipulatif berbasis AI seperti deepfake,” ujarnya.

Untuk itu, pemerintah sedang menyiapkan peta jalan etika pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam ruang digital. “Kami tengah merumuskan roadmap AI agar masyarakat bisa menggunakan teknologi dengan aturan dan etika yang jelas. Tujuannya, menekan penyebaran hoaks di internet,” kata Mediodecci.(*)

Editor:  Anasril

Posting Terkait

Jangan Lewatkan