Pilar: Jeritan Kelaparan

Oleh: Abdul Kohar

INI kisah tentang Kris, warga Belu, Nusa Tenggara Timur, yang dikepung kelaparan dan dijerat kemiskinan. Tiga bulan lalu, ia mencoba bunuh diri dengan menusuk perutnya hingga robek dan luka parah karena tak sanggup lagi membeli beras yang harganya mulai naik.

Selama ini, Kris sudah berikhtiar membangun sebuah usaha warung makan. Namun, usahanya bangkrut. Ia lalu beralih menjadi tukang ojek pangkalan. Namun, ekonominya tidak kunjung membaik, bahkan memburuk. Ia pun tak sanggup lagi membeli beras untuk makan. Beruntung, aksi bunuh diri itu tepergok tetangga saat Kris masih bernapas. Para tetangga pun membawa Kris ke rumah sakit di Atambua.

Begitulah, kemiskinan memang sering kali tidak menyediakan banyak pilihan. Perut yang lapar hanya menyediakan pilihan gusar pada sebagian orang, khususnya bagi seorang Kris. Apalagi, itu dirasakan banyak orang. Pertumbuhan ekonomi yang kinclong pun rasanya tetap menyisakan kemasygulan.

Derita Kris yang dirasakan dalam diam, kini sudah merambak ke mana-mana dan menyergap jutaan orang miskin. Harga beras yang meninggi ketika Kris mencoba bunuh diri tiga bulan lalu, hari-hari ini masih tetap tinggi, bahkan kian melambung. Harga beras malah sudah mencetak rekor sejarah tertinggi, yakni di atas Rp18 ribu per kilogram.

Pekan lalu, di forum ini, saya menulis jeritan seorang bernama Sunarti, pemilik warung makan di Kabupaten Bogor. Ketika itu, keuntungan dagangnya tergerus hingga Rp120 ribu per hari di tiga pekan pertama Februari 2024 ini. Harga beras yang bulan lalu masih ia beli Rp14 ribu, pekan lalu sudah Rp17 ribu per kilogram. Dalam sepekan terakhir, Narti terpaksa menutup warung lebih awal karena ia tak sanggup lagi membeli beras sebanyak ‘kuota’ sebelumnya. Harga beras yang naik lagi menjadi Rp18 ribu per kg membuat keuntungan warungnya habis. Ia tak mau menaikkan harga karena takut pelanggannya lari.

Ada pemandangan lain yang tidak kalah ironis. Itu terlihat di Grobogan, Jawa Tengah. Ratusan warga Grobogan harus mengantre dan berdesak-desakan untuk membeli beras murah program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) milik Bulog di halaman kantor Kecamatan Wirosari, Selasa (27/2). Akibat warga saling dorong karena takut tidak kebagian, seorang ibu hamil terjatuh dan banyak anak kecil terhimpit.

Seorang ibu rumah tangga yang dalam kondisi hamil terjatuh karena terdorong warga lainnya saat berebut mendapatkan beras dengan harga murah, yang dijual Rp10.200 per kg itu. Ia tak kuasa lagi melindungi badannya dan janin yang ia kandung sehingga harus tersungkur akibat desakan hidup.

Namun, siapa peduli dengan mereka? Pertanyaan besar itu mewakili rasa frustrasi menghadapi cekikan harga-harga yang gagal diatasi pemerintah. Negara berkali-kali merespons kenyataan di lapangan dengan jawaban-jawaban penyangkalan. El Nino dan tingginya harga beras dunia pun dijadikan kambing hitam.

Kata Presiden, tingginya harga beras terjadi karena cuaca kekeringan ekstrem sehingga membuat masa tanam mundur dan panen pun terlambat datang. Saat ada yang mengkritisi dengan mengatakan bahwa bansos yang gencar dibagikan saat kampanye lalu membuat stok beras Bulog berkurang 1,4 juta ton dan terus menipis, Jokowi mengatakan bahwa itu tidak berhubungan.

Keesokan harinya, saat ada yang menanyakan lagi tentang harga beras yang masih tinggi, Jokowi mengatakan bahwa harga beras di dunia memang sedang tinggi. Seolah beras memang makanan seluruh penduduk dunia. Seolah pula, Indonesia yang pernah meraih swasembada beras, harus sama dengan Amerika Serikat yang tidak pernah mencapai swasembada beras.

Sejak triwulan keempat tahun lalu, harga beras mulai naik. Namun, ketika itu, kenaikan harga beras dianggap oleh pemangku kepentingan sebagai gejala musiman menjelang Natal dan tahun baru. Karena seperti dibiarkan tanpa mitigasi yang memadai, kenaikan harga beras juga kian tidak terkendali di bulan berikutnya. Pun El Nino menjadi jawabnya. Musim kering ekstrem ialah kambing hitam.

Selain itu, masih ada pejabat yang mengatakan, bila harga beras naik, sesungguhnya yang untung ialah petani. Namun, nyatanya, para petani sudah tidak menggenggam beras. Komoditas itu sudah habis dan kosong dari rumah-rumah atau ‘gudang’ petani. Mereka pun menjerit karena terimbas mahalnya harga beras.

Kini, empat bulan kemudian, impitan makin kuat. Napas kian sesak. Jeritan rakyat tambah parau dan lantang. Akhirnya, bagi mereka yang miskin dan lapar, hidup seperti menunda kekalahan.(*)

Penulis Adalah: Dewan Redaksi Media Group/Media Indonesia.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan