Kenapa ‘Bengkulu’ Tak Begitu Peduli Cagar Budaya?

“KEMANA PERGINYA HATI, KEMANA HILANGNYA RASA. ENGKAU MENGHILANGKAN DIRI, UNTUK NEGERI BENGKULU YANG KAU PUJA. AKU TAKAN BERKECIL HATI. AKU TAKKAN RASA KECEWA, WALAUPUN PEDIH PILU DIHATI, KAU KU IRING KEPINTU STIGMA SEJARAH” (SEUTAI SYAIR)
OLEH: BENNY BENARDIE/PEMERHATI SEJARAH DAN BUDAYA BENGKULU (III-IV TULISAN)

Perusakan

Pada tulisan sebelumnya Cagar Budaya Bengkulu Punah dan di Rusak ‘Hantu’ dikatakan, ada dua kolonial yang lama menetap di Bengkulu, yaitu Inggris dan Belanda. Merekalah yang banyak meninggalkan peradaban, ilmu pengetahuan bagi anak negeri di pesisir barat Pulau Sumatera ini.

Sayangnya pembenaran pada perusakan warisan bangunan kolonial ini, secara de fakto dan de yure terjadi di tiap masa. Hingga kini belum ada yang mengungkap apa motivasi pemerintah kala itu, paling yang tampak perusakan sejak Tahun 1970-an hingga Tahun 2022 lalu saja. Hal ini terjadi juga di kabupaten yang di Provinsi Bengkulu, termasuk kota.

Bisa jadi semua itu karena ingin mencari harta karun, menguasai lahan ataupun karena yang lagi berkuasa tak punya konsep pemberdayaan aset peninggalan kolonial hingga yang sudah teregisterpun tak luput dari perusakan.

Contoh Perusakan

Bila kita ke Kota Bengkulu, maka kita akan menemukan Monument Resident Thomas Parr (Masyarakat lokal menyebutnya Kuburan Bulek) yang dibangun 1808. Monumen yang dibangun untuk mengenang Resident Bencoolen yang tubuhnya tergeletak tanpa kepalanya, akibat perlawanan dari anak negeri.

Monumen itu entah mengapa diubah bentuk pintu masuk kedalam monumen, dengan merusak beberapa sisi monumen. Hasil investigasi repot pada beberapa tetua lokal menyebutkan, perusakan itu terjadi sekira Tahun 70-an.

Untuk dua pelakat besi yang mengkisahkan dan menempel di dinding ‘tak tentu rimbanya’ pada Tahun 80-an. Hingga kini, dua pelakat besi tebal itu belum diperoleh informasi keberadaannya. Pemerintah daerah provinsi maupun kota juga tak memberikan penjelasan kemasyarakat hingga 20 Mei 2024 ini.

Perusakan itu diperkirakan waktunya tak lama usai renovasi, juga perusakan kediaman petinggi Inggris yang di sebut Mount Felik. Kini tempat itu disebut Rumah Dinas Gubernur Bengkulu atau Gedung Daerah Provinsi Bengkulu.

Pertanyaanya, apakah saat itu sudah ada payung hukum untuk melindungi peninggalan kolonial atau bangunan bersejarah lainnya tersebut? Meskipun UU No 9 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya kala itu belum ada, namun perlindungan untuk itu sudah tegas.

Hal itu terbuat dalam Monumenten Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238), sebagaimana telah diubah dengan Monumenten Ordonnantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor 515). Apalagi saat ini, berlakunya UU No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Itu belum termasuk perusakan pada situs Bukit Tapak Paderi, dimana di puncaknya terdapat Monumen The Orange Bank yang dibangunan Kolonial Belanda Tahun 1905, sebagai hadiah ke-25 Ultah Ratu Wilhelmina, Ratu Belanda kala itu.

Perusakan Makan Inggris, (Anak negeri menyebutnya kuburan Belanda) di wilayah Jitra dan banyak lagi yang lainnya dilakukan dengan sengaja perusakannya. Termasuk perusakan Cagar Budaya Gudang Garam yang bentuknya dirubah untuk dijadikan cafe. Posisinya di Kampung China, yang kesemuanya itu baru di Kota Bengkulu saja. (Bersambung).