P e n g a k u a n S a t u

Foto oleh Engga (almarhum). Koleksi pribadi sle bagus.
Foto oleh Engga (almarhum). Koleksi pribadi sle bagus.

Cerpen oleh Bagus SLE

“Ayah… Abang rindu ayah… ”

Demikianlah kalimat yang menusuk-nusuk sanubari dan melemahkan semua persendian di tubuh lelah ini.

Bagaimana tidak, kalimat itu aku rasakan diucap dengan penuh perasaan, harapan dan kekecewaan seorang anak terhadap ayahnya yang antara ada dan tiada.

Anak itu adalah Pascal. Buah dari benih yang aku lepaskan di rahim ibunya. Ketika telah tumbuh dan berkembang, lalu keduanya memutuskan untuk berpisah.

Tidak ada yang salah dari keduanya. Masing-masing memutuskan dengan penuh kesadaran dan telah siap dengan resiko yang akan dihadapi pada masa yang akan datang.

“Aku siap bertanggung jawab terhadap calon bayi kita… ”

Itu kalimat yang aku sampaikan pada si ibu ketika mengetahui jika peluhku telah menghasilkan sesuatu.

“Tidak, terimakasih. Biar aku rawat sendiri hingga akhir hayatku.”

Kalimat yang dikeluarkan oleh bibir indah yang memabukkan pria liar sepertiku.

“Kenapa seperti itu? Bukankah kita bercinta penuh kesadaran?”

Tanganku mengelus perut yang menyimpan bibit dariku.

“Benar.” Tangannya mencubit pipiku.

“Ayolah… Aku siap jadi ayah bagi anak kita… ”

Kedua tanganku merengkuh pinggang yang diidamkan setiap gadis muda. Dagu yang menjadi titik terindah dari tubuhku aku letakkan dengan manja di bahu kokoh milik perempuan rekan kerjaku.

“Tidak. Anggap saja aku hanya menginginkan anak darimu… ”

Mataku berusaha mencari kesungguhan dari kalimat itu melalui sinar mata gadis yang baru saja mengucapkan kata-kata barusan. Bagiku hal itu aneh.

Sambil tersenyum dia mengangguk dan mata itu menggodaku.

“Kenapa begitu?” Aku penasaran.

Lama dia terdiam. Seolah mencari kalimat indah dan pas hingga aku tidak bisa mengelak.

“Sayang… Kamu itu laki-laki angin. Datang dan berhembus kapan saja kamu mau dan berlalu tanpa bisa dihentikan.

Hari ini kamu di sini dan bersamaku. Esok atau lusa, entah kapanpun itu kamu akan berada di tempat lain dan bersama yang lain.”

Setelah mengucapkan itu dia berbaring di pangkuanku. Ada gamang dalam kalimat terakhir

Sesaat aku diam.

“Aku berjan… ”

“Ssssttt…. ” Telunjuk halus itu menempel di bibirku dan menghentikan kalimat yang akan aku sampaikan.

“Sudahlah… Kita hentikan semuanya hingga di sini. Aku akan rawat anak kita sebaik mungkin.”

Tubuh langsing namun berisi itu bangkit menuju cermin. Membenahi rambut hitam, tebal dan sedikit ikal , memoles wajah dengan bedak samar-samar, lalu berbalik memandang tubuhku yang masih terpana oleh ucapan dan bentuk tubuh yang telah tiga bulan bersamaku.

“Oh iya, besok aku akan pulang ke Makassar. Aku tidak ingin ada pertanyaan ataupun rayuan lagi.”

Tanpa memberiku kesempatan untuk mengucapkan sesuatu, dia menghampiriku lalu mengecup bibirku yang masih terbuka.

“Selamat tinggal sayang… ” Sebelum menutup pintu dia meniup ciuman perpisahan.

Aku masih belum mampu mencerna dengan apa yang baru saja terjadi.

“Ayah… Ayah masih mau mendengar abang?”

Aku tergagap oleh suara di telpon yang masih menempel di telingaku.

“Iya, bang. Ayah masih ingin mendengar suara anak ayah… ” Sesaat aku bagai melayang mengucapkan kalimat itu.

Aku menginginkan apapun yang akan disampaikan suara anak muda di seberang sana dan aku akan menyimpan dalam memori yang terindah dalam ingatanku.

“Abang sudah pamit pada ibu kalau mau nelpon ayah?”

“Ibu tidak tahu, yah. Abang sekarang sedang di rumah teman.”

Aku melihat waktu di sudut kiri hp. Jarum jam sudah berada pada posisi lewat tengah malam. Aku merasakan ada yang tidak beres antara anak dan ibunya.

“Ada apa? Ibu marah?” Tiba-tiba aku merasa khawatir.

“Tidak, yah. Abang cuma mau nelpon ayah. Abang kangen… ”

Aku sering mendengar kata rindu sebelum-sebelumnya. Tapi kalimat dengan ungkapan kerinduan itu membuncah di dadaku dan membuat aku merasakan kebahagiaan yang tidak ada tandingannya.

“Ayah juga sangat merindukan abang…. ” Tanpa aku inginkan mataku menghangat.

“Maaf, yah. Abang harus private number. Itu pesan ibu kalau mau nelpon ayah… ”

Damned! Aku sangat membenci wanita itu saat ini. Dia selalu membuat aku tidak berkutik, bahkan untuk anakku sekalipun!

“Iya, gak apa-apa, bang. Asal abang boleh nelpon ayah… ” Ada sedu di kalimat itu. Tapi aku segera menguasai hatiku. Aku tidak ingin suasana indah ini harus diwarnai oleh kesedihan yang sangat lama aku rasakan.

Aku punya anak tapi tidak diiberi kesempatan untuk memoertanggungjawabkan kehidupannya.

“Ayah… Abang akan wisuda. Maukah ayah datang pada hari tersebut?”

“Mau. Mau. Mau. Mau!” Tanpa menunggu jeda aku langsung menyatakan kesediaan. Kapan lagi ada kesempatan bertemu dengan anakku? Ini hal yang paling aku inginkan dalam hidupku selama dua puluh tiga tahun ini, sejak perpisahan dengan sang ibu waktu itu.

“Kapan?” Aku lanjutkan dengan cepat.

“Dua hari lagi, ayah… ”

“Baiklah, ayah akan segera ke sana besok pagi pada penerbangan pertama. Tolong abang sering-sering telpon ayah besok pagi.”

“Tapi, bagaimana dengan kafe?” Ada kekhawatiran dalam nada dari seberang sana.

“Tidak apa-apa anak ayah… Kan ada karyawan-karyawan ayah yang akan mengurusnya.”

Tidak lama kemudian aku meninggalkan kafe setelah membangunkan karyawan. Ingin segera terbang pada penerbangan di awal pagi.

Amboi… Aku membayangkan hal-hal indah yang akan aku lakukan bersama anak lelakiku yang pertama dan sudah dewasa.

Kejadian itu telah tiga tahun berlalu. Sekarang aku sedang mencari-cari anakku di setiap media sosial yang aku punya. Aku ketik Pascal di setiap pencarian. Ada banyak nama yang timbul. Tapi tidak Ada satupun yang sesuai dengan yang aku cari.

Aku tidak pernah putus asa melakukan hal itu sejak aku mengetahui anakku memiliki nama yang sangat bagus tersebut.

Berawal dari sebuah telpon dari nomor rahasia masuk ke telponku. Sebenarnya aku tidak ingin mengangkatnya, tapi karena berkali-kali akhirnya aku menjawab dengan nada dongkol.

Telpon yang dimulai dengan pertanyaan, “Maaf,saya Pascal dari Makassar. Umur tujuh belas tahun. Bisakah saya bicara dengan bapak Bayu?” Kabar itu adalah muara dari ketidakpastian yang menerpaku selama ini.

BACA JUGA:  Byuto Bab 4: Harimau Penjaga

Aku masih menekuri layar telepon genggamku. Mataku perih. Sudah berjam-jam aku melakukan itu. Hasilnya tetap nihil.

“Ibu kejam!” Kalimat itu adalah kalimat yang disampaikan oleh Pascal saat kekecewaannya memuncak ketika menyatakan akan ikut ke kotaku setelah acara wisuda, dihadang oleh ibunya dengan pisau di leher sang ibu, setelah bergegas ke dapur dan kembali dengan senjata tajam tersebut.

Wajah khas Bugis dengan mata sedikit sipit yang menyerupai mata dan dagu milikku menahan kecewa yang teramat sangat. Dia ingin menangis.

“Pisau ini akan menembus leher kecil ibumu, saat langkah pertamamu meninggalkan rumah ini! ”

Kalimat yang sangat bersungguh-sungguh. Ada nyala api di kedua bola matanya

“Bang, masuk kamar!” Walau tidak tahu maksudku, anak tercintaku mengikuti perintah tersebut dengan amarah tertahan.

Sepeninggal pemuda bertubuh dengan tinggi seratus tujuh puluh cm dan berat enam puluh kg tersebut, aku tarik tangan perempuan itu menjauhi kamar anak kami.

“Mengapa kau hukum kami seperti ini?!” Aku menggeram.

“Kenapa? Kau masih bertanya kenapa?” Kau pikir aku tidak tahu kamu mengencani banyak perempuan di belakangku? Kau pikir aku tidak sakit hati ketika kau pamit akan mengantar para tamu lalu tidak pulang pada malamnya?!”

“Kan itu bagian dari pelayanan terhadap klien?” Aku membela diri.

“Bagian dari pelayanan katamu? Meniduri mereka? Damned! ”

Lalu beranjak keluar. Aku terpaku memandang wanita yang menjadi rekanku dalam mendirikan serta menjalani perusahaan agen perjalanan dan aku merangkap sebagai guide. Pulau Bali adalah pilihan kami.

Itu kenangan ketika aku berada di kota terbesar dalam pulau Sulawesi saat menghadiri wisuda anakku lima tahun lalu.

Iya, aku mengakui kalau ibu dari anakku adalah seorang wanita yang kejam pada anak kami dan aku sebagai ayah sang anak.

