Mukomuko, Word Pers Indonesia – Tindakan nekat kembali dilakukan sekelompok warga SP7 Desa Rawa Mulya dengan menduduki lahan di wilayah administrasi Kelurahan Bandar Ratu dan Desa Ujung Padang, Kabupaten Mukomuko. Ironisnya, aksi yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal ini melibatkan anak-anak dan perempuan sebagai tameng manusia.
Dalam video amatir yang beredar, terdengar jelas ucapan salah satu warga yang memprovokasi situasi, “Sopo seng dijotos iku, wah apik iki nek gelot. Bupati lan DPRD-e meneng wae, turu neng kantor!” ujar pria dalam rekaman tersebut. (Siapa yang dipukul itu, wah bagus ini kalau berkelahi. Bupati dan DPRD-nya diam saja, tidur di kantor!)
Kemudian, Dalam Rekaman akhir Ia juga meminta Warga mulai dari SP 1 Hingga SP 10 untuk Berkumpul Jadi Satu.
Menurut M Toha, Aksi sepihak tersebut menuai kekhawatiran luas karena dilakukan secara terang-terangan tanpa izin, melanggar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 51 Tahun 1960 tentang larangan penggunaan tanah tanpa izin yang sah. Terlebih lagi, kehadiran kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan dalam aksi ini dianggap sangat tidak berperikemanusiaan.
“Melibatkan anak-anak dalam konflik agraria adalah bentuk eksploitasi yang tidak bisa dibenarkan. Ini jelas pelanggaran serius terhadap hak-hak sipil dan perlindungan anak,” tegas M Toha Selaku Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LP-KPK, Senin (21/7/2025).
Mirisnya, aksi pendudukan ini berlangsung hanya sepelemparan batu dari Mapolres Mukomuko. Namun hingga kini, belum ada langkah nyata dari aparat kepolisian dalam mencegah atau menengahi potensi konflik antarwarga.
“Ini bukan masalah kecil. Ketika negara dan aparat hukum membiarkan hal seperti ini terus terjadi, maka rakyat akan mulai berpikir untuk mengurus keamanannya sendiri,” tambanya.
Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian maupun pemerintah daerah. Masyarakat setempat berharap agar tindakan cepat dan tegas segera dilakukan untuk mencegah konflik lebih luas.
Apabila dibiarkan, situasi ini bisa menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu memicu bentrokan fisik, khususnya antara warga transmigran SP7 dan masyarakat adat yang selama ini menjaga wilayah tersebut.
Langkah pendudukan tanah tanpa dasar hukum ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Jika benar-benar peduli terhadap masyarakat, sudah seharusnya aparat keamanan dan pemerintah daerah hadir dan bertindak tegas, bukan justru memilih bungkam.(*)