Catatan Pertemuan Forum Negarawan Putaran Ke – 11 Dari Kompleks Kopassus

Oleh: Jacob Ereste

Acara pertemuan rutin bulanan setiap tangga 11 Forum Negarawan yang ke – 11 mendapat kehormatan untuk dilaksanakan komplek Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur yang indah dan asri. Kali ini acaranya mengusung tema “Indonesia Damai” untuk menjaga komitmen berbangsa dan bernegara bagi Indonesia dengan semua tokoh masyarakat, tokoh adat dan keraton serta segenap elemen bangsa untuk merapatkan barisan, memperkokoh solidaritas sosial dan kebangsaan bagi “Indonesia Damai” seperti yang diikrarkan bersama dalam acara yang bernilai sejarah ini, juga sekaligus menandai 13 tahun perjalan gerakan kebangkitan spiritual dengan memotong nasi tumpeng lalu melahapnya secara bersama pada acara yang terkesan sungguh hidmat ini.

Sebelumnya, Mayor Jendral TNI AD (Purn) Wisnu Bawa Tanaya membuka acara dengan bahasa rakyat yang khas, karena memang dia akui sebagai tentara lahir dari rakyat. Oleh karena itu, tandas pensiunan Danjen Kopassus ini yang masih tempak energik dan gagah ini, kewajiban untuk merawat, menjaga dan melakukan pembinaan untuk rakyat merupakan kewajiban wajib dan harus dilakukan, tandasnya dalam membuka secara resmi acara yang dihadiri oleh berbagai unsur masyarakat yang memiliki komitmen terhadap negara maupun bangsa Indonesia.

Makna ke-bhineka tunggal ika-an, pun bagi bangsa dan negara Indonesia, menurutnya memiliki suatu nilai yang patut dijaga bersama.

Doktor dokter Tifauzia Tyassuma., M.Sc yang juga penulis buku “Body Revolution” dan “Nutrisi Surgawi”, ikut memaparkan pemikiran Wali Spiritual Indonesia, Sri Eko Sriyanto Galgendu tentang “Do’a Sebagai Cahaya Spiritual”, hingga dalam konteks bernegara mampu menghadapi kompleksitas masalah, karena do’a sebagai cahaya spiritual menjadi penting dapat menjadi pemandu untuk menanggapi segenap permasalahan dengan bijak.

Kita berdoa, kata Tifa (1) agar Indonesia dapat dikaruniai pemimpin yang diberkahi dengan cahaya spiritual. Kita berdo’a (2) agar keadilan dan kesetaraan dapat menjadi landasan negara Indonesia. Kita berdo’a agar seluruh rakyat diberi kesadaran untuk menjaga kerukunan dan toleransi dalam kebhinekaan. Sebab pada ranah kebhinekaan Indonesia, kerukunan dan toleransi bukan sekedar aspirasi, melainkan ikrar spiritual yang mengalir dalam do’a Caya spiritual.

Semoga cahaya spiritual senantiasa membimbing langkah-langkah bangsa dan negara Indonesia mendapat pemimpin yang diberkahi untuk memandu Indonesia menuju kejayaan dan kemakmuran yang berkeadilan serta lebih beradab. Sedangkan Setyo Hajar Dewantoro menyadari bahwa kesadaran spiritual yang itu berada di dalam hati nurani yang sejati.

Paparan berikut dalam Forum Negarawan adalah Prof. Dr. Abimayu, menyusul kemudian Dr. dr. Siti Fadhilah Supari yang melihat betapa sulitnya bangsa Indonesia untuk mendapatkan pemimpin yang ideal dengan kondisi negara dan bangsa Indonesia yang sangat buruk seperti yang sedang terjadi sekarang ini.

Dalam kondisi seperti itulah diperlukan do’a dan kesabaran serta kesadaran spiritual, tandas mantan Menteri Kesehatan ini. Setidaknya, pada masa Pemilu yang memilukan ini, selalu terbayang tindak kecurangan, gontok- gontokan dan kegaduhan.

Sedangkan Dody meyakinkan tema spiritual yang menjadi topik banyak orang sekarang, sungguh merupakan topik bahasan yang langka, jarang menjadi perhatian banyak orang. Padahal, keyakinan spiritual adalah landasan dasar dari kepercayaan suku bangsa Nusantara jauh sebelum agama-agama datang ke Indonesia. Jadi sekarang menjadi sangat relevan saat terjadinya politik paralisis — hilangnya kemampuan mengendalikan diri — dalam semua gerak langkah dan aktivitas terkait dengan kehidupan tara kelola negara dan berbangsa bagi rakyat Indonesia. Inilah yang ikut menjadi sebab hilangnya nilai-nilai spiritual, sehingga berbagai hal selalu ditakar dalam bentuk material.

Prof. Dr. Anak Agung Gde Heryawan, yang mewakili penglisir dari Puri se Pulau Bali, menyatakan merasa tanggung jawab terhadap kebudayaan bangsa, karena banyak sekali wisdom dari kearifan lokal yang sangat luar biasa itu harus kita selamatkan, katanya. Sebab kearifan lokal itu merupakan kekayaan bangsa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain.

Yang Mulia KPHNA Mas’ud Thoyib mewakili raja dan ratu nusantara, mengatakan kemerdekaan bangsa Nusantara sedah terjadi sejak abad pertama dalam sejarah. Pada periode tujuh abad pertama, abad 1-7 sudah ditandai oleh Kerajaan Sriwijaya. Tujuh abad ke dua ditandai dengan kejayaan kerajaan Majapahit, dan tujuh abad ke tiga 14 – 21, bangsa Indonesia harus mengacu pada spirit — sebagai ruh dari suatu bangsa — adalah Nusantara untuk mencapai masa Indonesia Emas. Karena itu, idealnya bangsa Indonesia segera membangun istana kebudayaan, bukan istana presiden atau istana negara.

Puncak-puncak kebudayaan daerah perlu terus dipelihara untuk menjadi nilai unggulan bangsa Indonesia. Seperti tradisi hening dan eling, sangat menarik dan unik untuk dapat memahami seperti peristiwa besar Mijrad Nabi Muhammad yang sangat berbobot spiritual.

Sedangkan bagi Komjen Pol. Dharma Pongrekun, hilangnya nilai-nilai spiritual, seperti dalam sikap yang gandrung menggunakan istilah mantan, sehingga yang terkesan adalah habis manis sepah dibuang. Kecuali itu, katanya banyak orang sering dikaburkan oleh pemahaman acara ritual, bukan spiritual. Padahal, kemampuan spiritual adalah kemampuan melihat yang tidak kasat mata. Me dengar yang tidak bersuara. Atau membaca hal-hal yang tidak tertulis, seperti kemampuan Nabi Muhammad SAW, membaca. Sementara secara nyata beliau buta huruf. Namun perintah iqra, itu nyata adanya.

Jadi, sinyal-sinyal spiritual itu sungguh banyak diberikan Tuhan kepada manusia, sebagai bagian dari pertanda bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia sebagai ciptaan Tuhan. Demikian catatan yang bisa direkam dari sejumlah pembicara dari Forum Negarawan sekaligus untuk mengenang perjalanan 13 tahun gerakan kebangkitan spiritual yang kini terus dilanjutkan oleh GMRI — Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia sampai hari ini.

Cijantung, 11 Januari 2024