Aku baru tahu alasannya meninggalkan aku selama ini karena kecemburuan dan tidak sanggup menahan sakit hati saat aku memberikan pelayanan lebih pada para pelanggan wanita kami, yang tentu saja masih muda dan cantik. Dan balasannya adalah penderitaan seumur hidupku.

Aku menyadari kalau aku salah dan kesalahanku juga imbasnya menimpa anakku.

“Pilih mana, mau mengambil foto atau tidur dengan anakmu malam ini?”

Kalimat awal menyambutku ketika dia dan anakku menjemput di bandara.

Aku gelagapan. Belum lagi bisa menghirup udara dengan sempurna aku sudah diberi pilihan yang sangat sulit.

Mata coklat terang anak muda di sampingnya memandangku tanpa aku tahu maksudnya. Sebelum menjawab aku selami mata tersebut.

“Aku…aku…aku pilih tidur dengan anakku…!” Jawabku lunglai.

Ada binar mata yang terang menatap mataku dan bibir itu tersenyum. Senyum yang sangat indah dari bibir pemuda yang sudah aku temui dua kali. Pertemuan pertama di bandara ini juga saat menunggu waktu transit penerbanganku ke Kendari.

“Kalau begitu, maaf, hp aku pinjam. Nanti ketika mau naik pesawat untuk pulang, aku kembalikan.”

Uuuhhhh! Ingin rasanya melemparkan tubuh yang hampir tidak berubah sejak meninggalkan hotel pada hari perpisahan kami itu sejauh mungkin.

Seperti kata wanita itu, aku adalah lelaki angin. Berhembus ke mana saja aku inginkan. Seminggu setelah perpisahan kami aku meninggalkan pulau Bali.

Menyusuri pulau Jawa dan berdiam beberapa minggu di setiap kota besar lalu menuju ujung Sumatera, Aceh. Juga beberapa minggu. Sebenarnya apa yang aku cari? Tidak Ada. Cuma ingin menjelajah negeri yang bernama Indonesia.

Modal penampilan tubuh dan kemampuan berbahasa Inggris ala kadar membuat aku gampang mendapatkan uang sebagai pemandu.

Pada malam wisuda itu untuk pertamakali aku memeluk tubuh anakku. Dan aku tidak Mau melepaskan sedetikpun. Aku ingin merasakan setiap aliran darahku yang ada pada tubuh Pascal.

Malam itu aku benar-benar merasakan kesempurnaan sebagai laki-laki dengan anak dalam pelukanku.

“Bang, kenapa ibu tidak boleh ayah memberikan uang pada abang?” Pertanyaan yang sudah sangat lama aku simpan.

Aku ingat ketika aku mengirimkan hadiah lebaran beberapa tahun lalu dan dikembalikan dengan jumlah dua kali lipat tiga hari kemudian. Walau kecewa aku tidak bisa berbuat apa-apa.

“Abang tidak tahu, yah. Waktu abang tanya pada ibu, malah dimarahi dan didiamkan selama tiga hari. Sejak itu abang tidak berani lagi bertanya.”

Tubuh dengan kulit agak gelap mirip dengan kulit perempuan yang melahirkannya mengubah posisi tidurnya. Dan saat ini dia telentang. Tanganku yang memeluk pinggangnya diarahkannya ke dada. Aku rasakan degup jantungnya yang tenang.

Bayangan setiap peristiwa selama bersama pemuda penerusku tergambar jelas di mata dan direspon oleh otak lalu dinikmati oleh hati yang saat ini merindukan peristiwa itu kembali.

“Ayah, gendong…. ” Permintaan yang sangat memukul sanubariku dan tanpa diminta dua kali aku memenuhi permintaan tersebut.

Ketika tubuh lebih berat dari tubuhku yang terasa ringan berada di punggung aku melangkah ke kamar mandi. Saat itu aku merasakan bagaimana memandikan anak. Tidak ada rasa jengah di antara kami. Karena masing-masing ingin merasakan peran yang selama ini selalu diharapkan.

Udara dingin yang berhembus dari laut menandakan waktu telah lewat jam dua belas malam. Sebelum beranjak meninggalkan tempat duduk aku memejamkan mata dan menengadahkan wajah. Dengan khusuk aku meminta pada Tuhan agar dipertemukan kembali dengan putra pertamaku.

Lampu-lampu cafe telah dimatikan. Tinggal hanya beberapa sebagai penerangan di luar bangunan. Kakiku yang telanjang menapaki pasir lalu masuk ke dalam bangunan yang halaman belakangnya adalah pantai dan laut samudera Hindia.

Ketika melewati pintu kamar karyawan aku melongokkan kepala. Melihat wajah lelah itu terlelap dengan dengkuran halus.

“Abang cemburu pada karyawan-karyawan ayah yang selalu ada di dekat ayah… ”

Aku tersenyum mengenang kembali ucapan itu ketika anak bujangku mengantar ke bandara dan siap terbang kembali ke Bengkulu.

Sebelum masuk kamar aku mencuci kaki. Aku ingin segera tidur dan berharap bertemu dengan anakku di dalam mimpi.

Cerpen ini terinspirasi dari kisah nyata dari tokoh ‘Aku’.