Jakarta, Word Pers Indonesia – Pelaksanaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura menuntut kewaspadaan yang tinggi dari pemerintah Indonesia. Langkah-langkah ekstradisi harus disertai dengan kekuatan hukum yang tak terbantahkan.
Menurut Teuku Rezasyah, seorang pakar Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran (Unpad), dalam sebuah acara News Maker di kanal Youtube Medcom.id, “Jangan sampai kita bergerak tanpa perintah pengadilan, itu ribuan (buronan) ada di sana (Singapura), kita harus memiliki perintah pengadilan yang sangat rinci.”
Reza menekankan bahwa selain perintah pengadilan, langkah-langkah ekstradisi harus didukung oleh bukti intelijen yang kuat. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya masalah di lapangan. “Memuat data intelijen, dimana dia tinggal, bagaimana status kewarganegaraannya. Sehingga jangan sampai terjadi pembenturan (aturan Indonesia dan Singapura),” jelasnya.
Dengan memiliki data dan dasar hukum yang kuat, negosiasi dengan pemerintah Singapura dapat dilakukan. “Jangan sampai (Pemerintah Singapura) bilang (buronan) sudah meninggal, tapi duit (kejahatannya) sudah kemana-mana,” tambahnya.
Perjanjian tentang ekstradisi buronan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura mulai diberlakukan secara efektif sejak tanggal 21 Maret 2024. Ini menandai sebuah capaian sejarah dalam diplomasi pemerintah Indonesia.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menjelaskan bahwa perjanjian ini terdiri dari 19 pasal. Kedua negara telah sepakat untuk saling melakukan ekstradisi bagi setiap individu yang ditemukan berada di wilayah negara mana pun dan dicari oleh negara peminta untuk tujuan penuntutan, persidangan, dan penegakan hukum atas tindak pidana yang dapat diekstradisi.(Red)