Feminis Islam dalam Sastra: Menggugat Konstruksi Gender

Jika hak-hak perempuan menjadi masalah bagi sebagian pria Muslim modern, itu bukan karena Al-Quran atau nabi, atau tradisi Islam, tetapi semata-mata karena hak-hak itu bertentangan dengan kepentingan elit laki-laki.— Fatima Mernissi 

Oleh: Selfia Darmawati

Feminisme dalam Sastra Indonesia

Sepanjang sejarah, seiring mengakarnya budaya patriarki budaya yang menjadikan laki-laki sebagai pemilik status superior, perempuan dibentuk menjadi kaum yang tersubordinasi, terpinggirkan, dan ditempatkan sebagai gender kedua atau second sex. Hal ini menyebabkan perempuan lebih rentan untuk mendapat penindasan dan ketidakadilan.

Kondisi tersebut melahirkan gerakan feminisme yang hadir dengan memasuki berbagai lini kehidupan, termasuk sastra. Sastra dianggap sebagai salah satu media yang tepat untuk menggambarkan ketidakadilan yang dialami perempuan. Sayangnya, konstruksi gender yang membuat perempuan terpenjara dalam ranah domestik menyulitkan mereka untuk terlibat dalam dunia kepenulisan.

Sastra Indonesia mencatat beberapa nama perempuan penulis yang produktif menyuarakan tentang perempuan. Tetapi, angka tersebut sangatlah sedikit. Nama-nama yang muncul masih terbatas pada Selasih, S. Rukiah, hingga NH. Dini.

Maka dari itu, tak heran jika isu ketimpangan gender masih perlu meminjam tangan laki-laki untuk dituliskan, contohnya melalui Belenggu karya Armijn Pane atau Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

Akhirnya pada tahun 1998, Ayu Utami muncul sebagai penggebrak generasi baru sastra Indonesia melalui novelnya, Saman. Secara gamblang, Saman mendobrak batasan-batasan tabu dan membahas seksualitas perempuan dengan begitu terbuka dan luwes.

Gebrakan ini berhasil memancing perempuan-perempuan penulis lain untuk naik ke permukaan. Saat itu, karya sastra yang ditulis oleh perempuan dan menggugat persoalan perempuan sangat menjamur. Beberapa nama yang muncul diantaranya adalah Djenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, Dewi Lestari, Ratih Kumala, Okky Madasari, dan lain-lain.

Geni Jora, Sastra dengan Nuansa Feminis Islam

Sebagaimana feminisme yang memiliki banyak aliran, maka sastra berhaluan feminis pun hadir dengan corak yang beragam. Parasit Lajang, novel karangan Ayu Utami yang kental dengan feminis radikal berisi sebuah gugatan atas otoritas tubuh dan seksualitas perempuan. Oka Rusmini juga menyajikan feminis eksistensial dalam novelnya, Tempurung. Dan yang tak kalah unik, nuansa feminis Islam juga hadir dalam sastra Indonesia.

Feminis Islam adalah gerakan perempuan yang merombak opresi terhadap perempuan dengan meninjau ulang hadist dan tafsir yang selama ini berkembang di masyarakat. Abidah menghadirkan corak feminis Islam untuk menjungkirbalikkan konstrusi gender yang timpang melalui banyak novelnya, salah satunya berjudul Geni Jora.

Novel ini dibuka dengan peristiwa konferensi yang diikuti oleh pegiat gender di Maroko. Latar konferensi ini dimanfaatkan Abidah untuk menggugat mengenai perempuan dan kekhalifahan yang kerap kali luput dalam sejarah. Banyak yang mengatakan bahwa perempuan tak layak menjadi pemimpin, karena dalam Islam pun, laki-laki lah yang ditunjuk menjadi imam.

Rupanya hal ini membuat Abidah gemas, maka melalui Geni Jora, Abidah mendobrak stereotip ini dengan cara yang apik. Dapat dilihat melalui kutipan berikut.

“Ketika Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri Pakistan, semua orang yang memonopoli hak untuk berbicara atas nama Islam, dan terutama Nawaz Syarif, sang pemimpin oposisi dari partai Islamic Democratic Alliance, berteriak menghujat, ‘Sungguh mengerikan! Belum pernah sebuah negara muslim diperintah oleh seorang perempuan!’ Dengan mengutip hadis, mereka mengutuk peristiwa ini sebagai yang melanggar hukum alam.” (Khalieqy, hlm. 15)

Selain membentuk stereotip dan mitos-mitos mengenai perempuan, budaya patriarki juga menaruh standar nilai yang tidak masuk akal mengenai perempuan. Budaya patriarki menganggap bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang kalem, perempuan yang tunduk kepada suami—laki-laki—, perempuan yang cantik, dan perempuan yang pasrah dengan nasib.

Standar ini digugat oleh Abidah dengan semangat feminis Islamnya. Ia menulis bahwa nilai seorang perempuan sama dengan nilai manusia pada umumnya, yakni menjadi manusia yang cerdas dan salehah—menurut Islam—.

“Kau ingin mengatakan bahwa kecerdasan dan kesalehan adalah di atas keacantikan?”

“Persis,” kataku, … (Khalieqy, hlm. 17)

Persoalan domestik pun tak luput dari perhatian Abidah. Kaca mata feminis Marxis-Sosialis ia gunakan untuk menggugat konstruk mengenai pekerjaan domestik yang dilakukan perempuan tidak mendapat upah karena dianggap sebagai kerja sukarela belaka dan bukan pekerjaan yang nyata. Berbeda dengan laki-laki yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik sebagai profesi sehingga berhak mendapatkan upah. Terlihat jelas melalui kutipan berikut.

 “Ini kue yang sangat lezat. Peramunya pastilah memiliki citarasa yang tinggi. Seorang perempuan…?” kelakar Ayeda.

“Yang disabot laki-laki” timpal Nadia, “koki-koki hotel, anehnya diminati para laki-laki sebagai profesi.”

“Dan koki-koki rumah-tangga, dengan jam kerja lebih panjang, dengan urusan bermacam-macam, anehnya tidak dianggap sebagai profesi.”

“Untuk itu tidak ada gaji.” (Khalieqy, hlm. 24)

Patriarki juga berhasil membuat perempuan menjadi mahluk yang tersubordinasi, selalu menjadi pihak nomor dua. Sebaik apapun perempuan, tidak ada artinya karena tetap laki-laki yang nomor satu. Geni Jora menceritakan bahwa Jora atau Kejora adalah perempuan yang pintar dan cerdas. Ia selalu meraih peringkat satu di sekolahnya. Bagai langit dan bumi dengan Prahara, adiknya, anak laki-laki yang kerap menyontek dan sering mendapat peringatan dari guru.

Sayangnya, Jora tak pernah dianggap menang karena ia adalah Perempuan. Hal ini dimanfaatkan oleh Abidah untuk memancing keresahan pembaca. Abidah ingin pembacanya sadar, bahwa seseorang seharusnya dinilai berdasarkan kompetensinya, bukan gendernya.

“Ini ‘kan nilai raport sekolahan, Cucu. Berapa pun nilai Prahara di sekolahan, sebagai laki-laki, ia tetap rangking pertama dalam kenyataan. Sebaliknya kau. Berapapun rangkingmu, kau adalah perempuan dan akan tetap sebagai perempuan.” (Khalieqy, hlm. 62)

Abidah dengan Geni Jora-nya berhasil menggugat ketimpangan-ketimpangan yang selama ini dialami perempuan. Seperti yang dikatakan De Beauvoir, Perempuan dikonstruksi oleh laki-laki, melalui struktur dan lembaga laki-laki. Tetapi, karena perempuan juga seperti laki-laki, tidak memiliki esensi, perempuan tidak harus memutuskan untuk menjadi apa yang diinginkan laki-laki.

Feminis Islam dijadikan senjata untuk membedah ketimpangan tersebut. Al-Qur’an dan hadist sesungguhnya tidak membenarkan adanya pembagian kerja yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Budaya patriarki dan kepentingan elit laki-lakilah yang sesungguhnya menjadi akar penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan.

Referensi

  • De Beauvoir, Simone. Second Sex: Kehidupan Perempuan. (Jogjakarta: Narasi, 2016).
  • Djajanegara, Soenardjati. 2004. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).
  • Khalieqy, Abidah El. 2004. Geni Jora. (Yogyakarta: Matahari).
  • Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan. (Yogyakarta: Rifka WWC & Pustaka Pelajar).
  • Tong, Rosemary Putnam. 1998. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. (Yogyakarta: Jalasutra).

Posting Terkait

Jangan Lewatkan